Kehidupan perempuan pada lapis ekonomi bawah menjadi lebih berat saat pandemi. Mereka umumnya bekerja di sektor informal, berjualan kecil-kecilan, menjadi petani, membuat kerajinan, dan di sektor jasa.
Oleh
Ninuk Mardiana Pambudy
·5 menit baca
Kegiatan Kasiyem (56) setiap pagi dimulai pukul 02.00. Setelah membereskan rumah dan menyediakan sarapan untuk suaminya, dia bergegas ke pasar, berbelanja aneka sayuran, ikan, tahu, tempe, dan buah. Semua untuk dia jajakan keliling kompleks perumahan sejarak lima kilometer dari rumahnya di Gang Subur, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Dia baru rampung berjualan sekitar pukul 13.00. Untuk kegiatan sepanjang pagi itu dia membawa pulang Rp 60.000- Rp 70.000. Sekali-sekali sepulang berjualan keliling, dia diminta membantu membersihkan rumah orang. Dengan pendapatan itu dia membiayai kebutuhan dasar bersama suami yang sejak lebih dari lima tahun tidak bisa melakukan apa-apa karena masalah jantung.
Selain membayar biaya listrik Rp 200.000 sebulan, dia juga mengeluarkan Rp 80.000 untuk membeli gas memasak. Meski pendapatannya mepet, dia merasa beruntung bisa ikut makan dari sayuran yang tidak terjual. Tetes keringat Kasiyem berbuah keberhasilan pendidikan anak-anaknya. Dua anak lulus program diploma dan dua anak yang lain lulus SMA.
Meskipun sudah mandiri, anak-anak sibuk mengurus keluarga dan diri masing-masing. Praktis, Kasiyem harus menjadi kepala keluarga karena tak mungkin menggantungkan hidup kepada orang lain. Pandemi Covid-19 tidak mengurangi aktivitasnya walaupun khawatir tertular saat ke pasar dan menjajakan dagangan. Di wajahnya terpasang masker meski tidak selalu dia kenakan.
Pelanggan yang sebagian besar pekerja rumah tangga tetap ramai mengerubungi dan sayuran cepat terjual seperti biasa. Hanya saja, sejak pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), satu anak yang bekerja membersihkan masjid kembali menjadi tanggungan Kasiyem.
Pantang menyerah
Kasiyem hanya satu dari jutaan perempuan kepala keluarga. Data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat hampir 16 persen rumah tangga dikepalai perempuan. Pendiri dan Ketua Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Nani Zulminarni memiliki data sendiri, yaitu 25 persen. Di dalamnya termasuk perempuan bersuami yang menjadi pencari nafkah utama.
Ada yang suaminya bekerja serabutan dan penghasilan tak tentu; ada suami lama merantau ke luar desa dan tak berkirim kabar; ada yang melajang dan menanggung orangtua, serta kerabat. Kehidupan perempuan pada lapis ekonomi bawah menjadi lebih berat saat pandemi. Mereka umumnya bekerja di sektor informal, berjualan kecil-kecilan, menjadi petani, membuat kerajinan, dan di sektor jasa.
”Ekonomi hampir semua anggota Pekka tidak bergerak. Ada berbagai larangan di desa akibat Covid-19. Harga hasil pertanian jatuh karena tak bisa dipasarkan. Tengkulak menekan harga,” kata Nani. Pekka mengorganisasi 65.000 perempuan kepala keluarga di seluruh Indonesia.
Sejak di desa tetangga di kecamatan berbeda dikabarkan dua warganya menjadi pasien dalam pengawasan (PDP), Santi (38) tidak dapat berjualan makanan kecil keluar dari Dusun Pasir Konci, Desa Lemah Makmur, Kecamatan Tempuran, Karawang. ”Kepala desa dan orang dari kesehatan melarang. Namun, dengar-dengar orang itu (PDP) negatif,” kata Santi, Jumat (17/4/2020).
Penghasilan Santi pun turun drastis sejak sekolah diliburkan lebih dari sebulan lalu. Selama 17 tahun dia berjualan aneka makanan di sekolah dasar di kampungnya. Sekarang, pendapatannya tinggal Rp 70.000 sehari dari berjualan di depan rumah. Dia harus menghidupi dua anak dan ibunya yang lanjut usia. Suaminya tidak bisa banyak membantu. Pekerjaan serabutan yang biasa dia lakukan tak ada lagi.
Tabungan menipis, terpakai membeli makanan. Konsumsi beras jadi satu liter dari biasanya 1,5 liter per hari. Meski ada wabah dan aturan jaga jarak fisik, Santi tetap ingin berjualan. ”Saya akan berjualan keliling bulan puasa nanti. Pakai masker, minta ke puskesmas. Pak RT sudah memaklumi, tetapi saya enggak boleh keluar desa,” kata Santi.
Di Desa Lamawara, Lembata, Nusa Tenggara Timur, Bernadete Deram (50) hanya bisa sabar menunggu wabah berakhir. Meski berasal dari Lembata, aktivitasnya sebagian besar ada di Adonara. Saat dia ke Lembata, terbit surat keputusan bupati yang melarang kapal membawa penumpang ke Adonara, kecuali kapal barang dua minggu sekali. Bernadete terdampar di Lembata sejak 23 Maret sampai kini.
Saya akan berjualan keliling bulan puasa nanti. Pakai masker, minta ke puskesmas.
Sebagai fasilitator ibu-ibu anggota Pekka di Lembata, Adonara, dan Alor, Bernadete bertanggung jawab membantu penyediaan kebutuhan dasar anggota Pekka. Sejak pemberlakuan PSBB, harga beras di Desa Waowala dan Riang Bao, Adonara, naik tinggi. Dari Rp 520.000 per karung 50 kg menjadi Rp 800.000.
”Harga beras mahal, jagung pun gagal panen karena kemarau panjang dan kering. Ada keluarga tidak panen jagung sama sekali sehingga sangat kesulitan,” kata Bernadete yang melajang dan menanggung dua keponakan. Berkebun juga bukan perkara mudah. Para ibu tidak berani melintasi desa tetangga menuju kebun karena di desa tetangga ada warga yang melakukan isolasi mandiri 14 hari.
Berjualan di pasar tidak bisa karena sementara ditutup. Di tengah berbagai kesulitan, Bernadete terus berkebun organik. Hasilnya dikirim kepada ibu-ibu dampingannya. ”Kami terus berusaha sebisa kami. Mudah- mudahan Covid-19 segera berlalu,” kata Bernadete.
Tepat sasaran
Pemerintah telah mengeluarkan bantuan sosial. Namun, menurut Nani, desa kurang mendapat perhatian. Padahal, efek domino wabah dan pencegahan penularan Covid-19 yang dilakukan pemerintah terasa hingga ke desa walaupun tidak semua desa ada warganya terinfeksi Covid-19.
Dari pendataan Pekka, yang terimbas paling parah adalah sektor pertanian dan perdagangan eceran kecil. Nani ingin pemerintah mendata dengan baik penerima bantuan agar penerima tepat sasaran. Bantuan dapat beragam bentuk, termasuk permodalan untuk pedagang kecil, bantuan pemasaran hasil pertanian, dan bantuan bibit serta benih untuk pertanian.
Dana desa kini boleh dimanfaatkan merespons wabah.
Juga ada program padat karya di desa untuk mengurangi dampak ekonomi karena wabah. Apabila cara penggunaan dana menyertakan semua pemangku kepentingan, termasuk perempuan, dalam musyawarah, maka kebutuhan praktis dan strategis perempuan akan terwakili. Kesetaraan kesempatan ini yang diperjuangkan RA Kartini 141 tahun lalu dan masih diperjuangkan hingga kini.