Industri Film Indonesia Optimistis Menyongsong Tahun 2021
Pelaku industri film optimistis menyambut 2021. Pembukaan kembali bioskop dinilai sebagai titik awal bangkitnya kembali industri film yang sempat terpuruk karena pandemi Covid-19.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri film Indonesia optimistis menyambut tahun 2021. Para pelaku industri film di Indonesia meyakini kelesuan akibat pandemi Covid-19 akan pulih bertahap melalui stimulus dan adaptasi terhadap pandemi. Permintaan publik akan hiburan pun dinilai akan tetap ada.
Optimisme itu tampak dari rumah produksi Visinema Pictures yang berencana merilis lima film baru pada 2020. Beberapa di antaranya merupakan film animasi, Keluarga Cemara 2, dan Filosofi Kopi yang dikemas ulang menjadi Ben dan Jody. Film Generasi 90an: Melankolia juga akan dirilis tahun depan.
”Kami sadar bahwa akhirnya pasar (film) akan pulih. Namun, untuk itu, dibutuhkan stimulus berupa konten atau film baru yang memang dibuat untuk tayang di bioskop. Film Generasi 90an: Melankolia akan jadi stimulus dari kami untuk pemulihan pasar,” kata chief executive officer dan pendiri rumah produksi Visinema Pictures, Angga Dwimas Sasongko, dalam wawancara terbatas secara virtual, Rabu (18/11/2020).
Menurut dia, bioskop akan tetap sepi jika tidak ada film baru. Padahal, bioskop masih menjadi media distribusi film yang utama di Indonesia. Mayoritas keuntungan film didapat dari penjualan tiket di bioskop.
Pembukaan kembali bioskop di beberapa daerah jadi angin segar bagi industri film. Menurut Angga, momentum ini harus digunakan sebaik mungkin. ”Kami tidak pesimistis. Di era normal baru ini, cara publik mengonsumsi (hiburan) tetap sama. Orang akan mencari film yang berbeda dan menghibur. Kami akan pakai kesempatan ini,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) Edwin Nazir berharap tahun depan industri film membaik. Pembukaan sejumlah bioskop jadi titik awal yang baik. Industri film pun dinilai siap berjalan lagi karena punya pasokan konten atau film-film yang siap dirilis.
”Industri film punya prospek positif. Dari segi konten, kami telah siap. Animo publik terhadap film baru dan menonton di bioskop pun besar. Tantangannya sekarang adalah seberapa cepat kondisi bisa kembali normal. Ini ditentukan oleh upaya penanggulangan pandemi,” kata Edwin saat dihubungi secara terpisah.
Produksi terhambat
Pada periode Maret-April 2020, Aprofi mencatat 15 produksi film layar lebar dihentikan. Hal tersebut berdampak kepada sekitar 1.500 pekerja industri film. Sebagian besar dari mereka adalah pekerja lepas berbasis kontrak.
Sementara itu, sedikitnya ada 10 judul film yang jadwal tayangnya di bioskop ditunda. Hal itu tak lepas dari kebijakan pemerintah menutup bioskop sejak 23 Maret 2020. Akibatnya, jumlah film baru yang tayang di Indonesia tahun ini sedikit, yakni tidak lebih dari 30 judul film.
Industri film punya prospek positif. Dari segi konten, kami telah siap. Animo publik terhadap film baru dan menonton di bioskop pun besar. Tantangannya sekarang adalah seberapa cepat kondisi bisa kembali normal. Ini ditentukan oleh upaya penanggulangan pandemi.
Edwin memperkirakan, hingga akhir 2020, film baru yang akan tayang maksimal 35 judul. Jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan tahun lalu. Jumlah film baru yang tayang di Indonesia pada 2019 ada 129 judul.
Sebelumnya, industri film digadang-gadang menuju puncak kejayaan pada 2020. Hal ini tampak dari jumlah produksi film yang meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2019, ada lebih dari 140 judul film yang diproduksi, sedangkan pada 2014 hanya 110 judul.
Adapun jumlah audiens diprediksi mencapai 60 juta penonton. Pada 2014, jumlah penonton sebanyak 30 juta orang, kemudian meningkat menjadi 48 juta orang pada akhir 2019. Prediksi 60 juta penonton pada 2020 meleset akibat pandemi.
”Hal ini bisa dipahami karena pandemi. Tidak ada pilihan lain. Pembukaan kembali bioskop jadi kabar baik. Munculnya film-film baru seharusnya bisa menjadi (stimulus) pasar film, seperti yang terjadi di Korea Selatan dan Perancis. Tentu kami berharap semua orang saling jaga dan patuh pada protokol kesehatan. Kita tidak mau ada kluster baru di bioskop,” tutur Edwin.
Investasi
Salah satu tantangan sineas di masa pandemi adalah mencari pendanaan atau investasi. Angga Dwimas mengatakan, hal itu mulanya sulit dilakukan. Namun, tantangan itu bisa diatasi jika rumah produksi atau sineas mampu membangun portofolio dan rekam jejak yang baik.
Salah satu tantangan sineas di masa pandemi adalah mencari pendanaan atau investasi.
CEO Jagartha Advisor FX Iwan mengatakan, masih banyak pelaku industri kreatif yang manajemen keuangannya belum terstruktur. Dana dari investor sebaiknya dipertanggungjawabkan secara transparan, misalnya melalui laporan keuangan. ”Dengan ini, pendanaan ke depan akan semakin mudah bagi industri film,” katanya.
Menurut Iwan, industri kreatif masih menarik bagi para investor. Ini karena sekarang ada banyak media distribusi film, misalnya layanan over the top. Semakin beragam media alternatif distribusi film, maka semakin baik upaya mitigasi risiko investasi yang ada. Sebelumnya, film hanya mengandalkan keuntungan dari tiket bioskop sehingga risiko investasinya cenderung tinggi.
Perkembangan teknologi informasi dinilai menguntungkan pertumbuhan industri film. Sebab, film tidak lagi menjadi karya tunggal yang berdiri sendiri. Film sebagai kekayaan intelektual bisa diproduksi menjadi beberapa turunan. Misalnya, Filosofi Kopi yang bermula dari buku bisa menjadi film, kafe kopi, hingga merek sepeda.
”Pelaku investasi ingin menangkap kesempatan ini untuk diversifikasi melalui industri ini,” kata Iwan. ”Dampak jangka panjang dari ini, ini akan menarik investor ritel. Artinya, kita tidak akan lagi bergantung kepada investor besar. Ada kesempatan yang sama bagi semua untuk berinvestasi dan mengakses pendanaan sehingga ekosistem film jadi sehat,” tambahnya.