Jika harga gula petani anjlok lagi musim giling kali ini, kita mendapati kegagalan ganda tahun ini, gagal di hilir dan hulu. Anjloknya harga gula di hulu menjauhkan kita dari cita-cita berdaulat di sektor pergulaan.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perdagangan Gula Kristal Rafinasi sejatinya melarang gula rafinasi dijual di pasar eceran. Produsen gula rafinasi juga dilarang menjual hasil produksinya ke distributor, pedagang pengecer, atau konsumen, tetapi langsung ke industri pengguna melalui kontrak kerja sama.
Akan tetapi, dengan alasan mengatasi kelangkaan dan menstabilkan harga, aturan itu dilanggar sendiri oleh pemerintah dengan mengalokasikan 250.000 ton gula rafinasi untuk diolah menjadi gula konsumsi dan digelontorkan ke pasar. Sebanyak 99.000 ton di antaranya dijadwalkan mengalir ke ritel modern dan pasar tradisional mulai 29 April 2020 (Kompas, 29/4/2020).
Perum Bulog juga menggelontorkan gula, sebagian dari 50.000 ton alokasi izin impor gula kristal putih (GKP), ke pedagang pasar mulai Jumat (16/5/2020). Gula dijual dengan harga Rp 11.000 per kilogram (kg) ke pedagang agar harga jual ke konsumen bisa Rp 12.500 per kg (Kompas, 16/5/2020). Pemerintah juga menambah impor gula hingga ratusan ribu ton.
Mengapa harga tidak segera turun? Padahal, jumlah gula yang dialokasikan untuk segera mengguyur pasar totalnya lebih dari 250.000 ton, setidaknya melebihi rata-rata kebutuhan bulanan gula konsumsi nasional. Di sinilah pentingnya keterbukaan dan pengawasan distribusi. Sebab, potensi penyimpangan dan moral hazard dalam distribusi gula terbilang tinggi.
Soal strategi distribusi juga perlu diuji. Pekan lalu, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) malah mempertanyakan, kenapa alokasi gula rafinasi hasil olahan pabrik-pabrik anggota Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) yang akan didistribusikan ke jaringan ritel terus berkurang dari 145.000 ton, jadi 92.900 ton, lalu terakhir tinggal 20.000-30.000 ton.
Padahal, sejumlah pihak meyakini, sebagaimana pengalaman selama ini, selain mudah di awasi, penyaluran gula melalui jaringan ritel lebih efektif meredam harga karena penjualan diikat dengan kontrak kesepakatan (Mou). Dalam MoU Aprindo dan AGRI, misalnya, harga jual gula disepakati Rp 11.200 per kg agar harga jual ke konsumen tetap Rp 12.500 per kg (Kompas, 18/5/2020). Sayangnya, alokasi dikurangi dan sebagian gula didistribusikan ke pasar tradisional yang relatif lebih sulit mengontrolnya.
Dengan ongkos produksi yang lebih murah dari gula dari tebu petani dan situasi harga di pasar gula saat ini, hasil olahan gula rafinasi yang diizinkan dijual ke pasar eceran rentan jadi “ladang penghasilan” para pemburu rente. Sebab, selisihnya lumayan besar. Dengan selisih harga, misalnya Rp 7.000 per kg dan kuota 142.000 ton (142 juta kg), ada marjin distribusi Rp 994 miliar yang bakal terbentuk dari intervensi tersebut.
Keterlambatan impor dan segenap antispasi itu berpotensi memukul produsen (gula berbasis tebu) di dalam negeri. Petani tebu bakal menjadi pihak yang paling rugi. Keterlambatan masuknya gula hasil intervensi ke pasar berpeluang menekan harga gula petani. Apalagi, instrumen negara untuk melindungi petani masih lemah sekali. Harga acuan pembelian gula di tingkat produsen, misalnya, saat ini masih Rp 9.100 per kg. Padahal, ongkos produksinya telah lebih dari Rp 11.500 per kg.
Jika harga gula petani anjlok lagi musim ini, kita mendapati kegagalan ganda tahun ini, gagal menstabilkan harga di hilir dan mendongkrak pendapatan petani di hulu. Jika petani tidak untung, luas tanam dan produksi lokal akan otomatis turun, kedaulatan pangan di pergulaan pun bakal lebih jauh.
Umar Basalim dalam Ekonomi Politik Gula (2019) menyebut, menjauhnya pencapaian kedaulatan pangan di bidang pergulaan bukan semata akibat liberalisasi perdagangan produk pertanian, melainkan lebih disebabkan oleh kebijakan pergulaan nasional yang tidak kondusif bagi penegakan kedaulatan pangan. Kebijakan tidak terintegrasi hulu-hilir, sektoral, serta diwarnai oleh ego-sektoral dan lemahnya koordinasi antarinstansi terkait.
Kini, setelah berupaya menstabilkan harga di tingkat konsumen, pemerintah mesti adil dengan memastikan petani mendapatkan harga gula yang layak atas hasil jerih payahnya. Waktunya makin sempit dan tinggal menghitung hari. Jika perlindungan itu gagal lagi, kita seolah sedang mengulang kata perpisahan, selamat tinggal petani tebu.