Jepang sedang agresif membangun pembangkit listrik energi terbarukan yang berbahan bakar dari biomassa. Jepang membutuhkan 10 ton cangkang kelapa sawit per tahunnya. Ini adalah peluang besar bagi Indonesia.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jepang berkomitmen menyerap cangkang kelapa sawit Indonesia dalam jumlah besar. Cangkang kelapa sawit yang merupakan limbah biomassa dapat dijadikan sumber bahan bakar pembangkit listrik. Setiap tahun, Jepang membutuhkan sekitar 10 juta ton cangkang kelapa sawit.
Presiden Direktur Japan External Trade Organization (Jetro) Jakarta Keishi Suzuki mengatakan, kebutuhan energi terbarukan di Jepang sedang tinggi. Saat ini, ada 90 proyek pembangkit listrik yang sedang dikembangkan di Jepang.
Seluruh pembangkit itu akan menggunakan sumber energi terbarukan, terutama dari cangkang kelapa sawit (palm kernel shell) dan palet kayu. Pada masa mendatang, Jepang membutuhkan cangkang kelapa sawit ini sebanyak 10 juta ton per tahun untuk bahan bakar pembangkit listrik.
”Indonesia adalah produsen minyak kelapa sawit nomor satu di dunia. Cangkang kelapa sawit, yang merupakan limbah, bisa menjadi peluang ekspor yang efektif dari Indonesia. Nilainya untuk Jepang bisa mencapai 10 miliar yen per tahun,” kata Suzuki dalam seminar daring bertema ”Akses Pasar UKM Eksportir Indonesia ke Jepang”, Selasa (14/7/2020).
Namun, lanjut Suzuki, pembeli cangkang kelapa sawit di Jepang kesulitan mendapatkan barang secara langsung ke pemasok yang ada di Indonesia. Pembeli harus melewati sebuah sindikasi besar untuk bisa mendapatkan cangkang kelapa sawit tersebut. Di satu sisi, pembeli di Jepang membutuhkan kestabilan pasokan dengan standar mutu tertentu.
Pembeli harus melewati sebuah sindikasi besar untuk bisa mendapatkan cangkang kelapa sawit tersebut.
”Cangkang kelapa sawit ini pada dasarnya adalah produk sisa sehingga tidak perlu ada ongkos produksi. Namun, biaya lainnya tentu timbul dari pengemasan, penyimpanan, ataupun pengiriman hingga ke Jepang. Oleh karena itu, perlu dibuat struktur logistik cangkang kelapa sawit,” ujar Suzuki.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri pada Kementerian Perdagangan Srie Agustina mengemukakan, Jepang adalah negara penting untuk pemasaran cangkang kelapa sawit asal Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke Jepang sepanjang 2015-2019 naik 49 persen. Pada 2019, volume impor cangkang kelapa sawit Jepang yang sebanyak 2,5 juta ton, 85 persen di antaranya berasal dari Indonesia.
”Hal ini dipicu masifnya pengembangan energi terbarukan di Jepang yang pada 2030, dalam bauran energi di Jepang, berkisar 25-30 persen adalah datang dari sumber energi terbarukan. Jadi, situasi ini sangat potensial bagi Indonesia untuk ditangkap sebagai peluang,” kata Srie.
Terkait dengan hubungan dagang kedua negara, tambah Srie, pandemi Covid-19 menyebabkan nilai perdagangan Indonesia-Jepang turun. Pada periode Januari-Mei 2020, nilai perdagangan kedua negara sebesar 11,1 miliar dollar AS. Nilai tersebut lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang sebesar 13,2 miliar dollar AS atau ada penurunan 16,38 persen.
”Adapun untuk nilai ekspor Indonesia ke Jepang pada periode Januari sampai Mei 2020 sebesar 5,7 miliar dollar AS atau turun 15,44 persen dibandingkan dengan periode Januari sampai Mei 2019 yang nilainya 6,7 miliar dollar AS,” ujarnya.
Pengembangan energi terbarukan di Jepang yang berbasis biomassa adalah sebuah peluang dan harus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. (Mirza Nurhidayat)
Sementara itu, Konsul Jenderal Republik Indonesia di Osaka, Jepang, Mirza Nurhidayat menambahkan, pengembangan energi terbarukan di Jepang yang berbasis biomassa adalah sebuah peluang dan harus bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. Hanya saja, perlu ada kesepakatan mengenai standardisasi mutu cangkang kelapa sawit antara Indonesia dan Jepang.
Ada dua standardisasi yang dipakai, yaitu Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Jepang menggunakan sertifikasi RSPO untuk produk biomassa.
”Tentu RSPO bisa cocok dengan ISPO dan kami berharap Jepang membuka kesempatan bagi Indonesia yang menerapkan ISPO agar diakui legalitasnya,” kata Mirza.
Di Indonesia, produk kelapa sawit yang digunakan sebagai bahan bakar energi terbarukan adalah biodiesel. Biodiesel dicampurkan ke dalam solar dengan komposisi 30 persen biodiesel berbanding 70 persen solar murni. Di pasaran, nama produk tersebut adalah biosolar yang harganya Rp 5.150 per liter dan harganya disubsidi negara.