Wabah Covid-19 (”Coronavirus disease” 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) memukul pariwisata Jawa Timur di mana jumlah kunjungan pelancong mancanegara terendah dalam empat tahun terakhir.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Wabah Covid-19 (Coronavirus disease 2019) akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) berdampak negatif terhadap pariwisata Jawa Timur. Tahun ini, kunjungan pelancong mancanegara berada di titik terendah di antara empat tahun terakhir.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Jatim, kurun Januari-Agustus 2020, provinsi berpenduduk 40 juta jiwa ini hanya dikunjungi 34.751 turis asing yang masuk melalui Bandar Udara Internasional Juanda di Sidoarjo. Angka kedatangan itu anjlok dibandingkan kurun Januari-Agustus tahun lalu 161.216 wisatawan, 2018 tercatat 213.155 pelancong, tiga tahun lalu 157.269 petandang, dan 2016 kedatangan 135.303 turis.
Padahal, status petandang internasional juga mencakup warga Indonesia yang tinggal di luar negeri karena bekerja. Dalam masa pagebluk ini, ada yang kembali ke Jatim. Antara lain, situasi di mancanegara juga tidak menentu sehingga terpaksa pulang sampai wabah yang telah menjadi pandemi global bisa teratasi.
Sektor pariwisata yang paling terdampak karena larangan masuk orang asing ke Indonesia yang diterapkan mulai April akibat wabah Covid-19. (Dadang Hardiwan)
Penurunan jumlah turis asing ke Jatim sudah terasa sejak awal tahun atau Januari. Ketika itu, wabah belum menyerang Indonesia, termasuk provinsi bermoto Jer Basuki Mawa Beya ini. Ada 17.047 wisatawan internasional yang masuk ke Jatim lewat Juanda pada Januari 2020. Bulan berikutnya, kunjungan merosot ke 11.700 orang.
Kondisi pada Maret kian memprihatinkan dengan kedatangan cuma 5.774 petandang mancanegara. Saat wabah mulai merajalela, kunjungan pelancong asing berada ke titik terendah, yakni 21 orang (April), 12 orang (Mei), 97 orang (Juni), 76 orang (Juli), dan 24 orang (Agustus). Bahkan, untuk Agustus, kedatangan 22 orang dari 24 jiwa itu merupakan warga Indonesia, sementara lainnya adalah seorang warga Malaysia dan seorang warga Brunei Darussalam.
”Pariwisata paling terdampak karena larangan masuk orang asing ke Indonesia yang diterapkan mulai April akibat wabah Covid-19,” kata Kepala BPS Jatim Dadang Hardiwan di Surabaya, Jumat (2/10/2020).
Perlu terobosan
Jika sektor pariwisata ingin dipulihkan, aparatur terpadu perlu segera membuat terobosan yang mempercepat penanganan pagebluk. Situasi wabah harus segera diredakan dan benar-benar aman bagi pengusaha pariwisata untuk kembali beraktivitas.
Selain itu, lanjut Dadang, penerapan protokol kesehatan dalam pencegahan wabah juga akan mengubah wajah pariwisata seterusnya. Dalam konteks normal baru (new normal), protokol kesehatan tidak bisa ditawar dan menjadi salah satu bagian penting untuk kembali menggairahkan dunia tamasya.
Secara terpisah, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jatim Sinarto mengatakan, wabah juga menjungkalkan jumlah kunjungan pelancong domestik dan lokal. Sampai dengan akhir tahun nanti, kunjungan wisatawan dalam negeri ke Jatim kemungkinan maksimal 16,5 juta orang. Angka itu dianggap masih rasional mengingat kunjungan kurun Januari-Juli hanya 11,33 juta orang. Padahal, tahun lalu, tercatat 82,5 juta turis nusantara berpelancong ke Jatim.
”Situasi anjlok tahun ini tidak bisa dihindari, bahkan sampai sekarang belum semua obyek wisata bisa dibuka penuh sehingga sulit bagi pengelola pulih,” kata Sinarto yang merupakan dalang wayang.
Dalam catatan Pemprov Jatim tercatat hampir 1.000 obyek wisata di 38 kabupaten/kota. Namun, tujuh bulan sejak serangan wabah, obyek wisata yang dibuka baru separuhnya atau 500 lokasi. Sebanyak 869 dari 2.225 hotel kembali buka atau baru 39 persen. Dari 4.203 restoran yang tercatat, yang sudah kembali baru 2.934 lokasi atau 69,8 persen.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim Dwi Cahyono mengatakan, tahun ini menjadi pil pahit yang harus diterima pengusaha kepariwisataan. Situasi wabah tidak bisa dihindari, terutama yang mengakibatkan resesi atau kelesuan perekonomian.
”Berbagai terobosan sudah ditempuh, tetapi memang belum berdampak signifikan,” kata Dwi. Misalnya promosi potongan harga untuk warga yang bosan bekerja dari rumah sehingga memilih hotel. Selain itu, menawarkan sejumlah hotel dengan kelengkapan memadai sebagai lokasi isolasi bagi pasien Covid-19 dan tenaga kesehatan.
Dwi mengatakan, yang bisa menyelamatkan dunia pariwisata adalah publik atau masyarakat. Selama perekonomian lesu, sulit mengharapkan masyarakat mau kembali menyisihkan uang untuk pelesiran. Pengelola terus mempersiapkan dan menyempurnakan obyek wisata agar sesuai dengan tuntutan normal baru khususnya penerapan protokol kesehatan.
”Wajah kepariwisataan sudah pasti berubah misalnya kebersihan dan penerapan protokol kesehatan seperti pengunjung wajib bermasker, diperiksa kesehatan, dan jaga jarak menjadi tuntutan standar,” kata Dwi.