Tingginya harga gula di pasaran tidak membuat sejumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah produsen makanan minuman menyerah. Mereka bersiasat agar tetap bisa memanfaatkan momentum naiknya permintaan jelang Lebaran.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Ramadhan dan Lebaran 2020 menjadi momentum bagi pengusaha sektor makanan minuman untuk mendongkrak produksi seiring meningkatnya permintaan. Termasuk pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Sayang, pada saat yang sama, harga gula melambung tinggi dan sulit dicari di pasaran.
Akan tetapi, tidak sedikit pelaku UMKM yang tidak mau menyerah pada keadaan. Mereka berkreasi dan bersiasat. Ada yang mengurangi takaran, menipiskan keuntungan, hingga berkeliling pasar dan ritel untuk mendapatkan gula, mengolahnya menjadi kue, dan menjual kepada masyarakat dengan harga yang layak.
Menurut co-founder UKMIndonesia.id, Dewi Meisari, harga gula yang tinggi sejak sebelum Ramadhan menjadi tantangan bagi pelaku UMKM. Tak jarang pelaku UMKM kesulitan memperoleh gula di pasaran. Semakin tinggi komponen gula dalam bahan baku, semakin signifikan dampak yang dirasakan.
Harga rata-rata gula di pasar tradisional secara nasional, pada Rabu (20/5/2020), menurut Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional, masih Rp 17.400 per kilogram (kg). Angka itu jauh di atas harga acuan penjualan yang ditetapkan Rp 12.500 per kg.
Dalam menyiasati situasi tingginya harga gula, pelaku UMKM rela menipiskan margin penjuala. Lebih baik dapat untung sedikit daripada konsumen merasa harganya mahal dan tak mampu membelinya.
Pilihan lain adalah mengurangi komposisi gula dalam makanan dan minuman yang dijual. ”Kemarin, saya memesan kue ke rekan UMKM saya. Dia sampai bilang, ’Kuenya nggak terlalu manis. Nggak apa-apa kan?’ Hari ini, saya terima kuenya dan ternyata rasanya tetap enak,” tutur Dewi saat dihubungi, Kamis (21/5/2020).
Dewi menilai, pelaku UMKM cenderung kreatif dalam menghadapi persoalan gula. Hal ini tampak dari balutan kalimat pemasaran yang sarat dengan aspek kesehatan ketika pelaku UMKM menawarkan hasil buah tangannya yang kandungan gulanya lebih rendah dari biasanya.
Bagi Mutiara Adinda (26), produsen sekaligus penjual kue kering yang tinggal di Kemayoran, Jakarta, gula pasir memiliki peran penting dalam selai nanas untuk nastarnya. Dia menggunakan gula pasir rata-rata 2 kg per hari. Seiring stok gula yang makin langka bulan lalu, dia menstok gula secukupnya.
Meskipun demikian, dia pernah kehabisan gula. ”Akhirnya aku membelinya di marketplace dengan selisih harga yang lumayan (dibandingkan dengan toko fisik),” katanya.
Sebelum masa Ramadhan 2020, Linda Bernadetta T (25), penjual kue yang tinggal di Jakarta Timur, merasakan betapa sulitnya mencari gula. Di gerai ritel dekat rumahnya pun dia dibatasi hanya boleh membeli maksimal 2 kg.
Saat masa-masa sulit mendapatkan gula pasir itu Linda sempat berkeliling sejumlah pasar tradisional demi mendapatkan bahan tersebut. Kini, dia menilai gula lebih mudah didapatkan seiring intervensi pasar yang dilakukan pemerintah.
Selain faktor pasokan yang kurang, tingginya harga gula beberapa bulan terakhir dinilai turut dipicu oleh ulah para pemburu rente. Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) sekaligus anggota Pokja Dewan Ketahanan Pangan, Khudori, berpendapat, berbagai relaksasi kebijakan yang diterapkan pemerintah di tengah pandemi memunculkan banyak pemain yang memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan. ”Dengan pemakluman pandemi, orang-orang sengsara, sementara sebagian berpesta pora,” katanya.
Pemerintah seharusnya tidak berhenti pada para pemain kecil, tetapi menyasar pemain besar yang bisa jadi memainkan modus serupa dengan margin keuntungan lebih besar dan kuantitas lebih banyak.
”Kebutuhan bulanan (gula nasional) 250.000 ton, sementara gula yang ditemukan dan (diduga) dimainkan baru 1.100 ton. Pelaku kakapnya masih beredar dan belum ketahuan,” ujarnya.