Impor Sultra dari China Meningkat, Hindari Ketergantungan Bahan Baku
Nilai impor barang dari China ke wilayah Sulawesi Tenggara melonjak dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini mesti diwaspadai supaya tidak terjadi ketergantungan impor dari satu negara.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS - Pangsa impor barang dari China ke wilayah Sulawesi Tenggara selama empat bulan pertama 2020, mencapai 63,03 persen, atau meningkat dibandingkan periode sama tahun sebelumnya 52,93 persen. Kecenderungan impor secara berulang dari satu negara mesti diwaspadai untuk menghindari ketergantungan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sultra mencatat, impor produk dari China pada caturwulan pertama 2020 mencapai 299 juta dollar AS atau Rp 4,3 triliun. Sebagian besar bahan yang diimpor adalah bahan baku pembuat baja, mesin, bahan bakar, hingga perabotan.
Adapun nilai total impor Sultra pada kuartal periode Januari-April 2020 mencapai 474 juta dollar AS, dengan volume 1,2 juta ton. Sebanyak 63,03 persen di antaranya merupakan bahan dan barang yang didatangkan dari China. Asal impor lainnya berturut-turut adalah Australia, Singapura, dan sejumlah negara lain.
“Pangsa impor dari China itu bertambah jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Dari 52,93 persen di Januari-April 2019, menjadi 63,03 persen di 2020,” kata Kepala BPS Sultra Edy Mahmud, di Kendari, Sultra, Selasa (2/6/2020).
Dari sisi nilai impor, menurut Edy, pangsa pasar impor dari China di awal 2020 mencapai 299 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,3 triliun dengan kurs Rp 14.500. Angka ini melonjak sekitar 350 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya 87 juta dollar AS.
Untuk April 2020, tambah Edy, pangsa impor China bahkan mencapai 72,56 persen, jauh di atas negara lainnya. Nilai impor Sultra pada bulan April itu berada di angka 100 juta dollar AS, atau sedikit turun dari bulan sebelumnya 136 juta dollar AS.
Dari total impor 100 juta dollar AS tersebut, sebanyak 82,54 juta dollar AS merupakan bahan baku besi dan baja.
“Dari golongan barang, impor paling besar di April itu adalah dari golongan besi dan baja, yaitu ferrochromium, dengan angka 29,81 persen. Setelahnya ada mesin, perabot, bahan bakar mineral, hingga peralatan listrik,” tutur Edy.
Dari total 100 juta dollar AS tersebut, sebanyak 82,54 juta dollar AS merupakan bahan baku besi dan baja. Sementara barang modal mencapai 17 juta dollar AS dan barang komsumsi sebanyak 0,88 juta dollar AS.
Tingginya impor bahan baku besi dan baja sejalan dengan kenaikan ekspor industri olahan besi di Sultra. Total nilai ekspor olahan nikel selama tiga bulan pertama 2020 mencapai 408 juta dollar AS. Sebanyak 371 juta dollar AS di antaranya atau lebih dari Rp 5 triliun, adalah kontribusi ekspor ke China.
Di Sultra, memang terdapat mega industri nikel dengan investasi triliunan rupiah, yaitu PT Virtue Dragon Nickel Industry. Perusahaan terus mengembangkan kapasitas produksi untuk mengolah nikel menjadi feronikel, dan nantinya akan diolah dalam berbagai bentuk turunan lainnya.
Hindari ketergantungan
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Muhammadiyah Kendari Syamsul Anam, mengungkapkan, tingginya kecenderungan impor barang dari satu negara secara berulang harus dibatasi. Hal tersebut dalam jangka panjang akan membuat ketergantungan pada wilayah, maupun secara nasional.
“Semakin tinggi nilai impor tentunya membuat nilai tukar rupiah terdepresiasi. Padahal, bisa saja barang yang diimpor itu ada dalam negeri. Jika melihat data umum, impor barang komsumsi juga melonjak di 2020 ini. Mungkin ada kaitannya dengan penanganan Covid-19, tapi itu kecil,” kata Syamsul.
Oleh karena itu, menurut Syamsul, pemerintah perlu memastikan bangkitnya industri pengolahan di daerah maupun secara nasional. Industri nasional juga sedapat mungkin memanfaatkan bahan baku dan penolong dari dalam negeri sehingga nilai tambah bagi perekonomian nasional dan daerah lebih meningkat.
Selain itu, pemerintah daerah sebaiknya segera menangkap peluang industri di hulu maupun hilir. “Hasil dari smelter-smelter itu ada banyak. Ini bisa jadi bahan baku untuk aneka jenis barang lain seperti produk mesin, perabotan rumah tangga, dan lainnya. Pada intinya agar nilai tambah produk meningkat, impor berkurang, dan masyarakat merasakan langsung dampaknya,” jelas Syamsul.
Industri pendukung bagi industri skala besar di Sultra memang belum memadai. (Muslimin-Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra)
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra Muslimin mengakui, industri pendukung bagi industri skala besar di Sultra memang belum memadai. Berbagai kebutuhan masih terus diidentifikasi agar menjadi peluang industri kecil untuk menopang pengolahan industri skala besar di wilayah ini.
"Ini memang masih diidentifikasi apa yang penting untuk industri pendukung agar pengolahan skala besar, khususnya pertambangan, bisa saling menopang. Karena kebutuhan mereka memang spesifik dan barang yang dibutuhkan belum tentu ada di sini," ucapnya.
Muslimin pun menyarankan, kalangan industri sebaiknya memanfaatkan bahan baku di wilayah setempat. Kebutuhan-kebutuhan kecil yang telah tersedia, sebaiknya dimanfaatkan dan tidak perlu impor. Hal ini akan membantu perekonomian regional dan masyarakat luas.