Eksaminasi Pakar Kritik Putusan, DKPP Sebut Hal Itu Ranah Akademik
Hasil eksaminasi pakar hukum dan pemilu mengkritik putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang memberhentikan Evi Novida Ginting sebagai anggota KPU. DKPP menganggap eksaminasi itu ranah akademik.
Oleh
Ingki Rinaldi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pakar hukum dan pemilu mengeksaminasi putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 yang antara lain memberhentikan secara tetap Evi Novida Ginting sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum. Hasil eksaminasi itu cenderung menyimpulkan bahwa putusan tersebut tidak berdasarkan atas hukum.
Para pakar yang melakukan eksaminasi putusan tersebut adalah pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso, dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini.
Selain itu, eksaminasi dilakukan pula oleh Guru Besar Perbandingan Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Ramlan Surbakti dan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Eddy O.S Hiariej.
Berdasarkan dokumen eksaminasi dari keterangan lisan dan tertulis para pakar itu yang diunduh dari laman https://jdih.kpu.go.id/, Senin (4/5/2020), diketahui sebagian eksaminasi dilakukan pada 23 Maret 2020 melalui konferensi video. Sebagian eksaminasi lainnya atas putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tersebut berupa keterangan tertulis yang ditandatangani pada beberapa tanggal berbeda.
Bivitri, misalnya, menyebutkan substansi Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/2019 merupakan perbedaan penafsiran putusan Mahkamah Konstitusi. Ia menyebutkan hal itu merupakan wilayah hukum alih-alih wilayah etik sebagai ranah DKPP. Keterangan itu diberikan secara lisan pada 23 Maret 2020.
Sebagaimana diwartakan Kompas, kasus tersebut diawali gugatan calon anggota DPRD Kalimantan Barat dari Partai Gerindra, Hendri Makaluasc, ke MK. Gugatan itu sehubungan dengan penetapan rekapitulasi suara Pemilu Legislatif 2019 di wilayah Sanggau. Penetapan dilakukan KPU Kabupaten Sanggau. Putusan MK mengoreksi perolehan suara Hendri. Awalnya Hendri mendapatkan 5.325 suara dan lalu berubah menjadi 5.384 suara. Oleh KPU RI, KPU Kalbar diminta menjalankan putusan MK.
Berdasarkan catatan Kompas, pada putusan MK Nomor 154-02-20/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019, perolehan suara yang benar untuk Makaluasc 5.384 suara. Putusan itu tidak mengoreksi perolehan suara Cok Hendri Ramapon, calon anggota DPRD Kalbar terpilih dari dapil Kalbar 6. Makaluasc mengajukan sengketa ke Bawaslu Kalbar.
Lantas, Bawaslu memutuskan mengoreksi suara Ramapon yang membuat Makaluasc jadi peraih suara terbanyak. Selanjutnya, putusan Bawaslu dilaksanakan KPU Kalbar. Namun, oleh KPU RI, KPU Kalbar diminta melaksanakan putusan MK. Kini Ramapon menjabat sebagai anggota DPRD Kalbar setelah sebelumnya ditetapkan sebagai calon terpilih berdasarkan putusan MK. Hendri telah mencabut pengaduan ke DKPP 13 November 2019.
Atas putusan DKPP, Presiden Joko Widodo sudah memberhentikan Evi secara tidak hormat. Evi kini masih mengajukan gugatan atas keputusan pemberhentian itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Selain menjatuhkan sanksi kepada Evi, DKPP juga memberikan peringatan keras terakhir kepada lima anggota KPU yang lain, yakni Ketua Arief Budiman serta anggota Pramono Ubaid Tanthowi, Ilham Saputra, Viryan, dan Hasyim Asy’ari. Sementara itu, Ketua KPU Kalimantan Barat Ramdan dan anggota KPU Kalbar, yakni Erwin Irawan, Mujiyo, dan Zainab, mendapatkan sanksi peringatan.
Dibatalkan
Menurut Topo, dalam pemahaman hukum, ketika ada aduan dibatalkan, maka kasus ditutup. Ia menilai mestinya tidak ada klausul bahwa ”DKPP tidak terikat pada pencabutan aduan untuk memeriksa perkara” di dalam peraturan DKPP. Hal ini karena tidak diaturnya hal tersebut dalam undang-undang. Keterangan Topo diberikan secara lisan pada 23 Maret 2020.
Adapun Titi menilai putusan DKPP itu memiliki cacat hukum karena diputuskan dalam rapat pleno yang hanya dihadiri empat anggota DKPP. Ketentuan minimal diketahui sebanyak lima anggota majelis DKPP.
Selain itu, Titi juga menyebutkan bahwa DKPP memberikan pendirian sendiri terhadap substansi putusan MK yang tidak terkait langsung dengan pertimbangan etik. Padahal, KPU diberi kewajiban untuk melaksanakan putusan MK. Keterangan itu disampaikan tertulis dan ditandatangani pada 2 April 2020.
Menghargai hukum
Ramlan menyebutkan bahwa DKPP wajib menunjukkan sikap respect for the law. Sikap ini pada praktiknya hanya melaksanakan tugas-tugas dan kewenangan menurut UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Menurut Ramlan, bila DKPP dan Bawaslu menangani perselisihan hasil pemilu yang merupakan tugas dan kewenangan MK, hal itu merupakan pelanggaran konstitusi. Sikap dan tindakan itu tidak menunjukkan sikap respect for the law. Keterangan itu disampaikan tertulis dan ditandatangani pada 24 Maret 2020.
Adapun Eddy menyimpulkan bahwa Putusan DKPP Nomor 317-PKE-DKPP/X/ 2019 tidak berdasarkan atas hukum. Ia bahkan menyimpulkan bahwa putusan itu cenderung abuse of power atau cenderung pada penyalahgunaan wewenang. Keterangan itu disampaikan tertulis dan ditandatangani pada 23 Maret 2020.
Sementara itu, saat dihubungi, Senin (4/5/2020), Ketua DKPP Muhammad secara singkat mengutarakan sikap DKPP. Ia mempersilakan hasil eksaminasi tersebut.
”Itu wilayah akademisi, silakan saja,” kataMuhammad.