Saat Media Sosial Menjadi Penghimpun Kekuatan Rakyat
10 Juni 2020 diperingati sebagai Hari Media Sosial di Indonesia. Medsos kini mencerminkan kehidupan masyarakat, baik secara sosial, politik, maupun ekonomi. Medsos bahkan bisa menjadi sarana menghimpun kekuatan rakyat.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerap kali media sosial menjadi sarana mengunggah hal yang remeh-temeh, semisal meme, swafoto, lagu yang sedang didengarkan, dan status berisi curahan hati. Namun, jika digunakan secara cerdik, media sosial bisa berubah menjadi balai penghimpun kekuatan rakyat.
Demonstrasi bertajuk ”Black Lives Matter” di Amerika Serikat tidak lepas dari peran media sosial. Gerakan ini dipicu kematian lelaki berkulit hitam, George Floyd, karena kekerasan polisi di Minneapolis. Kematian Floyd membangkitkan amarah warga yang muak dengan rasisme di AS. Gerakan tersebut tumbuh semakin besar dengan amplifikasi media sosial.
Warganet dari seluruh dunia kemudian mengunggah foto, tulisan, dan video bertagar #BlackLivesMatter. Tagar ini sempat menjadi topik terpopuler di Twitter. Kampanye #BlackoutTuesday pun ramai di media sosial pekan lalu. Kampanye ini bermula dari musisi-musisi di AS, lalu dilanjutkan di ruang maya dengan unggahan gambar hitam polos.
Pada Januari 2020, demonstrasi warga Iran tak terhidari setelah Pemerintah Iran menembak pesawat komersial Ukraine International Airlines secara tidak sengaja. Pesawat itu lepas landas dari Teheran, Iran, 8 Januari 2020. Sebanyak 176 orang tewas dalam kejadian itu. Jatuhnya Boeing 737-800 ini disebut sebagai akibat ”kesalahan manusia pada saat krisis yang ditimbulkan petualangan AS yang berujung pada musibah itu”.
Unggahan demi unggahan di media sosial memantik warga Iran untuk berdemo. Salah satu unggahan berisi, ”Kami akan turun ke jalan.” Mengutip Reuters, warga Iran bersatu melawan pemerintah ”pencuri dan korup”.
Media sosial pun berperan besar pada unjuk rasa di Hong Kong yang berlangsung sejak Juni 2019. Massa bersatu dan saling berbagi informasi dalam jaringan komunikasi daring.
Unjuk rasa ini dipicu oleh penolakan masyarakat terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi ke China. Masyarakat khawatir akan diekstradisi dan diadili di China. Belum lagi hak asasi yang belum terjamin kalau diadili di sana. Diprediksi ada sekitar 1 juta orang yang turun ke jalan dan menolak RUU ini.
Unjuk rasa sempat mereda beberapa saat karena pandemi Covid-19. Massa Hong Kong kembali berkumpul untuk memperingati setahun gerakan mereka kemarin, Selasa (9/10/2020).
Di Indonesia, konten jenaka media sosial dijadikan bahan mengkritik pemerintah pada demonstrasi mahasiswa di depan Gedung DPR, September 2019. Sejumlah demonstran menulis ”Entah Apa yang Merasukimu DPR” di papan yang mereka usung, mengikuti lagu Salah Apa Aku yang tren di TikTok.
Mahasiswa kala itu menolak Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU Pertanahan, dan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Aksi ini merambat ke sejumlah daerah di Indonesia.
Penentu kondisi
Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia Dedy Permadi mengatakan, media sosial berperan besar pada kondisi suatu negara di berbagai aspek, seperti politik, ekonomi, dan sosial. Media sosial digunakan sebagai penyampai opini publik dan media sosialisasi dari pemerintah ke masyarakat.
”Media sosial ibarat pisau bermata dua. Medsos bisa berdampak positif jika dimanfaatkan dengan tepat dan bijak, seperti mendongkrak produktivitas publik, menjaga stabilitas politik, dan menciptakan tatanan kehidupan yang baik. Demikian pula sebaliknya,” kata Dedy saat dihubungi, Rabu (10/6/2020).
Media sosial ibarat pisau bermata dua. Medsos bisa berdampak positif jika dimanfaatkan dengan tepat dan bijak, seperti mendongkrak produktivitas publik, menjaga stabilitas politik, dan menciptakan tatanan kehidupan yang baik. Demikian pula sebaliknya.
Berdasar data Globalwebindex yang dipublikasi pada Januari 2020, ada 160 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia. Sementara itu, ada 175,4 juta pengguna internet dari 272,1 juta penduduk Indonesia.
Youtube merupakan media sosial yang paling banyak digunakan dengan 140,8 juta pengguna. Media sosial yang digunakan terbanyak selanjutnya ialah Whatsapp (134,4 juta orang), Facebook (131,2 juta orang), Instagram (126,4 juta orang), Twitter (89,6 juta orang), Line (80 juta orang), Facebook Messenger (80 juta orang), Linkedin (56 juta orang), Pinterest (54,4 juta orang), dan Wechat (46,4 juta orang).
Dengan jumlah pengguna media sosial yang banyak, warganet dinilai wajib memiliki kecakapan digital yang cukup. Ini penting agar individu bisa merespons platform digital untuk kegiatan produktif dan positif.
Kecakapan digital juga perlu untuk menyikapi tantangan terbesar kehidupan digital saat ini, yakni kekacauan informasi. Hal itu mencakup, antara lain, berita bohong, leak (data atau informasi yang seharusnya tidak tersebar), dan intimidasi terhadap orang tertentu di dunia maya.
”Kemkominfo sangat mendorong literasi digital masyarakat. Kami pikir ini harus dilakukan bersama oleh seluruh komponen masyarakat. Kami pun sudah menyiapkan Gerakan Nasional Literasi Digital Siber Kreasi,” kata Dedy.
Hati-hati
Ketua Komisi Hubungan Antarlembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo menegaskan agar pengguna internet dan media sosial berhati-hati. Pengguna disarankan agar tidak terlalu mengumbar kehidupan pribadi dan data penting di internet.
”Kebanyakan media sosial mengandung tiga lapis struktur, yaitu surface web, deep web, dan dark web. Sekitar 95 persen proses bermedia sosial ada di lapisan deep dan dark web. Pengguna harus hati-hati karena banyak yang tidak diketahui di lapisan itu. Media sosial bisa jadi sarana surveilans. Medsos pun bisa menyembunyikan motif ekonomi, sosial, dan politik,” kata Agus.
Ia menekankan pentingnya literasi digital untuk merespons hal ini. Selain itu, penting juga agar masyarakat dapat melindungi diri di dunia maya. Misalnya, rajin mengganti kata sandi akun media sosial dan surat elektronik, menghapus sejarah pencarian search engine, hingga diet menggunakan media sosial.
Menurut survei oleh Global Web Index pada Agustus 2018, sejumlah orang sudah tergerak untuk menjajal diet dan detoks digital. Survei ini dilakukan pada 4.438 responden. Dari survei itu, 19 persen telah menjalani detoks digital, 51 persen menjalani diet digital. Sisanya belum peduli pada diet dan detoks digital (Kompas, 13/6/2019).
”Hati-hati dalam membagikan sesuatu di media sosial. Tidak perlu bagikan hal yang privat,” katanya.