Kendati restriksi sosial dengan membiarkan ”herd immunity” (kekebalan komunitas) menjalankan fungsinya secara alami bukanlah pilihan Indonesia, ada kesan justru inilah yang sedang terjadi.
Oleh
hendriyo widi
·4 menit baca
Kesehatan menjadi prioritas pemerintah, terutama sejak Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional dibentuk dan diumumkan pada 20 Juli 2020. Namun, dalam praktik sebenarnya, penanganan pandemi Covid-19 tetap berjalan beriringan dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional.
Di bidang kesehatan, tes cepat dan usap terus digalakkan kendati belum optimal. Masih banyak masyarakat yang belum terjangkau pemeriksaan. Sementara proses lanjutan pemeriksaan, yakni pelacakan, kerap terbentur rumitnya rantai pergerakan kasus suspek. Ujung-ujungnya, proses pelacakan akhirnya berhenti pada rantai kontak erat terbatas. Artinya, masih ada para pembawa virus yang bahkan tanpa gejala bergerak bebas tidak mengisolasi diri.
Pemerintah juga telah berupaya memburu vaksin Covid-19 dan menjalin kerja sama uji coba vaksin. Presiden Joko Widodo menyebutkan, pemerintah telah mengamankan pengadaan vaksin Covid-19 sebanyak 290 juta dosis hingga akhir 2021.
Pemerintah juga terus mendorong pengembangan vaksin merah putih, vaksin Covid-19 yang diteliti Lembaga Biomolekuler Eijkman. Bibit vaksin ini baru akan diserahkan kepada Bio Farma pada Februari 2021 dan harus melalui fase uji klinis (Kompas, 24 Agusutus 2020).
Di bidang ekonomi, program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terus bergulir. Salah satunya dengan mendorong geliat konsumsi rumah tangga melalui pembayaran gaji dan pensiun ke-13, subsidi gaji bagi pegawai swasta, serta stimulus dan bantuan produktif pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Langkah konkret lain adalah menjadikan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai motor penggerak ekonomi bersama koperasi dan UMKM. Misalnya, melalui penyediaan pasar bagi UMKM, pengadaan barang BUMN dari UMKM, mengoptimalkan peran badan usaha milik desa, serta melibatkan kelompok tani dalam program Food Estate dan penyerapan-pemasaran produk petani melalui BUMN Kluster Pangan.
Untuk menegakkan protokol kesehatan era normal baru, pemerintah memberi sanksi kepada para pelanggar protokol kesehatan kendati penegakkannya masih belum maksimal. Tetap saja pergerakan masyarakat susah dikendalikan. Masih banyak warga, bahkan mereka yang berada di kementerian dan lembaga, yang abai terhadap protokol kesehatan.
Dua kali libur panjang pada momen hari raya Idul Adha dan Tahun Baru Islam, pergerakan masyarakat ke luar kota nyaris tak terhentikan. Pada H+2 dan H+3 Tahun Baru Islam (22-23 Agustus 2020), misalnya, PT Jasa Marga (Persero) Tbk mencatat sebanyak 329.641 kendaraan bergerak menuju Jakarta.
Angka ini naik 46 persen daripada lalu lintas normal. Sebelumnya, pada 19-21 Agustus 2020, sebanyak 460.792 kendaraan meninggalkan Jakarta atau 27,3 persen lebih tinggi dibandingkan dengan situasi lalu lintas normal.
Sementara PT Angkasa Pura I (Persero) menyebutkan, lalu lintas pergerakan penumpang di 15 bandara Angkasa Pura I periode 1-16 Agustus 2020 mencapai 1.000.099 orang, tumbuh 53 persen dibandingkan dengan periode 1-16 Juli 2020 yang 652.107 orang.
Dua kali libur panjang pada momen hari raya Idul Adha dan Tahun Baru Islam, pergerakan masyarakat ke luar kota nyaris tak terhentikan.
Mobilitas masyarakat ini berpotensi menggerakkan Covid-19 semakin berpindah dari orang ke orang. Apa yang dilakukan pemerintah? Boleh dikata hanya sekadar merekayasa lalu lintas untuk mengurai kemacetan dan mengingatkan protokol kesehatan di era normal baru.
Di sisi lain, perjalanan dinas, baik dari daerah ke pusat pemerintahan atau sebaliknya dari pusat pemerintahan ke daerah, terus digelar. Bahkan, acara atau kegiatannya pun ada yang terkesan diada-adakan. Kegiatan yang sebenarnya bisa digelar secara virtual atau cukup di kantor atau di dalam kota justru diadakan di luar kota.
Entah ini demi turut menggerakkan ekonomi atau demi kepentingan diri sendiri. Maaf. Mungkin mereka terpanggil atau terpaksa memenuhi permintaan atasan untuk memberi teladan kepada masyarakat untuk bepergian menggerakkan ekonomi meski nyawa taruhannya.
”Herd immunity”
Kendati restriksi sosial dengan membiarkan herd immunity (kekebalan komunitas) menjalankan fungsinya secara alami bukanlah pilihan Indonesia, ada kesan justru inilah yang sedang terjadi. Kekebalan komunitas mengacu pada konsep epidemiologi, yakni sebuah penyakit menular akan melambat dan berhenti penyebarannya ketika sekian persen populasi tersebut sudah imun terhadap penyakit itu.
Kekebalan terhadap penyakit ini bisa didapat secara alami, yakni dengan sembuh dari penyakit tersebut. Kekebalan juga bisa didapat secara buatan dengan vaksin. Namun, hingga saat ini, vaksin masih dalam proses penelitian dan uji coba.
Kendati restriksi sosial dengan membiarkan herd immunity (kekebalan komunitas) menjalankan fungsinya secara alami bukanlah pilihan Indonesia, ada kesan justru inilah yang sedang terjadi.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mencatat, penyebaran penyakit yang disebabkan virus korona baru di Tanah Air semakin meluas. Setelah hampir enam bulan pandemi berlangsung, penularan Covid-19 telah menyebar ke 484 dari 514 kabupaten/kota yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.
Saat ini, hanya 30 kabupaten/kota saja yang tak terdampak Covid-19. Jumlah itu tiga kali lebih sedikit dibandingkan dengan kondisi pada Mei lalu, yang tercatat masih 102 kabupaten/kota yang tak terdampak Covid-19 (Kompas, 25 Agustus 2018).
Di kala ekonomi nasional berada di ambang resesi, gas terus diinjak. Toh, sudah mendapat kontrak vaksin meski masih tahap uji coba. Begitu mungkin yang terpikir.
Semakin massalnya pergerakan masyarakat dan beragamnya kluster Covid-19 tersebut mengindikasikan masih minimnya upaya menekan tingkat infeksi untuk sementara waktu ke tingkat yang tidak merusak sistem rumah sakit dan membuat petugas kesehatan tak semakin tertekan.
Kesadaran bersama, termasuk pemerintah dan masyarakat, kapan saatnya harus mengegas dan mengerem sangat diperlukan. Jika kesadaran ini terus diabaikan, ah, sudahlah....