Sentimen Virus Korona Kembali Tekan Pasar Saham dan Harga Minyak
Kekhawatiran di kalangan investor dan pelaku pasar meningkat bahwa penutupan wilayah secara global dapat berlangsung bulanan. Efeknya bagi perekonomian global pun dipertaruhkan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
SYDNEY, SENIN — Pasar saham Asia tergelincir pada awal perdagangan Senin (30/3/2020) pagi seiring dengan kejatuhan harga minyak. Kekhawatiran di kalangan investor dan pelaku pasar meningkat bahwa penutupan wilayah secara global sebagai respons menghadapi wabah Covid-19 dapat berlangsung berbulan-bulan sehingga berpengaruh semakin besar terhadap perekonomian.
E-Mini futures untuk Indeks S&P 500 di bursa Wall Street tergelincir 1,2 persen. Indeks Nikkei Jepang anjlok 3,2 persen pada awal perdagangan. Tekanan juga langsung menghunjam Indeks KOSPI di Korea Selatan, mengakibatkan penurunan indeks hingga 2,7 persen. Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,2 persen.
Tekanan juga terjadi atas harga minyak. Harga minyak mentah berjangka Brent turun 1,45 dollar AS per barel ke level 23,48 dollar AS per barel. Sementara minyak mentah WTI turun 91 sen ke level 20,60 dollar AS.
Arab Saudi dan Rusia tidak menunjukkan tanda-tanda mundur dalam perang harga mereka. Rusia dikabarkan membuka negosiasi untuk perlunya penambahan negara lain dalam forum OPEC+. Hal itu diharapkan dapat menjadi pendorong kenaikan sekaligus penjaga harga di masa datang.
”Kami terus memperkirakan tekanan terhadap PDB (produk domestik bruto) global pada semester I-2020 karena perkiraan terjadinya peningkatan efek pandemi global dan kerusakan yang timbul sekalipun telah terbit aneka kebijakan untuk menahannya,” kata ekonom JPMorgan, Bruce Kasman.
Lembaga JP Morgan saat ini memperkirakan PDB global bisa semakin tertekan secara tahunan pada paruh pertama tahun ini.
Ada banyak ketidakpastian terjadi di pasar keuangan global dalam kondisi saat-saat ini. Para manajer investasi berada di tengah kebimbangan, apakah akan membeli atau menjual aset-aset mereka di pasar keuangan, khususnya dalam periode akhir bulan ini yang merupakan akhir triwulan I-2020.
Aksi jual diperkirakan mewarnai periode itu sebagaimana terlihat dari penurunan indeks-indeks saham global.
Bank-bank sentral telah melakukan upaya habis-habisan untuk meningkatkan aktivitas dengan penurunan suku bunga dan kampanye pembelian aset besar-besaran. Langkah-langkah itu memang setidaknya telah mengurangi ketegangan likuiditas di pasar.
Pertanyaan utama bagi pasar adalah apakah semua stimulus akan cukup untuk membantu ekonomi global menahan goncangan.
Bank sentral Kanada, Jumat (27/3/2020), mengejutkan banyak orang dengan penurunan suku bunga menjadi 0,25 persen dan program pelonggaran kuantitatif. Seiring hal itu, pembuat kebijakan Selandia Baru lalu meluncurkan program pinjaman bagi perusahaan untuk memenuhi kebutuhan likuiditas.
Rodrigo Catril, ahli strategi senior FX di NAB, mengatakan, pertanyaan utama bagi pasar adalah apakah semua stimulus akan cukup untuk membantu ekonomi global menahan goncangan.
”Untuk menjawab pertanyaan ini, orang perlu mengetahui besarnya tindakan penahanan dan untuk berapa lama hal-hal itu akan dilaksanakan,” katanya. ”Ini adalah hal besar yang tidak diketahui dan ini menunjukkan pasar cenderung tetap stabil sampai ketidakpastian ini terselesaikan.”
Berbulan-bulan
Pemerintah Inggris memperingatkan langkah-langkah penutupan wilayah dapat berlangsung berbulan-bulan. Sementara Presiden AS Donald Trump telah berbicara tentang pembukaan kembali ekonomi AS selama masa Paskah.
Hari Minggu, Trump memperpanjang pedoman untuk masa pembatasan sosial hingga 30 April. Sementara itu, Jepang pada awal pekan ini memperluas larangan masuknya warga negara yang bepergian dari AS, China, Korea Selatan, dan sebagian besar Eropa.
Di pasar surat utang, investor tampak bersiap untuk surat-surat utang jangka panjang. Imbal hasil US Treasury 10 tahun berada di level 0,66 persen.
Penurunan itu telah dikombinasikan dengan upaya oleh The Federal Reserve untuk memompa lebih banyak dollar AS ke pasar. Langkah itulah yang kemudian menyeret mata uang tersebut dari level tertinggi baru-baru ini.
Pada akhirnya, kami perkirakan dollar AS akan segera menegaskan kembali dirinya sebagai salah satu mata uang terkuat.
Dollar AS mengalami penurunan mingguan terbesar dalam lebih dari satu dekade pada pekan lalu. Terhadap yen, dollar AS berada di level 107,44, jauh dari level tertinggi baru-baru ini di level 111,71. Euro menguat di 1,11 per dollar AS setelah mengalami reli lebih dari 4 persen pada pekan lalu.
”Pada akhirnya, kami perkirakan dollar AS akan segera menegaskan kembali dirinya sebagai salah satu mata uang terkuat,” kata tim analis di CBA, mencatat peran dollar AS sebagai mata uang cadangan dunia; menjadikannya sebagai lindung nilai countercyclical bagi investor.
”Ini berarti dollar AS dapat naik karena memburuknya prospek ekonomi global, terlepas dari kemungkinan tinggi AS juga berada dalam kondisi resesi.” (REUTERS)