Pemulihan Perdagangan Bergantung pada Penanganan Pandemi
Pasar global belum bisa menjadi pendorong yang kuat dan solid untuk meningkatkan kinerja ekonomi nasional melalui permintaan ekspor dan investasi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO memperkirakan pertumbuhan perdagangan global pada tahun depan akan semakin lambat. Hal ini menunjukkan ketidakpastian yang tinggi karena pemulihan arus ekspor dan impor di kancah global bergantung pada penanganan pandemi Covid-19.
WTO dalam laporan terbarunya pada 6 Oktober 2020 menyebutkan, perdagangan global pada tahun ini memang menunjukkan tanda-tanda pulih dari kemerosotan akibat imbas pandemi. Namun, untuk mengembalikannya ke titik normal, membutuhkan waktu yang lebih lama karena Covid-19 belum mereda.
WTO memperkirakan pertumbuhan volume perdagangan dunia pada 2020 akan turun sebesar 9,2 persen. Proyeksi ini lebih baik dibandingkan dengan perkiraan pada April lalu yang menyebut volume perdagangan global akan tumbuh minus 12,9 persen.
WTO juga memperkirakan pada 2021 perdagangan global diperkirakan tumbuh 7,2 persen. Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan April lalu yang diperkirakan tumbuh sebesar 21,3 persen. Namun, WTO menegaskan, perkiraan ini memiliki tingkat ketidakpastian yang sangat tinggi karena bergantung pada perkembangan pandemi dan upaya penanganan masing-masing negara.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani, Senin (12/10/2020), mengatakan, perubahan proyeksi itu mencerminkan tingginya ketidakpastian terhadap pemulihan ekonomi global. Hal itu disebabkan pemulihan ekonomi bergantung pada kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di tiap negara.
”Kebijakan penanganan ini turut memengaruhi peluang investasi dan penciptaan lapangan kerja sehingga menggerakkan permintaan terhadap perdagangan dunia,” tuturnya saat dihubungi dari Jakarta.
Perubahan proyeksi itu mencerminkan tingginya ketidakpastian terhadap pemulihan ekonomi global. Hal itu disebabkan, pemulihan ekonomi bergantung pada kebijakan penanganan pandemi Covid-19 di tiap negara.
Dalam laporannya itu, WTO menekankan, waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke kondisi sebelum pandemi relatif lebih lama atau longer u-shape crisis. Dengan demikian, pasar global belum bisa menjadi pendorong yang kuat dan solid untuk meningkatkan kinerja ekonomi nasional melalui permintaan ekspor dan investasi.
Pada tahun ini, kinerja perdagangan diproyeksikan lebih baik karena kuatnya arus ekspor-impor barang yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19. Selain itu, berdasarkan permintaan ekspor yang dicerminkan oleh indeks manajer pembelian, ada peningkatan indeks dari 27,1 pada April 2020 menjadi 49,9 pada akhir Agustus 2020.
Selama pandemi Covid-19, Deputy Director-General WTO Yi Xiaozhun mengatakan, perdagangan berperan dalam menjaga akses suplai barang dan jasa yang bersifat vital. ”Namun, salah satu risiko terbesar dari pandemi ialah adanya kecenderungan proteksionisme,” katanya melalui siaran pers.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Dzulfian Syafrian, menyatakan, pemulihan perdagangan Indonesia akan lebih lambat dibandingkan dengan negara-negara yang kontribusi ekspor-impornya terhadap produk domestik bruto relatif lebih besar. Misalnya, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Kasan Muhri menilai, perubahan proyeksi WTO turut mempertimbangkan penanganan pandemi Covid-19 di sejumlah negara yang kasusnya cenderung melandai. Contohnya, China, Selandia Baru, Italia, Thailand, dan Irlandia.
Oleh sebab itu, strategi pendekatan pasar ekspor Indonesia juga berorientasi pada negara-negara yang kasusnya relatif melandai. ”Melandainya kasus berarti kegiatan ekonomi dan perdagangan pulih lebih awal dibandingkan negara lain (yang belum melandai),” katanya.
Agar peluang ekspor ke negara-negara tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, pemerintah turut melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah. Untuk mengetahui karakteristik permintaan dan kebutuhan di negara tujuan, Kementerian Perdagangan menghimpun informasi dari atase perdagangan, Indonesia Trade Promotion Center, dan perwakilan Kantor Besar RI setempat.
Oleh sebab itu, strategi pendekatan pasar ekspor Indonesia juga berorientasi pada negara-negara yang kasusnya relatif melandai.
Publikasi WTO menyebutkan, pertumbuhan ekspor dan impor di Asia sepanjang 2020 masing-masing sebesar negatif 4,5 persen dan negatif 4,4 persen. Nilai kontraksi tersebut paling rendah jika dibandingkan dengan kawasan lainnya.
Menurut Shinta, permintaan di kawasan Asia cenderung lebih dapat diandalkan untuk menggenjot kinerja ekspor Indonesia. Namun, Indonesia perlu menyeleksi negara-negara di Asia yang berpotensi menjadi mitra dengan kriteria tingkat normalisasi perekonomian stabil dan risiko yang ditimbulkan pandemi tergolong rendah.
Indonesia juga mesti berhati-hati dengan negara Asia yang memiliki risiko tinggi terhadap utang luar negeri selama krisis (sovereign debt crisis). Kondisi ini menandakan rasio utang (negara mitra) yang diciptakan sepanjang pandemi tidak bisa ditopang oleh pertumbuhan produk domestik bruto.
”Dengan mewaspadai situasi tersebut, penerimaan ekspor betul-betul bisa terealisasi untuk peningkatan kinerja ekonomi nasional yang berkelanjutan,” ujarnya.