Ida Fauziyah: RUU Cipta Kerja Lindungi Semua Pekerja
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menilai RUU Cipta Kerja ingin melindungi semua pekerja, baik kelompok pekerja yang eksis, pencari kerja, maupun pekerja sektor UMKM.
Oleh
Agnes Theodora
·5 menit baca
Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah dan DPR mengebut pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Setelah hampir dua pekan dibayangi kesimpangsiuran sumber naskah RUU, Kamis (15/10/2020), naskah final setebal 812 halaman resmi diserahkan kepada Presiden Joko Widodo.
Kendati kritik dan penolakan dari beragam elemen masyarakat muncul di banyak daerah, pemerintah meyakini RUU Cipta Kerja akan mereformasi perekonomian Indonesia. Investasi dijanjikan akan meningkat 6,6 persen sampai 7 persen serta menciptakan 2,7 juta-3 juta lapangan kerja baru per tahun.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah berpandangan, sejumlah ketentuan regulasi ketenagakerjaan perlu diubah untuk melenturkan aturan yang dinilai tidak mampu menyeimbangi tren dan dinamika pasar tenaga kerja. Berikut petikan wawancara Kompas dengan Ida Fauziyah, Kamis (15/10/2020).
Lima tahun terakhir, investasi terus naik, tetapi rasio penyerapan tenaga kerja menurun. Bagaimana strategi pemerintah ke depan untuk memenuhi janji serapan itu?
RUU ini disusun untuk menyelesaikan berbagai hambatan investasi yang akhirnya turut menghambat penciptaan lapangan kerja. Apalagi, pada saat pandemi ini, permasalahan ketenagakerjaan kita bertambah.
Seharusnya angka pengangguran kita tahun ini turun. Tetapi, karena Covid-19, potensi pengangguran jadi 12 juta-13 juta orang. Ada 3,5 juta orang yang sampai sekarang di-PHK dan dirumahkan, ada 6,9 juta orang pengangguran, dan 2,4 juta-3 juta orang angkatan kerja baru.
RUU ini mendukung penciptaan ekonomi nasional yang kondusif bagi perluasan kesempatan kerja yang berkualitas. Dari 15 kawasan ekonomi khusus yang kita bangun, setidaknya ada 1,2 juta orang yang dapat terserap. Saat ini juga sedang banyak realokasi investasi dari China, Jepang, dan Korsel, mau masuk ke Indonesia. Ini peluang-peluang yang harus kita siapkan.
Investasi yang mengantre masuk itu padat karya atau padat modal?
Kalau soal padat karya atau tidak, sebenarnya memang kita prioritaskan industri padat karya. Harapannya bisa menyerap lebih banyak orang dalam waktu cepat. Kita juga butuh industri padat karya karena tingkat pendidikan dan keterampilan tenaga kerja masih rendah. Kita perlu industri yang tidak mensyaratkan skill terlalu tinggi.
Beberapa perusahaan yang akan realokasi itu rata-rata padat karya. Harapannya, mereka bisa melihat bahwa lewat RUU Cipta Kerja ini, iklim berusaha diperbaiki, perizinan dipermudah, dan dalam waktu bersamaan kita juga sedang berusaha meningkatkan kompetensi tenaga kerja kita.
Dalam RUU Cipta Kerja, belum tampak upaya afirmatif untuk menyiapkan daya saing dan kompetensi tenaga kerja. Bagaimana menjawab tantangan itu?
Kita memang ingin investasi lancar, tetapi di sisi lain kita harus menyiapkan tenaga kerja kita yang komposisinya sekarang lebih banyak low skill. Caranya, lewat pelatihan vokasi. Kalau tidak ada Covid-19, sebenarnya itu rencananya dijawab lewat program Kartu Prakerja.
Persoalan ini tidak diatur dalam RUU Cipta Kerja karena prinsip umumnya, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tetap berlaku. Dalam UU existing itu, pengusaha bertanggung jawab atas peningkatan dan pengembangan kompetensi pekerjanya lewat pelatihan.
Sementara dalam RUU ini, ada manfaat baru Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pesangon dibayar jadi maksimal 25 kali upah (sebelumnya maksimal 32 kali upah tergantung masa kerja) dengan 6 kalinya dibayar lewat JKP.
Filosofi pesangon itu, pekerja punya bekal untuk survive mencari pekerjaan baru. Jangan pikir kalau manfaatnya bukan uang tunai, maka tidak ada perlindungan. Justru nilai perlindungan itu ada di pelatihan vokasi untuk upskilling dan reskilling. Itu menjadi bagian manfaat JKP.
Salah satu isu yang paling banyak disoroti adalah ketentuan pekerja kontrak atau PKWT. Kenapa pemerintah tidak tegas memasukkan batas waktu kontrak dalam RUU ini seperti dalam UU Ketenagakerjaan?
Kita belajar dari beberapa negara. Jika hal itu diatur dalam undang-undang, tidak akan ada fleksibilitas pengaturan. Persoalan ini tidak sederhana ketika dinamika tenaga kerja yang tinggi.
Kami sudah sepakat bahwa nanti bersama teman-teman di forum tripartit (pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh), hal ini akan dibicarakan lagi dalam perumusan peraturan pemerintah (PP). Jadi tidak diisi sendiri oleh pemerintah.
Dalam PP nanti akan diatur tegas batasan waktunya?
Bisa saja lebih dari lima tahun. Bisa kurang. Dinamikanya sangat tinggi. Kalau langsung diatur dalam UU, kami khawatir justru tidak bisa mengikuti perkembangan dinamika tersebut.
Jika memang mau menciptakan pasar kerja yang lebih fleksibel, bagaimana jaminan perlindungan dan keadilan untuk pekerja kontrak dan outsource? Faktanya, pekerja kontrak, outsource, bahkan pekerja tetap kita, masih banyak yang belum terlindungi.
Jangan dipertentangkan antara penciptaan lapangan kerja dan perlindungan. Jangan dianggap jika kami berusaha all out membuka lapangan kerja, maka otomatis mengurangi perlindungan. Kelompok pekerja dengan kelompok pengangguran sama pentingnya untuk dilindungi.
UU Ketenagakerjaan sekarang sudah memberi proteksi yang besar dan proteksi itu tetap diadopsi dalam RUU Cipta Kerja. Contohnya, dalam UU Ketenagakerjaan tidak ada perlindungan bagi pekerja PKWT. Dalam RUU ini, perlindungan sosial harus tetap diberikan ke pekerja PKWT maupun PKWTT (perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu).
Jadi, mereka punya hak dasar yang sama dengan pekerja tetap untuk mendapatkan jaminan sosial, pengaturan uang lembur, dan jam kerja yang sama.
Jaminan hak dan perlindungan itu diatur secara eksplisit dalam RUU?
Oh, ada. Dulu, PKWT itu tidak ada kompensasi kalau berakhir masa kerjanya. Sekarang, kalau kontrak berakhir, dia mendapat kompensasi. Pengusaha akhirnya berpikir, mau saya kontrak terus-terusan pun, tetap saja saya harus bayar pesangon. Ini sebenarnya bentuk perlindungan yang tidak kita atur dalam UU sebelumnya.
Berapa besar kompensasinya? Menyerupai pesangon untuk pekerja tetap?
Untuk sementara ini, kira-kira untuk masa kerja satu sampai 12 bulan, mendapat kompensasi satu bulan gaji. Itu masih kira-kira, karena nanti akan didiskusikan untuk diatur dalam PP. Ada yang bertanya, bagaimana kalau kurang dari 12 bulan? Tentu nanti akan dihitung secara proporsional sesuai masa kerja.
Pada prinsipnya, RUU ini ingin melindungi semua pekerja. Kelompok pekerja yang eksis, kelompok pencari kerja, dan kelompok pekerja di sektor UMKM.