Harga di Pasar Masih Tinggi, Awasi Ketat Distribusi Gula
Distribusi gula olahan rafinasi lebih banyak mengalir ke pasar tradisional ketimbang ritel modern. Skema itu membutuhkan pengawasan ketat agar upaya menurunkan harga tidak sia-sia karena ulah pemburu rente.
Oleh
Agnes Theodora
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga gula di pasaran masih relatif tinggi, yakni mencapai Rp 20.000 per kilogram di beberapa wilayah. Kementerian Perdagangan diminta meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap proses distribusi gula. Jangan sampai ada pihak-pihak yang memanfaatkan darurat situasi saat ini untuk mengeruk keuntungan.
Sembilan pabrik gula rafinasi yang ditugaskan pemerintah untuk memproduksi gula kristal putih untuk konsumsi kini lebih banyak menyalurkan gula ke pasar-pasar tradisional ketimbang gerai ritel. Harga jual gula di pasar tradisional biasanya lebih tinggi dibandingkan di gerai ritel seperti minimarket, supermarket, dan hipermarket, yang sudah terikat kesepakatan.
Peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Khudori, Minggu (17/5/2020), berpendapat, skema distribusi gula seperti itu memerlukan pengawasan yang ekstraketat dari pemerintah. Jika tidak, pemerintah akan tetap gagal mengontrol harga gula di pasaran dan masyarakat akan semakin sulit mencukupi kebutuhan dasar sehari-harinya di tengah pandemi.
Menurut dia, potensi penyelewengan dan moral hazard dalam distribusi gula terhitung besar. Pertama, pemerintah saat ini sudah melanggar sendiri aturannya mengenai larangan penjualan gula rafinasi ke pasar konsumsi. Kedua, proses distribusi gula rafinasi hasil olahan itu lebih banyak dijual ke pasar tradisional dibandingkan ke gerai ritel.
Menurut Khudori, biaya produksi mengolah gula rafinasi menjadi gula konsumsi terhitung kecil. Ketika gula hasil olahan itu dijual ke gerai ritel dengan harga jual mengacu pada harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500 per kg saja, disparitas keuntungan yang didapat cukup besar. Apalagi, jika dijual ke pasar tradisional yang harga jualnya bisa lebih tinggi karena rantai pasok yang lebih panjang.
Selama masih dijual dengan harga tinggi ke pasar, harga gula akan terus-menerus sulit ditekan. Padahal, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) berkali-kali mengingatkan potensi krisis pangan di tengah situasi pandemi.
”Produsen bisa menikmati keuntungan lebih besar jika menjual stok gulanya ke pasar tradisional karena harga jualnya bisa di atas harga acuan. Kalau dijual ke gerai ritel, harga jual maksimal pasti mengacu pada HET,” kata Khudori.
Oleh karena itu, pemerintah harus memperketat pengawasan. Di sisi lain, produsen gula rafinasi juga seharusnya transparan terkait data transaksi dan distribusi hasil olahannya agar tidak menimbulkan kecurigaan.
”Potensi moral hazard-nya sangat besar. Jangan sampai di tengah situasi pandemi seperti ini ada orang-orang yang menumpang dan mengeruk keuntungan, hanya karena pemerintah lengah,” ujarnya.
Jangan sampai di tengah situasi pandemi seperti ini ada orang-orang yang menumpang dan mengeruk keuntungan.
Pekan lalu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey mempertanyakan, distribusi gula rafinasi hasil olahan ke pasar konsumsi. Ia mengatakan, target penjualan gula yang awalnya disepakati antara Aprindo dan Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) terus menurun, dari 145.000 ton turun menjadi 92.900 ton, hingga akhirnya sisa 20.000-30.000 ton.
Pada awalnya, 28 April 2020, AGRI menyanggupi menjual 145.000 ton gula rafinasi hasil olahan ke ritel anggota Aprindo. Namun, setelah diperiksa, dari jumlah tersebut, 52.000 ton sudah dibeli distributor dengan status pasokan barang masih berada di pabrik rafinasi selaku produsen.
Dijual ke pasar
Saat ditanyakan, Ketua Umum AGRI Bernardi Darmawan mengatakan, stok 52.000 ton itu sejauh ini dijual ke pasar tradisional. ”(Dijual) ke pasar tradisional dan tidak menutup kemungkinan sampai ke ritel-ritel modern di daerah juga,” katanya.
Berhubung sebagian stok gula sudah dijual ke distributor, AGRI dan Aprindo pun sepakat bahwa kuantitas yang akan dijual ke ritel adalah 92.900 ton. Pada 30 April 2020, nota kesepahaman (MOU) dibuat antara kedua pihak dengan difasilitasi Kementerian Perdagangan. Isinya, delapan pabrik rafinasi anggota AGRI harus menjual 92.900 ton gula kristal putih dalam kemasan 50 kilogram ke gerai ritel anggota Aprindo.
Di MOU itu, sudah ada kesepakatan untuk tidak mengatrol harga dan tetap menjualnya dengan harga jual Rp 11.200 per kilogram, agar harga jual ke konsumen tetap Rp 12.500 per kilogram sesuai HET. Namun, kesepakatan berubah lagi. Terakhir, Aprindo, AGRI, dan Kemendag menyepakati, kuantitas yang akan dijual ke ritel adalah 20.000-30.000 ton.
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Suhanto, kuantitas itu disepakati karena disesuaikan dengan batas kapasitas tiap gerai ritel untuk menampung stok dalam waktu dua minggu. Sementara itu, sisa stok gula 63.000 ton dari kesepakatan pun diperintahkan agar dipasok ke pasar-pasar tradisional.
Suhanto mengatakan, perusahaan rafinasi diminta untuk bekerja sama dengan pedagang pasar melalui jaringannya untuk mendistribukan gula tetap sesuai dengan harga eceran tertinggi.
”Tim Kementerian Perdagangan dan Satgas Pangan terlibat langsung untuk melakukan pengawalan terhadap pendistribusian gula. Jadi, sebagai penegasan, tidak ada (stok gula) yang menghilang, tapi karena Aprindo yang tidak mampu menyerap semua dalam Mei,” katanya.
Kementerian Perdagangan telah meminta perusahaan BUMN seperti PT Bulog dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia untuk melakukan operasi pasar ke seluruh Indonesia. Terlebih, mengingat Bulog telah mendistribusikan gula impornya ke seluruh gudangnya.
”Beberapa perusahaan swasta yang penugasan juga telah dan akan terus melakukan operasi pasar ke pasar-pasar pantauan di seluruh Indonesia,” kata Suhanto.
Bernardi Darmawan mengatakan, penjualan dan distribusi tidak melanggar kesepakatan apa pun. Kuantitas gula yang dijual ke ritel berkurang karena memang disesuaikan dengan kapasitas rata-rata gudang gerai ritel.
”Kalau kami tetap salurkan 92.900 ton, habisnya bisa berbulan-bulan. Makanya, Kementerian Perdagangan mengalkulasi ulang, cukup maksimal 30.000 ton saja ke ritel sampai akhir Mei,” katanya.
Ia membenarkan, perusahaan rafinasi ditugaskan pemerintah untuk melakukan operasi pasar dan menjual stok gula yang tersisa ke pasar melalui distributor. Menurut dia, dari 20.000 ton gula yang harus disalurkan ke ritel, 60-70 persen di antaranya sudah disalurkan. Namun, ia mengakui prosesnya membutuhkan waktu lebih lama karena harus melalui perusahaan pengemas.
”Untuk ke pasar tradisional, kami baru memulai. Sudah ada beberapa yang mendapat pasokan, ini dikasih waktu yang sama, akhir Mei sudah harus selesai,” katanya.
Keuntungan sepihak
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto di sela meninjau operasi pasar di Pasar Anyar, Kota Tangerang, Sabtu (16/5/2020), meminta pedagang untuk tidak menjual gula di atas HET. Pedagang yang masih menjual gula di atas harga Rp 12.500 per kilogram akan ditindak tegas Satgas Pangan. Ia mamantau, masih ada pedagang yang menjual gula jauh di atas HET.
”Jangan ada yang ingin mengambil keuntungan sepihak dengan menaikkan harga gula secara tidak wajar,” ujar Agus dalam keterangan tertulis.
Menurut dia, ada beberapa faktor yang membuat harga gula tinggi. Antara lain, jalur distribusi yang terganggu, jadwal pengapalan impor yang mundur karena penguncian wilayah di sejumlah negara, pembatasan sosial, serta jadwal musim giling tebu yang mundur karena kemarau dan membuat stok gula hasil tani belum bisa dipasok.
Agus berjanji, pada Mei ini, semua provinsi akan mendapat pasokan gula secara langsung, baik lewat pasar rakyat maupun ritel modern. ”Operasi pasar gula akan dilakukan ke semua provinsi mulai hari ini sampai menjelang Lebaran. Saya jamin, stoknya ada dan dalam jumlah cukup serta harga sesuai HET,” katanya.