Selain faktor pasokan yang kurang, tingginya harga gula beberapa bulan terakhir dinilai turut dipicu oleh ulah para pemburu rente. Pemerintah mesti ketat mengawasi distribusi dan tegas memberi sanksi ke para pelanggar.
Oleh
Agnes Theodora / M Paschalia Judith
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada Rabu (20/5/2020), Kementerian Perdagangan mendatangi gudang sebuah distributor di Malang, Jawa Timur, yang diduga menjual gula ke 4-5 distributor lain dengan harga di atas harga acuan Rp 12.500 per kilogram. Tindakan itu dinilai merugikan konsumen karena turut memicu harga gula tetap tinggi.
Kemendag tengah memeriksa distributor yang mendapat pasokan dari salah satu produsen yang diberi tugas pemerintah mengolah gula rafinasi jadi gula konsumsi itu. ”Kalau (hasil pemeriksaan) sudah lengkap, kami merekomendasikan pencabutan izin usahanya ke instansi yang berwenang,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Veri Anggrijono saat dihubungi di Jakarta, Kamis (21/5/2020).
Akan tetapi, kasus itu diduga hanya puncak gunung es. Modus serupa ditengarai dilakukan produsen dan distributor di tempat lain. Kebijakan yang ditempuh pemerintah di tengah tingginya harga gula di pasaran dan pandemi Covid-19 rentan dimanfaatkan oleh para pemburu rente.
Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) sekaligus anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, berpendapat, berbagai relaksasi kebijakan yang diterapkan pemerintah di tengah pandemi memunculkan banyak pemain yang memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan. ”Dengan pemakluman pandemi, orang-orang sengsara, sementara sebagian berpesta pora,” katanya.
Gula rafinasi
Pemerintah seharusnya tidak berhenti pada para pemain kecil, tetapi menyasar pemain besar yang bisa jadi memainkan modus serupa dengan margin keuntungan lebih besar dan kuantitas lebih banyak. ”Kebutuhan bulanan (gula nasional) 250.000 ton, sementara gula yang ditemukan dan (diduga) dimainkan baru 1.100 ton, pelaku kakapnya masih beredar dan belum ketahuan,” ujarnya.
Khudori menyoroti distribusi gula dari delapan pabrik anggota Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) yang mendapat tugas mengolah 250.000 ton gula rafinasi menjadi gula konsumsi. Realokasi itu ditempuh demi menstabilkan harga gula yang melonjak tinggi.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menyatakan, target penjualan gula yang awalnya disepakati antara Aprindo dan AGRI terus turun, yakni dari 145.000 ton menjadi 92.900 ton dan akhirnya 20.000-30.000 ton.
Pada 28 April 2020, AGRI menyanggupi menjual 145.000 ton gula olahan ke ritel anggota Aprindo. Namun, setelah diperiksa, 52.000 ton di antaranya sudah dibeli distributor dengan status pasokan barang masih berada di pabrik gula rafinasi selaku produsen.
Menurut Ketua Umum AGRI Bernardi Darmawan, 52.000 ton gula itu sejauh ini dijual ke pasar tradisional. Berhubung sebagian stok sudah dijual ke distributor, AGRI dan Aprindo sepakat gula yang akan dijual ke ritel 92.900 ton.
Pada 30 April 2020, nota kesepahaman (MOU) dibuat kedua pihak dengan difasilitasi Kementerian Perdagangan. Isinya, delapan pabrik itu harus menjual 92.900 ton gula kristal putih kemasan 50 kilogram ke gerai ritel anggota Aprindo.
Akan tetapi, kesepakatan berubah lagi, jumlah gula yang akan dijual 20.000-30.000 ton. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto, kuantitas itu disepakati karena disesuaikan dengan kapasitas tiap gerai ritel untuk menampung stok dua minggu. Sementara 63.000 ton sisanya diperintahkan agar dipasok ke pasar-pasar tradisional.
Telusuri distribusi
Menurut Khudori, Kementerian Perdagangan seharusnya meminta dan membuka data distribusi gula untuk mempertanggungjawabkan penyaluran gula itu. Tingginya selisih harga membuat gula olahan dari gula rafinasi menarik para pemburu rente untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Apalagi, margin keuntungan yang bisa diperoleh pabrik rafinasi terhitung besar. Ongkos produksi gula dari gula mentah (raw sugar) jadi gula konsumsi adalah Rp 8.098 per kg untuk gula mentah yang diimpor dari Asia Tenggara dan Rp 8.470 per kg untuk gula mentah dari luar Asia Tenggara.
Jika produsen rafinasi menjual dengan harga Rp 11.200 per kg, margin keuntungan yang diambil pada kisaran Rp 3.000 per kg atau Rp 3 juta per ton. ”Keuntungannya sangat besar, apalagi kalau dijual ke pasar-pasar di luar ritel dengan harga yang lebih tidak terkendali,” kata Khudori.
Menanggapi hal itu, Veri mengatakan, pihaknya sedang mendalami potensi modus serupa dilakukan oleh perusahaan lain, di antaranya perusahaan gula rafinasi yang ditugaskan pemerintah, BUMN yang ditugaskan mengimpor gula kristal putih, dan perusahaan lain yang ditugaskan mengimpor gula mentah untuk diolah jadi gula konsumsi.