Setelah bisa meredam penambahan kasus Covid-19 secara signifikan, China berupaya menghidupkan lagi mesin-mesin ekonominya. Namun, wabah di belahan dunia lain menghadirkan tantangan baru.
Oleh
BENNY D KOESTANTO & MH SAMSUL HADI
·5 menit baca
BEIJING, KAMIS — Sudah dua hari wilayah Provinsi Hubei, China—kecuali ibu kota Wuhan—dibuka lagi setelah diberlakukan penutupan wilayah pada 25 Januari lalu. Pemerintah China berupaya menghidupkan kembali aktivitas ekonominya, sementara warga di provinsi itu juga bersiap-siap kembali bepergian ke kota-kota tempat mereka bekerja. Namun, tantangan yang tidak ringan terkait perekonomian ataupun prosedur pergerakan orang dihadapi negara dan warga wilayah itu.
Provinsi Hubei, China bagian tengah, yang dihuni sekitar 60 juta jiwa, telah membuka pintu-pintu perbatasannya. Hari Kamis (26/3/2020), ratusan orang dari Hubei telah tiba di Beijing dengan naik kereta. Mao Jun, petugas stasiun kereta Beijing Barat, menyebutkan, mereka diperintahkan mengisolasi diri di rumah masing-masing atau tinggal di tempat karantina yang telah disiapkan.
Di Xianning, Hubei tenggara, transportasi publik telah kembali beroperasi. Warga, dengan mengenakan masker, juga mulai keluar di jalan-jalan. ”Pencabutan kebijakan penutupan wilayah ada baik dan buruknya,” ujar seorang dari sekumpulan perempuan yang duduk di depan toko tertutup, bermain dengan sepasang anak balita yang juga mengenakan masker.
”Banyak orang sudah bisa bepergian, tetapi hal ini juga berisiko. Situasi di Hubei begitu parah, dan saya terbiasa berada di dalam rumah selama dua bulan terakhir. Cara itu lebih aman,” kata perempuan yang menyebut namanya Chen itu.
Penutupan kota Wuhan, tempat asal mula dan kemunculan virus penyebab Covid-19 pada akhir tahun lalu, akan dicabut pada 8 April mendatang. Qiu Haibo, pakar kesehatan anggota panel pemerintah pusat, seperti dikutip media People’s Daily, menyebutkan, angka kematian akibat Covid-19 di Wuhan berkisar 5 persen.
Pada Kamis kemarin, dilaporkan untuk keenam kalinya dalam delapan hari terakhir tidak ada kasus penularan lokal di China daratan. Komite Kesehatan Nasional China menyebutkan, keseluruhan dari 67 kasus baru yang dilaporkan pada akhir Rabu lalu merupakan penularan kasus dari luar China.
Hingga Rabu, total kasus Covid-19 di China 81.285 orang, dan 3.287 orang di antaranya meninggal.
Tantangan baru
Setelah mampu menekan angka kasus penularan lokal dan mengklaim sudah relatif melewati masa krisis akibat Covid-19, China mulai berupaya menghidupkan lagi mesin-mesin ekonominya. Namun, negara itu masih menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Pabrik-pabrik yang telah beroperasi lagi harus menghadapi tekanan pengurangan karyawan akibat anjloknya permintaan dari luar negeri. Dunia usaha dan warganya menunggu kombinasi kebijakan yang bersifat stimulatif untuk menjaga keberlanjutan dan mendorong perekonomian domestiknya.
Namun, optimisme Shi pun tidak berumur panjang. Sepekan terakhir, permintaan pembatalan atau penundaan pesanan dari kliennya melonjak. Klien-klien itu adalah klien dari Eropa dan AS, yang saat ini dilanda wabah Covid-19.
Sejumlah pemilik pabrik lain harus menghadapi kenyataan pahit. Sejumlah karyawannya tidak kembali ke pabrik-pabrik mereka. Pada awal wabah, China memberlakukan pembatasan perjalanan secara keras dan penangguhan operasional pabrik untuk mengekang penyebaran virus. Kondisi itu memangkas pasokan tenaga kerja dan memaksa eksportir berebut untuk memenuhi pesanan.
Kondisi yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Pandemi global Covid-19 telah menekan kuat-kuat permintaan dari luar terhadap barang-barang dari China.
”Penutupan aktivitas ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh Eropa, AS, dan pasar negara berkembang pasti akan menyebabkan kontraksi dramatis dalam ekspor China; mungkin dalam kisaran anjlok 20-45 persen secara tahunan pada triwulan II-2020,” kata Thomas Gatley, analis senior perusahaan riset Gavekal Dragonomics.
Pandemi global Covid-19 telah menekan kuat-kuat permintaan dari luar terhadap barang-barang dari China.
Shi mengungkapkan, pemasok kainnya di Italia berhenti operasi sejak Minggu lalu. Itu artinya tidak ada bahan baku segar mulai Mei nanti. Padahal, persediaan bahan baku di pabriknya hanya cukup sampai akhir April. Shi dihadapkan pada pilihan: memperlambat produksi, menangguhkan pesanan, atau mengurangi karyawannya.
”Kami tahu, tahun ini buruk, dan tahun depan akan lebih baik. Tetapi, pertanyaannya: ada berapa banyak pabrik yang bisa mencapai tahun depan?” kata Shi.
Kondisi sama juga terlihat pada produsen makanan. Pesanan mereka anjlok. Hal ini diperkirakan memengaruhi ekspor China. Ekspor bersih negara itu menyumbang 11 persen pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) total China.
”Pesanan luar negeri terakhir yang kami terima adalah untuk April,” kata Zhu Hongping, Ketua Hangzhou Hongli Food, pemasok makanan siap saji ke restoran di Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru.
Para ekonom pada awalnya memperkirakan proses pemulihan ekonomi China bakal mirip dengan kondisi saat pasca-epidemi SARS pada 2003. Namun, sejak itu para analis memangkas perkiraan mereka ke tingkat yang tidak terlihat sejak Revolusi Kebudayaan berakhir pada tahun 1976.
Sektor manufaktur China, yang menyumbang sekitar 40 persen dari PDB dan lebih dari 20 persen pasokan tenaga kerja, sebelumnya sudah harus tertekan akibat perang dagang China melawan AS.
Kini pemutusan hubungan kerja (PHK) yang lebih besar akan menjadi perhatian bagi Partai Komunis China. Fokus itu akan menjadi lanjutan dari upaya mempertahankan kohesi sosial dan stabilitas ekonomi. Tingkat pengangguran perkotaan China mencapai 6,2 persen pada Februari, naik satu poin persentase dari akhir 2019.
Dan Wang, analis Economist Intelligence Unit (EIU), mengatakan, tingkat pengangguran bisa naik 5 persen tahun ini. Persentase itu setara dengan tambahan 22 juta penganggur di kawasan perkotaan, sebuah lonjakan dari hilangnya 5 juta lapangan kerja sebagai dilaporkan pada periode dua bulan pertama tahun ini.
Revisi pertumbuhan
Prospek pertumbuhan ekonomi China telah direvisi turun, menjadi di bawah 5 persen tahun ini, setelah menggapai pertumbuhan di angka 6,1 persen pada 2019. Dalam proyeksi OECD, penularan Covid-19 yang lebih luas di kawasan Asia-Pasifik dan negara maju, seperti yang terjadi di China, dapat memangkas pertumbuhan global hingga 1,5 persen. Itu artinya, jika terealisasi, bakal mengurangi separuh proyeksi OECD untuk tahun 2020 yang diumumkan November tahun lalu.
Hilangnya kepercayaan bakal memukul produksi dan belanja. Berlarutnya kondisi itu dapat mengakibatkan beberapa negara jatuh dalam resesi, termasuk Jepang dan negara di kawasan euro.
Belum terdengar rencana peluncuran stimulus lanjutan oleh Pemerintah China. Terakhir adalah keputusan bank sentral China mempertahankan suku bunga acuan pinjaman akhir pekan lalu. Suku bunga dasar pinjaman satu tahun (LPR) dibiarkan tidak berubah di 4,05 persen dari penetapan bulanan sebelumnya, sementara LPR lima tahun tetap di 4,75 persen. (AFP/REUTERS)