Diperkirakan, hampir 300 juta pelajar, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, di seluruh dunia terkena dampak langsung dari wabah Covid-19 yang menyebar luas di negara mereka.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
CALIFORNIA, KAMIS — Wabah penyakit Covid-19 yang disebabkan virus SARS-CoV-2 tidak hanya berdampak pada perekonomian global, mulai dari industri penerbangan, industri perjalanan wisata, hingga industri keuangan. Salah satu yang terdampak langsung dari meluasnya wabah ini adalah terhentinya kegiatan belajar-mengajar di sekolah di negara-negara terdampak.
Diperkirakan, hampir 300 juta pelajar, mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, di seluruh dunia terkena dampak langsung dari wabah Covid-19 yang menyebar luas di negara mereka.
Pemerintah Yunani, yang kini tengah berupaya mencegah perluasan penyebaran Covid-19 di negaranya setelah penemuan kasus ke-10, Kamis (5/3/2020), memerintahkan penghentian kegiatan belajar-mengajar di tiga kawasan yang terletak di sebelah barat Yunani itu. Selain penghentian kegiatan belajar-mengajar, pemerintah juga melarang kegiatan publik di tiga lokasi tersebut.
Pemerintah Italia pun telah mengeluarkan perintah menghentikan kegiatan belajar-mengajar, mulai dari tingkat sekolah hingga universitas, setidaknya sampai 15 Maret 2020. Dua sekolah menengah kejuruan di Swiss juga dilaporkan menghentikan kegiatannya setelah 20 orang terpapar Covid-19.
Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi bidang pendidikan, penelitian ilmiah, dan kebudayaan, UNESCO, Kamis (5/3/2020), menyebutkan bahwa 22 negara terdampak telah menghentikan kegiatan belajar-mengajar.
Kebijakan itu diambil oleh pemerintah negara masing-masing hanya berselang dua pekan setelah hanya China yang menghentikan kegiatan belajar-mengajarnya. Jika penyebarluasan wabah ini terjadi di delapan negara lagi, menurut perhitungan UNESCO, akan ada tambahan 180 juta siswa lagi yang terdampak.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Audrey Azoulay dalam keterangannya di laman resmi WHO menyatakan, penghentian kegiatan belajar-mengajar bukanlah sesuatu yang baru sebagai akibat adanya krisis kesehatan. Namun, apabila penyebarluasan wabah ini tidak ditangani dengan cepat, menurut dia, hak setiap warga dunia untuk mendapatkan pendidikan terancam.
Untuk menghindari hal itu, UNESCO berencana mengadakan pertemuan darurat dengan menteri pendidikan dari setiap negara terdampak pada 10 Maret mendatang. Pertemuan itu akan membahas tindakan yang diambil oleh setiap negara untuk menjamin kegiatan belajar-mengajar tetap berlangsung, paralel dengan upaya mengurangi semakin merebaknya wabah Covid-19.
”Kami berupaya memastikan kegiatan belajar-mengajar tetap berlangsung bagi semua, terutama bagi siswa tidak mampu dan anak-anak yang paling terdampak,” kata Azoulay.
Ubah rutinitas dan belajar daring
Terhentinya kegiatan belajar-mengajar akibat meluasnya wabah Covid-19 memaksa orangtua dan anak-anak mengubah rutinitasnya setelah sebagian besar dari mereka mengisolasi diri di rumah masing-masing.
Meski begitu, orangtua juga dihadapkan dengan banyak pertanyaan dari anak-anak mereka kapan mereka bisa kembali ke sekolah untuk belajar dan bermain bersama teman-temannya.
Dikutip dari The New York Times, Gao Mengxian, petugas keamanan di Hong Kong, terus mendapatkan pertanyaan dari anak-anaknya soal ini. ”Kapan kami bisa keluar bermain? Kapan kami bisa kembali ke sekolah,” kata Ny Gao, mengutip pertanyaan anak-anaknya. Di Hong Kong, pemerintah telah menghentikan kegiatan belajar-mengajar sejak Januari lalu.
Ny Gao terpaksa meninggalkan pekerjaannya sebagai petugas keamanan untuk menemani kedua anaknya yang masih berusia 8 dan 10 tahun. Meski tersedia sistem belajar online atau daring, Ny Gao kesulitan membantu kedua anaknya belajar dengan sistem tersebut.
Sementara bagi Thira Pang, murid sekolah menengah atas di Hong Kong, belajar melalui sistem daring tidak menyenangkan. Apalagi ketika koneksi internet sangat lambat. Dia sering tertinggal kelas karena baru bisa masuk ke dalam sistem setelah 15 menit mencoba.
Ruby Tan, seorang guru sekolah di kota Chongqing, China, mengatakan, belajar dengan sistem daring di rumah di saat kondisi seperti ini tidak cukup membantu. Apalagi sebagian besar anak hanya ditemani oleh kakek neneknya.
”Cara kakek nenek mengawasi cucu-cucunya belajar berbeda dengan orangtua mereka sendiri. Akibatnya, anak-anak tidak bisa fokus dalam menerima pelajaran yang dimaksud,” kata dia.
Pemerintah Jepang memiliki kebijakan yang berbeda dengan negara-negara lain. Pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe berencana memberikan subsidi bagi para pekerja yang memiliki anak usia sekolah dan terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya untuk menemani anak-anaknya belajar di rumah.
Pemerintah Jepang sendiri memutuskan menghentikan kegiatan belajar-mengajar hingga akhir April 2020. (AFP/REUTERS)