Sudan punya peluang besar menyusul Tunisia jadi negara Arab kedua menuju pemerintahan sipil demokrasi di dunia Arab. Peluang itu mengemuka setelah Dewan Transisi Militer dan Koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan (FFC) pada Minggu (4/8/2019) melakukan penandatanganan perdana deklarasi konstitusi untuk masa transisi.
Deklarasi konstitusi untuk masa transisi itu akan mengantarkan Sudan menjadi negara sipil demokrasi. Prosesi penandatanganan deklarasi konstitusi itu dilakukan oleh Wakil Ketua Dewan Transisi Militer (TMC) Letnan Jenderal Mohamed Hamdan dan salah seorang pimpinan FFC, Ahmed Rabie, dengan disaksikan Utusan Khusus Afrika untuk Sudan Mohamed Hassan Lebatt dan Utusan Khusus Etiopia untuk Sudan Mahmoud Dardir. Penandatanganan final deklarasi konstitusi itu dijadwalkan pada 17 Agustus.
Deklarasi konstitusi menegaskan masa transisi di Sudan yang akan berlangsung selama 39 bulan serta struktur pemerintahan transisi yang terdiri dari dewan kedaulatan, dewan eksekutif, dan dewan legislatif.
Komposisi anggota dewan kedaulatan yang menggantikan posisi TMC akan diumumkan pada 18 Agustus. Dewan itu beranggotakan 11 orang, dengan rincian lima anggota dari TMC dan lima anggota dari FFC, serta seorang anggota sipil yang disepakati oleh TMC dan FFC. Adapun dewan eksekutif yang dipimpin perdana menteri akan diumumkan pada 28 Agustus.
Dewan kedaulatan dan kabinet akan bersidang untuk pertama kali pada 1 September. Masa pemerintahan transisi bakal berlangsung selama 39 bulan sejak penandatanganan deklarasi konstitusi. Pada akhir periode transisi akan digelar pemilihan umum.
Menghadirkan perdamaian di kalangan faksi-faksi di Sudan merupakan prioritas dalam enam bulan pertama masa transisi. Pemerintahan transisi lalu menyusun langkah-langkah reformasi hukum dan ekonomi serta merancang kebijakan luar negeri yang berimbang.
Menghadirkan perdamaian di kalangan faksi-faksi di Sudan merupakan prioritas dalam enam bulan pertama masa transisi.
Tentu saja, pembentukan dewan kedaulatan yang akan menggantikan TMC itu menjadi sorotan khusus dan barometer hasil pengorbanan rakyat Sudan yang berunjuk rasa sejak akhir Desember 2018 untuk menumbangkan rezim Presiden Omar Hassan al-Bashir. Bashir, yang berkuasa di Sudan selama 30 tahun sejak 1989, dilengserkan pada 11 April lalu.
Dewan kedaulatan adalah penguasa baru di Sudan pada masa transisi. Dewan itu akan merancang bentuk baru negara Sudan pascamasa transisi nanti. Pembentukan dewan kedaulatan merupakan bentuk kompromi baru dari gerakan rakyat di Sudan—yang kerap disebut sebagai Musim Semi Arab babak kedua—dengan pola pembagian kekuasaan sipil dan militer.
Musim Semi Arab babak kedua itu secara mengejutkan bergulir di Sudan dan Aljazair, ditandai dengan sejumlah aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh rakyat kedua negara itu di jalan- jalan untuk menumbangkan rezim diktator yang memerintah negara mereka. Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika akhirnya mundur pada 2 April lalu, disusul Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir yang digulingkan, 11 April lalu.
Adapun Musim Semi Arab babak pertama telah berkobar di Tunisia, Mesir, Libya, Yaman, dan Suriah pada 2011. Gerakan musim semi di Tunisia menghasilkan pemerintahan demokratis. Adapun gerakan di Mesir membuahkan pemerintahan yang untuk pertama kali dipilih secara demokratis meski belakangan pemerintahan itu diambil alih oleh militer. Sementara gerakan musim semi di Libya, Yaman, dan Suriah masih meninggalkan kekacauan dan pertempuran yang terus bergejolak hingga hari ini.
Jalannya Musim Semi Arab babak kedua yang terjadi di Sudan dan Aljazair menjadi sangat tidak mudah karena dipengaruhi oleh situasi geopolitik yang tercipta pasca-Musim Semi Arab babak pertama itu. Harapan rakyat Sudan yang menuntut pemerintahan masa transisi dipegang oleh kekuatan politik sipil guna membangun negara sipil demokrasi pasca- tergulingnya Bashir ternyata tidak mulus.
Situasi geopolitik menghambat terwujudnya aspirasi rakyat Sudan saat itu. Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) berusaha dengan segala cara untuk menggagalkan upaya penyerahan kekuasaan di Sudan kepada sipil dalam masa transisi. Negara-negara itu khawatir, di bawah pemerintahan sipil bakal terjadi anarki yang tidak mampu dikontrol oleh sipil.
Sebaliknya, Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Qatar menghendaki militer menyerahkan kekuasaan kepada sipil dalam masa transisi itu.
Tarik-menarik kepentingan geopolitik tersebut membuat alotnya perundingan antara TMC dan FFC selama empat bulan terakhir ini, yaitu sejak tumbangnya Bashir pada 11 April lalu. Akhirnya, Uni Afrika dan Etiopia turun tangan menjadi mediator antara TMC dan FFC. Perundingan pun tidak hanya digelar di Khartoum, tetapi juga di Addis Ababa, Kairo, Riyadh, dan Abu Dhabi.
Akhirnya juga tercapai kesepakatan kompromi dengan membagi kekuasaan antara militer dan sipil untuk mengakomodasi aspirasi geopolitik kawasan antara Mesir, Arab Saudi, dan UEA di satu pihak yang menghendaki militer berkuasa, serta AS, Uni Eropa, dan Qatar di pihak lain yang menginginkan sipil berkuasa.