Harga Gula Tetap Tinggi, Tambahan Impor Justru Ancam Petani
Harga gula pasir terus naik meski realisasi impor gula telah mencapai 63 persen. Perencanaan impor yang tak tepat berpotensi menghancurkan harga gula petani musim ini.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga rata-rata gula pasir secara nasional, Senin (13/4/2020), mencapai Rp 18.300 per kilogram. Angka itu 46,4 persen lebih tinggi dibandingkan dengan harga acuannya yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 12.500 per kilogram di tingkat konsumen.
Berdasarkan data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, harga gula pasir ”konsisten” naik empat bulan terakhir. Harga gula kian jauh meninggalkan acuannya yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Kenaikan juga terjadi di tengah upaya menambah pasokan melalui impor.
Pada 16 Desember 2019, harga rata-rata gula pasir di tingkat konsumen secara nasional tercatat Rp 13.850 per kilogram (kg), lalu naik menjadi Rp 13.950 per kg pada Kamis (2/1/2020), kemudian Rp 14.450 per kg pada Senin (3/2/2020), Rp 15.000 per kg pada Senin (2/3/2020), dan Rp 18.000 per kg pada Rabu (1/4/2020).
Kondisi itu dinilai mencerminkan perencanaan pengadaan yang tidak matang dan justru berpotensi memukul harga serta kesejahteraan petani tebu. Sekretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Nur Khabsyin mengatakan, perencanaan semestinya berdasarkan data dan neraca pergulaan nasional.
”Pemerintah tampak panik dalam mengimpor gula. Kepanikan ini justru berpotensi memukul harga di tingkat petani dan menekan kesejahteraan petani tebu,” ujarnya saat dihubungi, Senin (13/4/2020).
Kementerian Perdagangan meloloskan izin impor gula mentah (raw sugar) 268.172 ton untuk pengadaan hingga April 2020 dan 265.800 ton untuk pengadaan hingga Juni 2020. Gula mentah impor tersebut akan diolah menjadi gula kristal putih (GKP) untuk konsumsi langsung. Izin itu terbit pada Februari-Maret 2020.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah sudah melakukan operasi pasar melalui pengalihan gula dari industri dalam negeri. ”Dari Dumai, misalnya, sudah dialokasikan 20.000 ton, dari Lampung 33.000 ton, dan dari sektor industri makanan-minuman dialihkan 250.000 ton,” ujarnya (Kompas, 3/4/2020).
Gula pasir yang dialihkan dari sejumlah daerah ini didistribusikan, antara lain, ke Banten, Jabodetabek, Sumatera Utara, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Bengkulu, Jambi, dan Lampung. Perum Bulog bahkan menjual gula pasir Rp 10.500 per kg dalam operasi pasar.
Petani panen
Menurut Nur Khabsyin, saat ini panen tebu dan proses giling tebu sudah berjalan, antara lain di Sumatera Utara. Gula yang dihasilkan dari penggilingan di Sumatera Utara diperkirakan mencapai 50.000 ton. Adapun panen dan proses giling tebu di wilayah Jawa akan dimulai akhir Mei 2020.
Di sisi lain, izin impor untuk pengadaan Maret-April 2020 terealisasi 169.422 ton per 9 April lalu atau setara dengan 63,17 persen. Adapun realisasi impor untuk pengadaan Maret-Juni 2020 masih nol persen. Oleh sebab itu, kata Nur, petani khawatir realisasi impor mencapai puncaknya pada Mei-Juni 2020 atau ketika petani memasuki musim panen dan giling tebu.
”Kami khawatir harga gula di tingkat petani anjlok di bawah ongkos produksi sehingga kesejahteraan kami tertekan. Daya beli kami pun terancam lantaran sebagai konsumen, harga pangan meningkat,” ujarnya.
Rata-rata ongkos produksi gula petani saat ini mencapai Rp 12.000 per kg. APTRI berharap pemerintah memperketat pemantauan impor gula sehingga realisasi dan penjualannya di pasar berlangsung sebelum periode panen dan giling tebu petani. Apalagi, selain impor gula mentah, pemerintah juga mengizinkan Perum Bulog mengimpor gula konsumsi (GKP).
Kami khawatir harga gula di tingkat petani anjlok di bawah ongkos produksi.
Pada rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menyebutkan, Kementerian Perdagangan telah memberikan izin impor GKP 50.000 ton, Rabu (8/4/2020) malam.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga telah meminta 250.000 ton gula mentah yang telah diimpor oleh industri gula rafinasi agar diolah menjadi GKP. Padahal, kata Nur, seharusnya gula mentah itu diolah menjadi gula kristal rafinasi (GKR) untuk keperluan industri makanan-minuman agar tidak merusak pasar gula petani.
”Kalau pemerintah merencanakan impor gula mentah untuk GKP secara matang, peralihan gula mentah dari industri rafinasi (ke GKP) tak perlu terjadi,” kata Nur Khabsyin.
Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) Bernardi Dharmawan menyebutkan, ada sembilan anggota asosiasi dan satu pabrik gula yang akan mengolah gula mentah tersebut menjadi GKP. GKP yang dihasilkan akan disalurkan mayoritas ke distributor dan sisanya ke pelaku ritel.
Mesti transparan
Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia (AGI) Budi Hidayat berpendapat, pengadaan GKP dari gula mentah impor berpotensi membanjiri pasar gula dalam negeri. Pengadaan GKP yang tidak berasal dari tebu dalam negeri berpotensi mencapai 933.972 ton tahun ini.
”Impor yang bertambah dan harga gula di konsumen yang tak kunjung turun menyiratkan bahwa pemerintah mesti transparan dan memperkuat pengawasan terhadap pemrosesan gula mentah yang sudah diimpor,” katanya.
Menurut Budi, gula impor itu mesti segera diolah menjadi GKP dan didistribusikan ke pasar. Daerah dengan harga gula yang tinggi mesti menjadi prioritas, terutama pasar di luar Pulau Jawa.