”Banjir” Produk Impor, Industri Nasional Kian Terpukul
Langkah tindakan pengamanan perdagangan itu bisa berdampak positif terhadap pendapatan negara, yaitu melalui pengenaan bea masuk tindakan pengamanan perdagangan (BMTP) dan bea masuk anti-dumping (BMAD).
Oleh
Agnes Theodora/m paschalia judith j
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — ”Banjir” sejumlah produk impor mengancam industri nasional yang tengah terimbas pandemi Covid-19. Produk-produk impor itu adalah karpet, kertas sigaret, peralatan dapur dan makan, terpal, kaca lembaran, panel surya, dan garmen. Jika tidak ditangani, industri nasional bisa kian terpukul.
Komisi Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) mencatat, ada tujuh permohonan baru penyelidikan pengamanan dagang dari pelaku industri selama Januari-Mei 2020 ini. Produk impor yang melonjak paling signifikan adalah panel surya sebesar 59 persen, kaca 52 persen, serta peralatan dapur dan makan 39 persen.
Kemudian disusul dengan produk karpet dan penutup lantai tekstil yang melonjak impornya sebesar 25 persen, kertas sigaret 15 persen, terpal 13 persen, dan garmen 8 persen. Produk-produk impor itu melonjak secara bertahap sejak 2017.
”Dari bukti yang didapat, sumber impor barang-barang itu paling banyak berasal dari China,” kata Ketua KPPI Mardjoko dalam diskusi daring bertajuk ”Trade Remidi di Masa Pandemi: Peluang dan Tantangan” di Jakarta, Senin lalu.
Dari bukti yang didapat, sumber impor barang-barang itu paling banyak berasal dari China.
Menurut Mardjoko, lonjakan impor itu dikhawatirkan bisa mengancam daya saing produk industri dalam negeri. Untuk itu, tindakan pengamanan perdagangan (trade remedies), baik safeguard maupun anti-dumping, dapat ditempuh pemerintah untuk mencegah kerugian serius terhadap industri dalam negeri.
KPPI harus dapat memenuhi sejumlah syarat untuk melakukan penyelidikan safeguard, antara lain lonjakan barang impor paling sedikit terjadi dalam tiga tahun terakhir serta ada kerugian serius atau ancaman kerugian serius yang dialami industri dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.
”Selain itu, harus ada juga hubungan sebab akibatnya, yang berarti lonjakan jumlah barang impor itu harus terbukti menyebabkan kerugian,” katanya.
Mardjoko menambahkan, langkah tindakan pengamanan perdagangan itu bisa berdampak positif terhadap pendapatan negara, yaitu melalui pengenaan bea masuk tindakan pengamanan perdagangan (BMTP) dan bea masuk anti-dumping (BMAD). KPPI mencatat, tindakan pengamanan perdagangan sejak 2014-2019 berhasil menyumbang penerimaan negara hingga Rp 2,1 triliun.
Dalam diskusi daring bertajuk ”Trade for Indonesia” yang digelar Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Jakarta, Selasa (9/6/2020), Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, kinerja perdagangan di tengah pandemi Covid-19 menghadapi tantangan yang tidak mudah.
”Di tengah arus impor yang meningkat, industri dalam negeri harus tetap dilindungi agar tidak merugi. Untuk itu, Indonesia akan memanfaatkan instrumen pengamanan dagang dalam bentuk anti-dumping atau safeguard,” katanya.
Dumping terjadi ketika suatu negara menjual produk ke pasar internasional dengan harga lebih murah dari harga pasar sehingga bisa mengancam daya saing produk dalam negeri negara importir.
Investigasi anti-dumping bisa dilakukan pemerintah negara importir jika praktik dumping mulai mengancam industri dalam negeri. Kebijakan anti-dumping bisa diterapkan lewat pengenaan tarif bea masuk untuk mendekatkan harga produk ekspor dengan nilai normal.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, hasil produksi industri dalam negeri mesti menjadi tuan rumah di negara sendiri. Saat ini, permintaan sedang rendah. Artinya, ”kue” pasar sedang terbatas.
”Sudah sewajarnya kita memberikan pasar yang terbatas itu untuk dinikmati industri dalam negeri,” tuturnya saat dihubungi, Selasa (9/6/2020).
Hasil produksi industri dalam negeri mesti menjadi tuan rumah di negara sendiri. Saat ini, permintaan sedang rendah. Artinya, ”kue” pasar sedang terbatas.
Di tengah proteksi perdagangan yang dilakukan sejumlah negara melalui safeguards, Agus menilai, langkah tersebut tengah diupayakan untuk menjaga pasar dalam negeri. Sejumlah strategi pemerintah mengarah ke hal tersebut hingga pasar menjadi normal kembali.
Di sisi lain, pemerintah perlu memastikan produk-produk yang dibutuhkan pasar domestik, tetapi belum dapat diproduksi industri nasional tetap terjaga impornya. ”Dalam hal ini, pemerintah dalam tahap pendataan,” ujarnya.
Tuduhan dumping
Sementara itu, dari segi ekspor, Indonesia menghadapi 16 kasus tuduhan pengamanan dagang (trade remedies) dari sejumlah negara, seperti India, Amerika Serikat, Ukraina, Uni Eropa, Australia, Turki, Vietnam, hingga Malaysia. Negara-negara mitra dagang Indonesia itu melayangkan inisiasi investigasi trade remedies terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia.
Sebanyak 10 kasus adalah investigasi tuduhan anti-dumping, sementara enam sisanya adalah tuduhan safeguard.
Beberapa produk yang masuk daftar tuduhan antara lain produk baja, monosodium glutamate (MSG) aluminium, benang tekstil, bahan kimia, produk otomotif, dan produk kayu. Kementerian Perdagangan mencatat, 14 kasus merupakan investigasi baru, sementara dua di antaranya adalah investigasi yang sifatnya peninjauan ulang.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Srie Agustina mengatakan, Indonesia berpotensi kehilangan devisa ekspor hingga 1,9 miliar dollar AS atau setara Rp 26,5 triliun jika ekspor produk-produk itu dikenai bea masuk anti-dumping (BMAD) atau bea masuk tindak pengamanan (BMTP). ”Ini angka yang tidak sedikit di tengah kondisi kita membutuhkan devisa negara,” kata Srie.