Sunyata, Kekosongan yang Wakilkan Indonesia dalam Ajang Internasional
Mari membayangkan sebuah ruangan apa pun yang terlintas di benak kita. Entah sadar ataupun tak sadar, ada ruang kosong yang tidak digunakan pada ruangan itu. Tak ada barang apa pun di sana. Letaknya bisa di pojok, di sisi, atau di tengah. Ruang kosong itu tidak menanti untuk diisi oleh benda, tetapi membutuhkan kehadiran manusia untuk berkontemplasi dengannya.
Esensi ruang kosong tersebut diangkat dalam konsep berjudul ”Sunyata: The Poetics of Emptiness”. Ide ini akan diwujudkan sebagai Paviliun Indonesia dan dipamerkan dalam La Biennale Architettura 2018 di Venesia pada 26 Mei-25 November 2018. Ajang internasional ini juga dikenal dengan sebutan Venice Architecture Biennale.
Konsep Sunyata ini dinilai menjawab tema ”Freespace” yang ditentukan oleh panitia La Biennale Architettura. ”Selain itu, konsep Sunyata juga mampu merepresentasikan Indonesia secara kontemporer. Ini sesuai dengan pesan Presiden Joko Widodo,” kata Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia sekaligus Ketua Komisioner Indonesia untuk Venice Biennale Architecture 2018 Ricky Joseph Pesik dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/12).
Tampilnya Indonesia secara kontemporer dalam ajang pameran arsitektur internasional ini diharapkan dapat menyandingkan arsitek Nusantara dengan arsitek negara lain. Menurut Ricky, dalam ranah arsitektur, Indonesia harus bermain dalam ranah esensial, bukan lagi fisik, seperti ornamen, bentuk atap, dan bentuk bangunan.
Sunyata juga dianggap mampu merepresentasikan keberagaman ruang kosong arsitektur Indonesia dalam kemasan yang unik dan sederhana. ”Narasi pengantarnya juga memiliki daya tarik yang kuat,” ujar Ricky.
Tidak hanya itu, Ricky sengaja memilih ajang La Biennale Architettura sebagai panggung bagi Indonesia untuk unjuk gigi dalam bidang arsitektur di kancah internasional. Selain Indonesia, ada sekitar 120 negara lainnya yang mengikuti pameran. Secara statistik, jumlah total pengunjung mancanegara selama enam bulan itu berkisar 10 juta orang.
Selain untuk menyejajarkan arsitektur Indonesia dalam peta dunia, hadirnya Indonesia dalam La Biennale Architettura ini juga diharapkan agar Indonesia dapat semakin diakui dalam jaringan industri kreatif dunia. Dengan demikian, ada kesetaraan dalam hubungan internasional terutama saat berbicara soal wacana peradaban manusia yang melibatkan aspek arsitektur.
Wujud Sunyata
Kurator terpilih Paviliun Indonesia untuk La Biennale Architettura 2018, Ary Indra, mendapatkan konsep ini dari kejawaannya. ”Saya pernah tertarik dengan konsep buto ijo. Bahkan, ada kekosongan dalam pikiran manusia yang akhirnya diisi oleh konsep semacam buto ijo ini,” tuturnya.
Saat mengamati ruangan-ruangan dalam rumah, Ary menyimpulkan, selalu ada ruang kosong yang tidak ditempati benda apa pun. Jika menilik bangunan di Nusantara, dia terinspirasi pada ruang kosong seperti di Taman Sari, Yogyakarta, dan alun-alun kota.
Menurut Ary, Sunyata mengembalikan arsitektur kepada esensinya, yakni interaksi antara ruang dan manusia. ”Arsitektur bukan hanya tentang bentuk bangunan, atap, ornamen, atau material bangunan. Kami hilangkan perangkat ruang yang membatasi, seperti dinding atau balok, dalam Sunyata,” katanya.
Nantinya, konsep Sunyata ini akan diwujudkan oleh selembar kertas yang digantungkan dari ujung ke ujung pada bangunan Arsenale, tempat Paviliun Indonesia dipamerkan. Kertas ini berukuran 24 meter x 14 meter, sedangkan luas tempat pameran untuk Indonesia berkisar 290 meter persegi.
Kertas yang menggantung itu membentuk setengah lingkaran dan seolah membagi ruang menjadi bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas inilah yang dinamakan Sunyata.
Sejak berniat mendaftarkan diri mengikuti seleksi kurator, Ary menyatakan akan menggunakan kertas sebagai material utama. Kertas yang digunakan berjenis tyvek dan bersifat tidak mudah berdebu, tidak dapat disobek, dan antiair. ”Saya sengaja memilih kertas karena bahannya ringan sehingga tidak menyulitkan saat dibawa dari Indonesia ke Venesia nantinya,” ujarnya.
Mengalami Sunyata
Pada sisi kertas, akan ada lubang yang menjadi semacam pintu keluar-masuk pengunjung pada Sunyata. Menurut rencana, Sunyata ini akan dirancang sedemikian rupa sehingga mampu mereduksi kemampuan visual penikmatnya, tetapi memperkuat indera pendengaran dan perabaan.
Dalam imajinasinya, Ricky membayangkan seorang Joko Pinurbo jika memasuki Sunyata. ”Saat keluar dari Sunyata, potensi ide-idenya untuk menulis akan terpantik,” ujarnya.
Ricky berpendapat, Sunyata merupakan wujud wahana kontemplasi manusia dengan kekosongan. Dari kekosongan itu, Sunyata dapat memberikan berbagai inspirasi pada penikmatnya.
Menurut Ary, Sunyata akan menjadi indeks budaya bagi pengunjung yang masuk ke dalamnya. ”Setiap orang akan memiliki pengalaman yang berbeda karena ruang kosong di setiap negara beragam tergantung dari budaya yang membentuknya,” katanya.
Evaluasi
Sebelumnya, Indonesia pernah tampil di Venice Architecture Biennale 2014. Ketua Ikatan Arsitek Indonesia- Jakarta sekaligus Manajer Proyek Paviliun Indonesia Steve J M mengatakan, logistik dan anggaran dana menjadi evaluasi saat itu.
Terkait dana, tim kurator pada 2014 mengonsep terlebih dahulu baru menentukan dana. Akibatnya, saat dana tidak mencukupi, konsep yang harus dikorbankan. Berbeda dengan saat ini, dana sudah diumumkan sejak pembukaan pendaftaran. Dana yang diberikan Bekraf sebesar Rp 2,5 miliar. ”Kalau sekarang, tim kurator diharapkan dapat memperkirakan dana yang ada sehingga dapat mengolah konsepnya secara kreatif,” ujar Steve.
Selain itu, Indonesia membawa berbagai bahan yang berat karena ingin memamerkan kekayaan material asli Nusantara pada 2014. Akibatnya, pengangkutan logistiknya cukup rumit. ”Dengan bahan kertas yang akan digunakan, harusnya logistik bukan menjadi suatu kendala,” kata Steve.
Terhubung dengan Sunyata
Tidak hanya merampungkan konsep Sunyata agar dapat diwujudnyatakan, Ary dan tim sedang meriset ruang-ruang kosong di Indonesia. Tujuannya, untuk ditampilkan dalam buku pengantar, brosur, website, bahkan aplikasi ponsel.
Sampai saat ini, sudah ada 17 bangunan, baik tradisional maupun bangunan baru, yang akan disajikan. Bangunan-bangunan itu berada di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta.
Media-media itu akan disuguhkan ke pengunjung untuk memberi pengetahuan kepada mereka terkait ruang-ruang kosong di Indonesia. ”Sampai saat ini, sudah ada 17 bangunan, baik tradisional maupun bangunan baru, yang akan disajikan. Bangunan-bangunan itu berada di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Ke depannya, kami akan riset ke Kalimantan dan Sulawesi untuk mencri ruang-ruang kosong yang khas,” ujar Ary.
Media yang paling unik ialah aplikasi ponsel. Menurut rencana, setiap bangunan akan memiliki kode QR masing-masing dalam buku yang akan ditunjukkan. Ketika ponsel pengunjung memindai kode tersebut, layar ponsel akan menunjukkan bangunan itu secara 360 derajat.
Buku yang akan dicetak diperkirakan 2.000 eksemplar untuk diletakkan di Venesia dan 1.000 eksemplar untuk di Indonesia. Ary dan timnya juga merancang buku hasil risetnya agar mudah dipegang oleh pengunjung.
Berbagai media akan disiapkan agar setiap orang dapat mengalami Sunyata, baik secara langsung maupun tidak langsung. Penikmatnya tak perlu jauh-jauh ke Venesia, dari Indonesia juga sudah dapat mencicipi Sunyata.
Sunyata telah mengangkat ruang kosong versi Indonesia dan nantinya akan dipamerkan di kancah internasional. Harapannya, melalui ruang kosong ini, Indonesia memberikan sumbangsih kepada dunia berupa wahana kontemplasi untuk menggali inspirasi. (DD09)