Konflik agraria tercatat kian parah. Hal itu menunjukkan akumulasi keberlarutan permasalahan maupun kemunculan konflik-konflik baru akibat pembangunan infrastruktur yang masif.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Meski pemerintah saat ini memiliki kebijakan dan arah politik untuk menyelesaikan konflik agraria, kondisi di lapangan justru berkebalikan dari tujuan pemerintahan tersebut. Konflik agraria tercatat kian parah yang menunjukkan akumulasi keberlarutan permasalahan maupun kemunculan konflik-konflik baru akibat pembangunan infrastruktur yang masif.
Represi aparat pun menunjukkan peningkatan eskalasi yang ditunjukkan timbulnya sejumlah korban yang memperumit penyelesaian konflik agraria. Karena itu, pemerintah didesak agar serius menyelesaikan konflik-konflik tersebut di lapangan.
Dalam diskusi Catatan Akhir Tahun 2019 Konsorsium Pembaruan Agraria, Senin (6/1/2020), di Jakarta, pemerintah bisa memulai penyelesaian konflik agraria yang berada dalam ranah negara. Sebagai contoh, konflik agraria yang melibatkan lembaga pemerintah, perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), dan konsesi perusahaan swasta telantar/izin kadaluarsa.
“Kami minta tahun ini pemerintah langsung konkrit menyelesaikan konflik-konflik BUMN dan lahan swasta yang telantar/izin kadaluarsa,” kata Dewi Kartika, Sekjen KPA, Senin. Diskusi terkait laporan ini tersebut juga menghadirkan pembicara Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dan Kepala Subdirektorat pada Bareskrim Polri Kombes Endra Priantoro serta sejumlah penanggap dari kementerian/lembaga.
Kami minta tahun ini pemerintah langsung konkrit menyelesaikan konflik-konflik BUMN dan lahan swasta yang telantar/izin kadaluarsa.
Pihak KPA mencatat konflik agraria pada era Joko Widodo (2015-2019) mencapai 1.960 kasus dan era Susilo Bambang Yudhoyono (2009-2014) sejumlah 1.308 kasus. Pada tahun 2019 jumlah konflik agraria tertinggi masih diduduki oleh sektor perkebunan (729 kasus yang didominasi kebun sawit) seperti tahun-tahun lalu yang diikuti properti (499) dan infrastruktur (369).
Proyek infrastruktur
Khusus terkait infrastruktur, jumlah konflik meningkat signifikan, lebih dari lima kali lipat, pada tahun 2019 (16 kasus) dibandingkan tahun sebelumnya 2018 (83 kasus). Hal itu telah diprediksi KPA karena penyiapan dan pembebasan lahan pada berbagai proyek infrastruktur di bawah bendera Proyek Strategis Nasional (PSN) mulai dilaksanakan.
KPA mencatat, pada tahun 2019 terjadi 279 konflik agraria seluas 734.239,3 hektar dengan masyarakat terdampak konflik sebanyak 109.042 kepala keluarga (KK) yang tersebar di 420 desa, di seluruh provinsi di Tanah Air. Jumlah konflik lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Namun dari sisi eskalasi, jumlah penangkapan warga, dan jumlah keluarga terdampak mengalami peningkatan.
“Tahun 2019 ini ada peningkatan brutalisme aparat di sejumlah wilayah konflik,” kata Dewi Kartika. Ia membandingkan periode pemerintahan Joko Widodo 2015-2019 ada 1.298 kasus kriminalisasi masyarakat dan pada periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014 sebanyak 1.130 kasus.
Ia menilai hal itu sangat ironis terjadi karena Presiden Joko Widodo secara politis telah menempatkan reforma agraria. Penerapan reforma agraria itu termasuk penyelesaian konflik tenurial, sebagai prioritas dalam Nawacita.
Dari sisi kebijakan, pemerintah menerbitkan sejumlah regulasi untuk menuntaskan konflik itu. Aturan itu meliputi antara lain, Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan, dan Perpres 86/2018 tentang Reforma Agraria.
Ia mengatakan Perpres 86/2018 diharapkan bisa mengoreksi ketimpangan lahan dan menyelesaikan konflik agraria, tapi hingga kini yang banyak dilakukan "hanya" sertifikasi tanah. Selain itu, perpres yang melibatkan banyak kementerian ini memiliki kewenangan eksekusi lemah untuk melahirkan terobosan mengurai konflik agraria struktural.
Ketua Komnas Hak Azasi Manusia (HAM) Ahmad Taufan Damanik menyatakan temuan-temuan dalam laporan catatan akhir tahun KPA ini seirama dengan pokok-pokok pikiran yang disampaikan lembaganya terkait Hari HAM tahun lalu. “Konflik agraria terjadi di seluruh wilayah Indonesia dengan tipologi masing-masing,” katanya.
Selain kekerasan aparat terhadap masayrakat, konflik agraria juga menyertakan kekerasan antarmasyarakat. Peningkatan eskalasi konflik merupakan akumulasi masalah pada masa lalu yang tak pernah selesai. Konflik-konflik sebagai rentetan berbagai kegiatan ekonomi menunjukkan paradigma terkait pembangunan tak pernah berubah. Orientasi pembangunan lebih digerakkan oleh ambisi pertumbuhan ekonomi, bukan “people driven”.
Ia pun menyinggung perkembangan pesat perkebunan sawit yang dibangun tanpa ada grand design. Selanjutnya, ia mengingatkan, reforma agraria juga terkait dengan kepentingan lain yang amat vital seperti keamanan pangan dan keberlangsungan ekologi.
Menanggapi laporan ini, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Rukka Sombolinggi meminta jajarannya “waspada” sejak mengetahui Presiden Joko Widodo kembali menitikberatkan pada investasi. “Sejak tren kekinian investasi kian dianakemaskan, saya bilang eratkan sabuk pengaman karena kita akan menghadapi gempuran investasi,” ungkapnya.