Terpilihnya Presiden Salih dan PM Abdul Mahdi Akhiri Kebuntuan Politik
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN (DARI KAIRO, MESIR)
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS -- Situasi dramatis mewarnai pentas politik di Baghdad, Irak, Selasa (2/10/2018), dengan terpilihnya presiden dan perdana menteri (PM) melalui terobosan baru dalam pola pemilihan yang pertama kali digelar sejak pemilu parlemen 2005. Parlemen Irak, Selasa, memilih politisi Kurdi, Barham Ahmed Salih (58), sebagai presiden baru Irak melalui dua kali voting.
Dalam voting pertama, dari 302 anggota parlemen yang hadir, Salih meraih 165 suara, berbanding 89 suara yang diperoleh Fuad Hussein. Seperti diketahui, parlemen Irak hasil pemilu 12 Mei lalu mempunyai 329 anggota.
Voting putaran kedua digelar karena tak ada kandidat mendapat dua pertiga suara atau 201 suara dari 302 anggota parlemen yang hadir. Perolehan minimal dua pertiga suara adalah syarat bagi kandidat untuk menjadi presiden. Pada voting putaran kedua, Salih meraih 219 suara, Hussein 22 suara.
Sebelum digelar voting kedua, Hussein sempat menyatakan menarik diri dari pencalonan. Namun, parlemen Irak menolak pengunduran diri Hussein karena dianggap tak konstitusional.
Langkah parlemen Irak menggelar voting untuk pemilihan presiden itu menyusul kegagalan dua kekuatan politik utama Kurdistan, Partai Demokratik Kurdistan (KDP) dan Uni Patriotik Kurdistan (PUK), mengajukan calon kompromi mereka.
Seperti dimaklumi, konstitusi Irak hasil pemilu 2005 menegaskan, jabatan presiden merupakan jatah kelompok Kurdi, perdana menteri untuk kaum Syiah, dan ketua parlemen untuk kaum Sunni. Di Irak, jabatan presiden hanya simbolis, dan kekuatan eksekutif berada di tangan perdana menteri.
Sejak pemilu parlemen 2005, KDP dan PUK selalu berhasil mengajukan calon kompromi untuk jabatan presiden. Namun, pasca pemilu parlemen 12 Mei lalu, KDP dan PUK gagal mencapai kompromi soal calon presiden. Mereka bersikeras mengajukan calon sendiri-sendiri.
Parlemen Irak lalu memutuskan menggelar voting suara untuk memilih presiden, meninggalkan tradisi politik sebelum ini, yakni kompromi KDP-PUK dalam mengajukan calon presiden.
Langkah penting
Setelah diumumkan sebagai presiden baru Irak oleh parlemen, Salih langsung menunjuk politisi Syiah, Adel Abdul Mahdi (76), sebagai perdana menteri baru Irak. Terpilihnya Salih merupakan langkah penting menuju pembentukan pemerintahan baru di Irak, yang dalam beberapa bulan terakhir ini gagal diwujudkan politisi negara itu.
Dalam konstitusi Irak hasil pemilu 2005, nama perdana menteri diumumkan presiden setelah kaukus terbesar di parlemen sepakat memilih figur perdana menteri. Setelah itu, presiden baru Irak memiliki tenggat waktu 15 hari untuk mengumumkan nama perdana menteri baru itu.
Namun, hanya setelah dua jam dipilih sebagai presiden, Salih langsung mengumumkan Adel Abdul Mahdi sebagai PM Irak setelah lima faksi politik besar Syiah di Irak mencapai kesepakatan kompromi untuk memilih Abdul Mahdi sebagai PM Irak. Lima faksi politik besar Syiah itu, yakni faksi Al-Saairun pimpinan Moqtada al-Sadr (54 kursi), faksi Al-Fatah pimpinan Hadi al-Amiri (48 kursi), faksi An-Nasr pimpinan Haider al-Abadi (42 kursi), faksi Negara Hukum pimpinan Nouri al-Maliki (25 kursi), dan faksi Al-Hikmah pimpinan Ammar al-Hakim (19 kursi).
Kesepakatan kompromi itu tercapai setelah mereka gagal membentuk kaukus terbesar di parlemen. Konstitusi Irak hasil pemilu 2005 menegaskan, kaukus terbesar di parlemen berhak menunjuk PM Irak. Kompromi lima faksi politik besar Syiah tersebut meninggalkan tradisi politik di Irak sebelumnya bahwa kaukus terbesar di parlemen menunjuk PM Irak.