Teror di Jembatan Westminster dan Pengeboman di Kereta Bawah Tanah
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
Pengeboman yang terjadi di Manchester Arena, Manchester, Inggris, Senin (22/5) malam waktu setempat atau Selasa dini hari WIB, mengingingatkan sejumlah kalangan akan peristiwa teror, khususnya dengan metode pengeboman, yang pernah terjadi di Inggris. Aksi kekerasan yang berlangsung di Manchester Arena menelan korban tewas sedikitnya 19 orang dan sekitar 60 orang luka-luka. Para korban tewas itu merupakan bagian dari ribuan warga yang berada di Manchester Arena, tempat penyelenggaraan konser penyanyi muda Ariana Grande. Konser sudah selesai saat bom meledak.
Masih membekas kuat di ingatan kita, aksi teror yang terjadi di Jembatan Westminster, dekat gedung Parlemen, London, pada 22 Maret 2017. Saat itu, sekitar pukul 14.40 waktu setempat itu, seorang pria menyerudukkan mobil ke trotoar pejalan kaki di Jembatan Westminster. Pelaku lalu keluar dari mobil dan menusuk mati polisi bernama Keith Palmer (48). Keith adalah polisi yang bertugas di gedung Parlemen Westminster. Tiga warga sipil tewas akibat tertabrak mobil. Tersangka juga tewas setelah ditembak petugas.
Sebanyak 40 orang lainnya terluka akibat serangan itu dan 29 warga dirawat di rumah sakit. Korban berasal dari sejumlah negara, antara lain Amerika Serikat, Korea Selatan, Perancis, Portugal, China, dan Romania.
Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) menyatakan bertanggung jawab atas serangan di Jembatan Westminster, London, itu. ”Pelaku kemarin di depan gedung Parlemen Inggris adalah prajurit NIIS. Operasi dilakukan sebagai respons terhadap negara-negara koalisi,” demikian pernyataan Amaq, kantor berita yang berafiliasi dengan NIIS. Inggris merupakan salah satu negara koalisi yang memerangi organisasi ekstrem NIIS.
Pada 12 tahun lalu, tepatnya 7 Juli 2005, serangan teror lebih dahsyat mendera London. Empat teroris melancarkan serangan bom bunuh diri secara terkoordinasi. Tiga bom meledak di rangkaian kereta bawah tanah di London, sedangkan satu pelaku lainnya meledakkan bom di bus. Ada 52 orang yang meninggal dan 700 warga luka-luka.
Waktu itu, dalam edisi 8 Juli 2005, harian Kompas menulis:
Ledakan bom secara beruntun mengguncang tiga stasiun kereta bawah tanah dan merobek sebuah bus tingkat di pusat kota London pada jam sibuk, Kamis (7/7) pagi.
Rangkaian ledakan itu menewaskan sedikitnya 33 orang dan mencederai lebih dari 300 orang.
Serangan terjadi saat para pemimpin G-8 bertemu di Skotlandia dan sehari setelah London dinyatakan menjadi tuan rumah Olimpiade 2012. Belum ada konfirmasi apakah ledakan-ledakan itu merupakan aksi bunuh diri.
"Jelas ini serangkaian serangan teroris," kata Perdana Menteri Inggris Tony Blair, yang tampak terguncang dan menyebut serangan itu "biadab".
"Mereka yang bertanggung jawab tidak mempunyai rasa hormat pada jiwa manusia. Kami bersatu dalam tekad kami untuk menghadapi dan mengalahkan terorisme ini yang bukanlah sebuah serangan pada satu bangsa, melainkan pada semua bangsa dan pada manusia beradab di mana pun," kata Blair, yang diapit para pemimpin G-8, saat membacakan sebuah pernyataan sebelum berangkat ke London.
"Ada korban jiwa dan korban cedera," katanya. Pertemuan puncak G- 8 tetap berlanjut walau terjadi serangan itu...