Kriteria Zona Hijau Seharusnya Tidak Hanya Berdasarkan Kasus Positif
Zona hijau yang dilabelkan pada daerah yang belum ada kasus positif Covid-19 dinilai akan memberikan kenyamanan yang semu bagi masyarakat. Sebab, pada dasarnya, semua wilayah di Indonesia memiliki risiko kasus positif.
Oleh
SHARON PATRICIA/YOESEP BUDIANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penentuan zona hijau atau daerah bebas coronavirus disease tidak dapat hanya berdasarkan pada ketiadaan kasus positif. Sebab, tidak adanya kasus positif di suatu wilayah bisa terjadi karena kurangnya tes yang dilakukan.
Data Laporcovid19.org per 16 Juni 2020 menunjukkan, sebanyak 495 daerah sudah terdampak di seluruh Indonesia, jauh lebih banyak dibandingkan pemerintah (429 daerah). Kesamaan data jumlah daerah terdampak hanya terdapat di Jawa-Bali (128 kabupaten/kota) dan Kalimantan (55 kabupaten/kota).
Perbedaan data terjadi karena kriteria zona hijau menurut pemerintah, yaitu kabupaten/kota yang belum ada kasus positif Covid-19, meski ada risiko. Sementara LaporCovid-19 menggunakan data pasien dalam pengawasan dan orang dalam pemantauan sebagai indikator untuk menentukan zona hijau.
Epidemiolog sekaligus kolaborator LaporCovid-19, Iqbal Elyazar, menyampaikan, data 19 kabupaten/kota yang kemungkinan tidak ada kasus Covid-19 karena keterbatasan akses data di wilayah tersebut. Padahal, dalam masa pandemi, semua kabupaten/kota seharusnya dianggap sebagai wilayah berisiko.
”Tidak ada sebenarnya dalam situasi pandemi Covid-19 di Indonesia ini di mana ada wilayah yang tidak terdampak. Semua wilayah berisiko, tinggal diatur saja levelnya rendah, sedang, atau tinggi,” kata Iqbal dalam konferensi pers, Kamis (18/6/2020).
Paparan ini mengemuka dalam konferensi pers virtual bertemakan ”Zona Aman Belum Tentu Aman Covid-19” yang diadakan oleh LaporCovid-19. Hadir pula sebagai narasumber yaitu peneliti Indonesia Corruption Watch, Dewi Anggraeni.
Lebih lanjut, Iqbal menjelaskan, setidaknya ada lima faktor yang menjelaskan mengapa zona risiko bersifat dinamis, yaitu kelengkapan data, dinamika penularan, intensitas keparahan, kapasitas pemeriksaan, dan beban di layanan kesehatan.
Sebagai contoh, zona tidak terdampak pada 6 Mei 2020 masih berjumlah lebih dari 150 daerah, tetapi turun ke angka kurang dari 100 daerah. Untuk itu, kriteria zona tidak terdampak harus diperbaiki, apalagi hanya mengandalkan keterdapatan kasus positif.
Padahal, kondisi tersebut sangat tergantung dari jumlah pemeriksaan yang dilakukan. Maka, pemerintah juga didorong untuk membuka data jumlah spesimen dan orang yang diperiksa polymerase chain reaction (PCR) di kabupaten/kota tersebut.
”Penggunaan label zona hijau hanya akan memunculkan kenyamanan yang semu di tengah masyarakat. Akibatnya, keadaan ini akan menurunkan kewaspadaan masyarakat,” ujar Iqbal.
Potensi penyalahgunaan dana
Catatan ICW, tren korupsi kesehatan sepanjang 2010-2016, ada 219 kasus korupsi kesehatan dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 890,1 miliar. Dari jumlah tersebut, dana alat kesehatan menjadi yang paling banyak dikorupsi, yaitu 107 kasus dengan nilai kerugian negara sebesar Rp 543 miliar.
Sementara itu, untuk anggaran penanganan Covid-19, pemerintah juga telah menaikkan dari Rp 405,1 triliun menjadi Rp 677,2 triliun. Dana penanganan di bidang kesehatan juga turut meningkat dari Rp 75 triliun menjadi Rp 87,55 triliun.
Dewi Anggraeni menilai, dengan besarnya anggaran, longgarnya aturan, dan besarnya diskresi, maka keadaan ini bisa mengarah pada penyalahgunaan anggaran, khususnya dalam konteks pengadaan barang dan jasa. Untuk itu, diperlukan keterbukaan informasi dari pemerintah terkait penggunaan anggaran.
”Dalam masa ini, fleksibel diperlukan, tetapi transparansi dan akuntabilitas harus tetap dilakukan. Tidak hanya jumlah yang didistribusikan, publik perlu tahu berapa harga beli alat kesehatan dan berapa uang yang sudah digunakan agar tidak ada anggaran ganda untuk mengadakan alat kesehatan,” kata Dewi.
Ada empat proses yang perlu diperhatikan dalam pengadaan alat kesehatan. Proses tersebut yaitu perencanaan agar barang yang dibeli sesuai kebutuhan dan pemilihan barang agar tidak terjadi konflik kepentingan yang berujung pada penggelembungan dana.
”Kemudian, pelaksanaan pengerjaan juga harus dicek untuk memastikan kualitas barang sesuai dengan harga. Terakhir, dalam penyelesaian pembayaran harus dipastikan tidak terjadi suap kepada auditor untuk memberikan penilaian wajar,” kata Dewi.