Pemerintah harus tegas melindungi industri domestik yang terus digempur produk-produk impor. Pengamanan perdagangan perlu dilakukan sembari membenahi daya saing nasional.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tindakan pengamanan perdagangan atau safeguards pada pasar domestik dari lonjakan impor dapat menjadi langkah awal meningkatkan daya saing perindustrian nasional di hilir. Meskipun demikian, pemerintah tak boleh absen menggarap industri hulu dan tengah produk-produk terkait agar daya saing nasional dapat berkelanjutan.
Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman Yustinus H Gunawan, Rabu (10/6/2020), mengatakan, lonjakan impor menyebabkan kerugian serius ataupun ancaman kerugian terhadap industri dalam negeri. Kerugian dan ancaman kerugian itu berupa penurunan volume penjualan dan produksi.
Padahal, daya saing kaca lembaran hasil produksi industri dalam negeri berpotensi meningkat. Hal ini didukung oleh implementasi harga gas bumi untuk industri sebesar 6 dollar Amerika Serikat (AS) per juta metrik british thermal unit (MMBTU).
Sayangnya, lanjut Yustinus, potensi ini terancam tak dinikmati oleh pelaku industri dalam negeri karena adanya risiko produk impor serupa dari negara eksportir lainnya, seperti Malaysia.
”Kami telah melaporkan lonjakan itu ke Komisi Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI). Besaran kerugian ada di tiap-tiap perusahaan serta akan dihitung dan disampaikan kepada KPPI ketika penyelidikan awal dimulai,” katanya.
KPPI mencatat, ada tujuh permohonan baru penyelidikan pengamanan dagang dari pelaku industri selama Januari-Mei 2020 atas lonjakan sejumlah produk impor sejak 2017. Produk impor yang melonjak paling signifikan adalah panel surya 59 persen, kaca 52 persen, serta peralatan dapur dan makan 39 persen.
Kemudian disusul dengan produk karpet dan penutup lantai tekstil yang melonjak impornya sebesar 25 persen, kertas sigaret 15 persen, terpal 13 persen, dan garmen 8 persen.
Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Andhika Prastawa mengakui, panel surya dalam negeri memang belum berdaya saing dengan buatan impor. Harga rata-rata panel surya di tingkat internasional berkisar 0,25-0,3 dollar AS per watt. Harga rata-rata panel surya di Indonesia berkisar 0,3-0,4 dollar AS.
Perbedaan harga itu disebabkan skala ekonomi dari hasil produksi pabrik panel surya dalam negeri belum tercapai. ”Akan tetapi, apabila pemerintah serius menggarap industri hulu panel surya, yakni sel surya, produk Indonesia akan makin berdaya saing,” ujarnya.
Hati-hati
Pengamat industri pulp (bubur kertas) dan kertas Rusli Tan berpendapat, pencanangan safeguards pada produk kertas sigaret mesti berhati-hati karena pengolahan kertas sigaret tak mencapai 50.000 ton per tahun. Selain itu, kendati Indonesia memiliki bahan bakunya, teknologi pengolahannya berbeda.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri Indonesia Shinta Widjadja Kamdani mengatakan, dengan menerapkan kebijakan safeguards, Indonesia dapat dinilai menutup diri dari perdagangan internasional karena industri nasional tidak mampu bersaing secara sehat.
”Hal ini bisa membuat citra Indonesia buruk. Padahal, Indonesia sedang berupaya mendatangkan investasi asing dan membuka kerja sama ataupun perjanjian perdagangan dengan negara lain,” tuturnya.
Shinta menilai, impor sejumlah produk di pasar Indonesia yang dianggap melonjak dan berisiko pada industri nasional berakar dari belum terpenuhinya skala ekonomi perindustrian nasional. Suplai produk terkait pun bisa jadi tak mampu memenuhi permintaan, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Di tengah pandemi Covid-19, sejumlah negara memang menerapkan kebijakan ekspor-impor yang mendisrupsi arus perdagangan internasional, termasuk yang bersifat protektif. Akan tetapi, kata Shinta, kebijakan-kebijakan ini berpotensi bersifat sementara dan akan dicabut seiring dengan pulihnya perekonomian.