Di Nusa Tenggara Timur, Pelayaran Rakyat Sulit Berhenti Mengangkut Penumpang
Pelayaran rakyat di pulau terpencil di Nusa Tenggara Timur sulit berhenti mengangkut penumpang karena pusat perbelanjaan bahan pokok berada di ibu kota kabupaten sehingga penyebaran virus korona sulit dibendung
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·5 menit baca
LARANTUKA, KOMPAS — Pelayaran rakyat di pulau terpencil di Nusa Tenggara Timur sulit berhenti mengangkut penumpang karena pusat perbelanjaan bahan pokok berada di pusat kota atau ibu kota kabupaten. Kondisi berpeluang terjadi penularan Covid-19 di pulau terpencil, apalagi 35 lintasan feri di NTT hanya bisa mengangkut logistik, tidak diizinkan membawa penumpang.
Tokoh Masyarakat Adonara, Flores Timur, Matias Sabon (56), dihubungi di Waiwerang, Pulau Adonara, Flores Timur, Sabtu (18/4/2020), mengatakan, kebijakan pemprov melarang semua jenis kapal beroperasi membawa penumpang di perairan NTT sejak 6 Janiari 2020. Sejak itu, pelayaran hanya berlaku untuk kapal Pelni atau feri.
Sebenarnya sejak Senin, 6 Januari 2020, semua pelayaran rakyat di Adonara berhenti angkut penumpang. Namun, Selasa (14/4/2020), kapal-kapal itu kembali beroperasi seperti biasa. Masyarakat enam kecamatan di Pulau Adonara sangat tergantung pada Larantuka dan Maumere. Semua kebutuhan pokok dan kebutuhan lain hanya tersedia di dua kota itu.
Feri yang dioperasikan ASDP di NTT 35 lintasan untuk 22 kabupaten/kota. Ada lintasan yang hanya ditempuh dua jam, tetapi ada pula lintasan dilayari 18 jam. Saat ini semua lintasan tidak membawa penumpang sama sekali dan berlabuh di dermaga Bolok Kupang, Rote, Alor, Larantuka, Maumere, dan beberapa lintasan lain (Welkis).
Harga bahan pokok di pulau jauh lebih mahal dibanding di kota kabupaten. Tidak ada kebijakan operasi pasar atau gelar pasar murah untuk menekan harga bahan pokok seperti di kota.
Menurut Sabon, kapal berbobot 100 GT itu mampu mengangkut 100-200 penumpang sekali jalan sekaligus barang penumpang, seperti sepeda motor. Sekitar empat kapal melayani rute Waiwerang-Larantuka-Lewoleba, belum termasuk kapal cepat yang membawa penumpang sekitar 50 orang.
Sebagian penumpang mengenakan masker, tetapi sebagian tidak. Ia khawatir, penularan Covid-19 ke pulau itu melalui orang-orang Adonara yang pulang dari Malaysia atau kota-kota lain di luar NTT.
Yohanes Moat (45), warga Pulau Palue, Kecamatan Palue, Kabupaten Sikka, mengatakan, sejak pelarangan semua kapal di NTT mengangkut penumpang, masyarakat di Pulau Palue tetap bepergian ke Maumere berbelanja kebutuhan hidup. Setiap hari sekitar 50 kapal pergi-pulang Maumere. Palue tidak memiliki toko yang menyediakan bahan pokok dalam jumlah memadai.
Tidak melarang
Ia mengaku, sampai hari ini operator Pelabuhan Maumere tidak melarang mereka berlayar ke Maumere berbelanja kebutuhan hidup. Lagi pula, sebagian besar perahu rakyat tidak bersandar di Dermaga Maumere, tetapi langsung di pasar-pasar tradisional yang terletak di bibir pantai atau di pelabuhan rakyat tertentu di Sikka.
Sebagian bahan pokok yang tidak tersedia di pulau terpencil, yakni buah-buahan berkualitas yang tersedia dalam aneka jenis, bakso, mi ayam, dan kebutuhan lain yang tidak tersedia di pulau.
Demikian pula mobilitas masyarakat di Pulau Semau menuju Kota Kupang, sekitar 30 mil untuk berbelanja kebutuhan hidup. Setiap hari sekitar 10-20 perahu, masing-masing membawa 5-20 penumpang pergi-pulang Semau-Kupang.
Aktivitas pelayaran rakyat ini sangat beresiko bagi penyebaran Covid-19 di pulau-pulau terpencil. Ini tentu sangat membahayakan warga di pulau itu. Pola hidup sehat di pulau terpencil sangat rendah, ketersediaan air bersih pun terbatas, dan kesadaran mengenakan masker pun rendah.
Anggota DPRD NTT Buce Lioe mengatakan, Pemprov NTT perlu kerjasama dengan feri atau kapal milik Basarnas. Kapal-kapal bersama pengusaha bahan pokok, dan kebutuhan lain, mengangkut barang-barang itu ke pulau-pulau perpenduduk. Masyarakat pulau tidak perlu datang ke kota.
Sementara Manajer Usaha PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Kupang, Hermin Welkis mengatakan, sesuai surat keputusan Dinas Perhubungan NTT, melarang semua kapal Pelni dan kapal milik ASDP Kupang mengangkut penumpang di NTT. Sejak itu adanya larangan itu, 12 feri, 9 diantaranya dikelola ASDP dan tiga unit milik PD Flobamora atau BUMD Pemprof NTT tidak beroperasi.
”Feri yang dioperasikan ASDP di NTT sebanyak 35 lintasan, untuk 22 kabupaten/kota. Ada lintasan yang hanya ditempuh 2 jam, tetapi ada pula lintasan dilayari selama 18 jam. Saat ini semua lintasan tidak membawa penumpang sama sekali. Feri berlabuh di dermaga Bolok Kupang, Rote, Alor, Larantuka, Maumere, dan beberapa lintasan lain,” kata Welkis.
Feri diizinkan membawa logistik, alat-alat kesehatan, dan personel TNI/Polri ke pulau-pulau tertentu seperti Rote Ndao, Sabu Raijua, Lembata, Pulau Palue, Pulau Panama, dan Pulau Alor. Pengangkutan logistik dan personel TNI/Polri ini tidak terjadwal seperti pengangkutan penumpang.
Ia mengatakan, jika ada pengusaha, pemda atau lembaga tertentu meminta bantuan feri mengangkut logistik, alat kesehatan, dan membawa personil TNI/Polri, kapan pun tetap dilayani. Manajemen ASDP Kupang tetap siap 24 jam melayani permintaan itu.
Dalam kondisi seperti ini pelayanan ASDP tidak dipungut biaya. Ini pun bagian dari upaya ASDP membantu pemerintah mencegah dan menangani penyebaran Covid-19. Semua lembaga dan masyarakat Indonesia, turut berpartisipasi menanggulangi penyebaran Covid-19.
Barang-barang yang diangkut pun tetap disemprot dengan disinfektan sebelum dinaikan ke dalam feri. Hal ini untuk menjaga agar seluruh bagian dan ruangan Feri tidak terpapar Covid-19. Di dalam kapal masih ada anak buah kapal, kapten kapal, dan masinis kapal. Mereka ini pun tetap mengikuti protap pemerintah soal pencegahan penyebaran Covid-19.
Meski demikian Hermin menilai, kerugian yang dialami ASDP Kupang sejak Feri berhenti beroperasi, 6 April 2020 termasuk pengangkutan rombongan peziarah ”Semana Santa”, dari Kupang ke Larantuka (PP), sekitar 60 persen dari total biaya operasi bulan April. ASDP sebagai BUMN bekerja melayani masyarakat dan beroperasi sesuai kepentingan masyarakat.
Kepala Dinas Perhubungan NTT Izak Nuka mengatakan, surat keputusan pembatalan berlayar kapal di NTT sejak 6-7 April 2020, tidak hanya berlaku bagi kapal milik PT Pelni dan feri yang dioperasikan ASDP tetapi juga untuk semua jenis pelayaran rakyat, kecuali perahu nelayan tradisional. Perahu nelayan dengan bobot di atas 30 GT dengan membawa lebih dari tiga orang tetap dilarang.
”Para bupati dan wali kota harus menyesuaikan di lapangan. Kapal rakyat yang mengangkut penumpang lebih dari tiga orang, ke pulau-pulau kecil dengan jarak tempuh 1-2 jam pun dilarang, seperti pelayaran dari Larantuka-Waiwerang, Adonara, Solor-Larantuka, Maumere-Palue, atau Panama-Maumere. Semunya dilarang,” kata Nuka.
Ia mengatakan, sesuai aturan, kapal rakyat sebenarnya tidak dipernankan mengangkut penumpang, kecuali barang. Tetapi karena di NTT keterbatasan angkutan laut maka masyarakat mengadakan sendiri transportasi laut untuk membantu memobilisasi penduduk dari satu pulau ke pulau lain.
Pelayaran rakyat yang mengangkut logistik dari luar masuk NTT tetap diizinkan. Tetapi mereka tidak diperkenankan mengangkut warga NTT dari luar masuk NTT, setelah kapal Pelni dan ASDP dilarang beroperasi di NTT.