Hubungan antarnegara, terutama negara-negara nuklir, retak akibat kompetisi antarnegara besar. Perpecahan, ketidakpercayaan, dan minimnya dialog sudah menjadi semakin biasa.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Untuk pertama kali sejak 1970-an, dunia terancam akibat ulah sejumlah negara yang semakin tidak terkendali dalam berlomba-lomba mengembangkan senjata nuklir.
Direktur Perlucutan Nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa Izumi Nakamitsu mengingatkan kondisi dunia pada saat terjadi Perang Dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Meski tidak menyebutkan dengan jelas nama negara-negara itu, Nakamitsu jelas merujuk ke Amerika Serikat, Rusia, dan China.
”Hubungan antarnegara, terutama negara-negara nuklir, retak akibat kompetisi antarnegara besar. Perpecahan, ketidakpercayaan, dan minimnya dialog sudah jadi makin biasa,” kata Nakamitsu dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB, Rabu (26/2/2020), di markas besar PBB, New York, AS.
Setelah Perang Dunia, hubungan Rusia dan AS tak pernah betul-betul baik, bahkan memburuk sejak Rusia mencaplok wilayah Crimea di Ukraina pada 2014. Ditambah lagi ketika tahun lalu Rusia dan AS sama-sama menarik diri dari Pakta Nuklir Jarak Menengah (Intermediate-Range Nuclear Forces/INF) yang disepakati tahun 1987.
Alasan AS mundur dari pakta itu adalah karena Rusia dianggap melanggar pakta karena membangun sistem rudal jelajah baru Novator 9M729 atau yang dikenal dengan nama SSC-8.
Menurut perjanjian, para pihak seharusnya memusnahkan rudal yang diluncurkan dari darat dan rudal jelajah berdaya jangkau 500 hingga 5.500 kilometer.
AS juga tampaknya enggan memperpanjang traktat New START yang ditandatangani AS dan Rusia tahun 2010. Traktat yang akan berakhir tahun 2021 itu membatasi jumlah kepemilikan hulu ledak nuklir dan juga mensyaratkan penghancuran hulu ledak nuklir dari era Perang Dingin.
Pada pekan lalu, Menteri Pertahanan AS Mark Esper menggembar-gemborkan rencana senilai miliaran dollar untuk memperbarui kekuatan nuklir AS yang bertujuan mengimbangi Rusia dan China.
Pada akhir Desember, Presiden Rusia Vladimir Putih mendapat laporan bahwa senjata antarbenua baru yang mampu terbang dengan kecepatan 27 kali kecepatan suara sudah bisa beroperasi.
Situasi seperti inilah yang, kata Nakamitsu, menghantui dunia sejak 1970-an. Apalagi kini perlombaan senjata nuklirnya tidak hanya pada jumlah, tetapi juga kualitas. Persenjataan nuklir yang kini tengah dikembangkan jauh lebih cepat, kuat, dan akurat. ”Konflik-konflik regional dengan dimensi nuklir semakin parah sehingga tantangan proliferasi juga tidak kunjung berkurang,” ujarnya.
Sidang itu juga membicarakan rencana pertemuan untuk membahas peninjauan ulang serta memperbarui target pakta itu yang akan dimulai 27 April hingga 22 Mei 2020.
Dalam pertemuan itu, Rusia dan AS berbeda pendapat, terutama pada saat membahas pengendalian senjata. Meski demikian, keduanya mendukung pernyataan DK PBB yang tetap menganggap pakta itu sebagai landasan untuk melucuti nuklir dan menggunakan energi nuklir untuk kepentingan damai.
Bagi DK PBB, pembahasan target-target pakta itu masih tetap penting karena hanya itu satu-satunya cara untuk menjaga perdamaian internasional, memastikan stabilitas keamanan, dan mewujudkan dunia tanpa senjata nuklir.
Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas menilai, pakta itu mengalami kemunduran karena perlucutan nuklir seakan jalan di tempat. Pengembangan teknologi baru justru menciptakan kekuatan yang tidak seimbang sehingga dunia semakin rentan.
Kegagalan upaya perlucutan nuklir itu bisa dilihat dari kasus Korea Utara yang bisa mengembangkan senjata nuklir tanpa peduli pada pakta dan resolusi DK PBB. Satu-satunya jalan yang realistis ke depan adalah tetap bersikap tegas dan menekan serta meningkatkan upaya diplomasi nuklir.
”Komunitas internasional harus mendukung perundingan AS dan Korut serta Iran. Itu cara terbaik dan satu-satunya cara agar tidak ada kesempatan, khususnya Iran, untuk mengakses senjata nuklir,” kata Maas.
Menurut Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia, kesepakatan pengendalian nuklir dan senjata itu runtuh sebenarnya karena ada satu negara yang mendominasi dunia.
Bahkan, satu negara itu memaksa komunitas internasional untuk menuruti aturannya dan mengorbankan kepentingan negara lain dan hukum internasional. Pernyataan Nebenzia itu jelas merujuk ke AS.
Rusia geregetan dengan AS karena sampai sekarang AS masih mengabaikan usulan Rusia memberlakukan moratorium untuk rudal balistik jarak pendek dan medium. Putin juga masih menunggu jawaban usulan memperpanjang traktat New START tanpa syarat apa pun.
Nebenzia menuding pemerintahan Presiden AS Donald Trump mau menurunkan ambang batas untuk kemungkinan penggunaan senjata nuklir dan menuduh negara-negara anggota NATO mempunyai misi nuklir bersama.
Pelaksana Tugas Wakil Duta Besar AS untuk PBB Cherith Norman Chalet menegaskan, DK PBB tidak bisa mengabaikan kelakuan negara-negara tertentu yang tidak henti-hentinya memperluas dan memperbarui kekuatan nuklirnya, mengembangkan kemampuan sistem luncurnya, mengancam tetangga, dan melanggar kesepakatan pengendalian senjata mereka.
Dunia didorong untuk tetap bersatu mengupayakan perlucutan nuklir di dunia, terutama Korut, dan tetap berkomitmen memastikan keamanan, perdamaian, dan kesejahteraan Korut jika Korut memenuhi kewajibannya. ”Kita juga harus tetap bersatu memastikan Iran tidak memiliki akses pada senjata nuklir,” ujarnya. (AP)