Waspadai Dampak Resesi Korsel dan Singapura
Optimisme masih mewarnai Indonesia di tengah resesi ekonomi yang dialami Korea Selatan dan Singapura.
JAKARTA, KOMPAS — Resesi yang menghantam negara mitra dagang Indonesia, yakni Korea Selatan dan Singapura, diperkirakan berdampak terhadap Indonesia. Kinerja perdagangan dan realisasi investasi di sektor manufaktur dan jasa diprediksi akan melambat pada periode resesi.
Kendati demikian, pemerintah masih optimistis dampak bagi Indonesia tidak akan signifikan dan berkepanjangan.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani, Minggu (26/7/2020), menyampaikan, potensi dampak negatif dari resesi Korea Selatan ke Indonesia sebenarnya relatif besar. Itu karena Korsel adalah salah satu negara tujuan ekspor utama Indonesia dan investor utama di kawasan Indonesia.
Ketergantungan sektor industri Indonesia terhadap Korsel cukup tinggi. Pasokan bahan baku untuk produksi di dalam negeri juga didapat dari ”Negeri Ginseng” itu.
”Kita jelas tidak lolos dari imbas negatif technical recession berbagai negara itu. Industri nasional bisa terkena pukulan yang signifikan apabila resesi sampai memburuk dan berkepanjangan di Korea Selatan,” ujarnya.
Pekan lalu, Korea Selatan resmi mengumumkan masuk jurang resesi. Produk domestik bruto (PDB) negara itu tumbuh negatif pada triwulan I dan triwulan tahun ini. Pada triwulan I, Korsel tumbuh -1,3 persen dan pada triwulan II tumbuh -3,3 persen.
Dua pekan lalu, Kementerian Perdagangan dan Industri Singapura mengumumkan, ”Negeri Singa” itu mengalami resesi setelah pertumbuhan ekonominya terkontraksi pada dua triwulan secara berturut-turut.
Selama ini, Korea Selatan dan Singapura masuk dalam 10 teratas negara mitra dagang utama Indonesia, baik sebagai negara tujuan ekspor maupun pengimpor. Menurut Shinta, dampak yang cukup signifikan terutama akan terasa pada kinerja ekspor.
Komoditas ekspor andalan Indonesia ke Korsel, antara lain, adalah batubara, bijih tembaga, dan timah. Sementara ekspor ke Singapura berupa logam mulia, perhiasan, mesin, perlengkapan listrik, tembakau, dan rokok.
”Agak mengkhawatirkan dari sisi ekspor karena kondisi krisis ini berarti konsumsi masyarakat di negara tujuan tertekan. Korsel dan Singapura bisa saja mengetatkan ekspor agar resesinya tidak semakin parah,” kata Sintha.
Baca juga: Pengangguran dan Kemiskinan Mengancam, Pilih Investasi Strategis
Dari sisi investasi, krisis di Singapura juga dikhawatirkan akan membuat negara tersebut semakin berhati-hati menyalurkan investasi ke negara lain. Hal ini akan menghambat investasi pada industri pengolahan atau manufaktur dan investasi di sektor jasa, khususnya jasa bisnis.
Dampak yang cukup signifikan terutama akan terasa pada kinerja ekspor.
Shinta berharap resesi di kedua negara itu tidak terlalu lama. Strategi dan sikap tegas Pemerintah Korsel untuk meredam stimulus bisa berdampak terhadap hubungan ekonomi Korsel dengan negara mitra, seperti Indonesia.
”Proyeksi ekonomi Korea cukup positif untuk triwulan berikutnya. Pemerintahnya memberikan stimulus-stimulus yang memadai sehingga seharusnya Korea sudah bisa keluar dari kondisi pertumbuhan ekonomi negatif pada triwulan III-2020,” katanya.
Tetap optimistis
Pemerintah menilai, dampak dari resesi Korsel dan Singapura tidak akan terlalu signifikan dirasakan Indonesia.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, analisis elastisitas ekspor Indonesia terhadap Korsel dan Singapura selama ini menunjukkan, ketergantungan dagang Indonesia terhadap kedua negara itu tidak terlalu tinggi.
Tingkat elastisitas menunjukkan tingkat respons kinerja ekspor suatu negara terhadap kondisi ekonomi negara tujuan ekspor.
”Keterkaitan dagang kita biasanya lebih signifikan dengan China, Uni Eropa, dan Jepang dibandingkan dengan Korsel dan Singapura,” kata Kasan.
Menyusul resesi yang dirasakan Korsel dan Singapura, pemerintah tengah mengkaji intensitas dampak yang akan dirasakan Indonesia. Jika pengaruhnya tinggi, beberapa langkah, di antaranya mengalihkan ekspor ke negara lain yang kondisi perekonomian dan penanganan pandeminya lebih baik, bisa dilakukan.
Meski demikian, pemerintah masih optimistis karena interaksi dan kegiatan perdagangan antara Indonesia dan kedua negara itu masih berlangsung baru-baru ini di tengah resesi. ”Faktanya, kita masih ada komunikasi dan transaksi secara virtual. Belum lama ini juga ada UMKM kita yang masih mengekspor ke negara-negara itu. Jadi, hubungan dagang relatif masih berjalan,” tuturnya.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor nonmigas Indonesia ke Singapura pada Januari-Juni 2020 sekitar 6,36 persen dari total ekspor nonmigas Indonesia. Sementara data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan, realisasi investasi asing pada semester I-2020 didominasi Singapura.
”Krisis yang mereka alami memang akan memengaruhi kita, tetapi pertanyaannya adalah sebesar apa dampaknya? Kita tetap mewaspadai dampak resesi ini, tetapi sepertinya tidak akan terlalu besar meskipun dari segi ekspor akan ada penurunan,” katanya.
Baca juga: Dampak Resesi terhadap Kemiskinan
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, resesi yang dialami Korea Selatan dan Singapura bisa berdampak pada kontraksi realisasi penanaman modal asing (PMA) di Indonesia dalam jangka pendek.
"Mungkin akan ada tekanan investasi ke Indonesia dari Singapura dan Korea Selatan, tetapi tidak akan lama. Kalau ekonomi global pulih pada 2021, realisasi PMA akan cepat pulih,” ujarnya.
Mungkin akan ada tekanan investasi ke Indonesia dari Singapura dan Korea Selatan, tetapi tidak akan lama.
Faisal mengatakan, dalam sepuluh tahun terakhir, Singapura dan Korea Selatan masuk dalam jajaran lima negara dengan nilai PMA terbesar di Indonesia.
Menurut data BPS, pada 2019, nilai PMA Singapura di Indonesia mencapai 6,51 miliar dollar AS (Rp 95,06 triliun). Jika diakumulasikan pada periode 2010-2019, Singapura menanamkan investasi 65,27 miliar dollar AS (Rp 953 triliun) di Indonesia. Selanjutnya, Jepang (34,64 miliar dollar AS), China (13,81 miliar dollar AS), Korea Selatan (13,76 miliar dollar AS), dan AS (13,65 miliar dollar AS).