Sisi Negatif Dampak Karantina, Kekerasan dalam Rumah Tangga Meningkat
Selain memutus penularan Covid-19, implementasi pembatasan mobilitas di sejumlah negara ternyata memiliki dampak sosial, seperti meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Kebijakan karantina dan ”tinggal di rumah saja” untuk mencegah penyebaran wabah korona yang lebih luas, di satu sisi, menyelamatkan nyawa manusia. Namun, di sisi lain—dan ini yang kerap luput dari perhatian—ada dampak sosial yang mungkin muncul akibat implementasi kebijakan itu, yakni meningkatnya kasus kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga. Korban kekerasan pun terkurung bersama pelaku kekerasan selama berminggu-minggu.
Setidaknya itu yang terjadi di Amerika Latin. Aduan para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang disampaikan melalui jalur bantuan konsultasi telepon melonjak.
Mengetahui fenomena tersebut, selama beberapa pekan terakhir banyak pihak, seperti PBB dan Paus Fransiskus, sudah menyuarakan agar masyarakat membantu korban KDRT dan mengingatkan bahwa kasus ini sama berbahayanya dengan pandemi korona.
”Akibat karantina, ribuan perempuan seperti terkurung dalam ’neraka’. Korban terperangkap dengan pelaku kekerasan yang jauh lebih mengerikan ketimbang wabah korona,” kata Victoria Aguirre dari organisasi nonpemerintah MuMaLa, Argentina.
Di Argentina saja, sebanyak 18 perempuan tewas dibunuh oleh pasangan ataupun mantan pasangannya sejak Argentina memberlakukan kebijakan karantina pada 20 Maret lalu. Permintaan pertolongan melalui jalur bantuan telepon naik hingga 40 persen.
Kecurigaan akan terjadinya kasus KDRT ini muncul ketika terjadi pembunuhan atas Cristina Iglesias dan putrinya yang berusia 7 tahun. Keduanya dibunuh oleh pasangan Iglesias. Mayat mereka ditemukan terkubur di halaman belakang rumah mereka di Provinsi Buenos Aires.
Data sementara dari Pemantauan untuk Kesetaraan Gender di Komisi Ekonomi untuk Amerika Latin dan Karibia (CEPAL) menyebutkan terdapat 3.800 perempuan yang dibunuh di Amerika Latin pada 2019, naik 8 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. ”Banyak perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban kekerasan di tempat yang seharusnya mereka aman, yaitu di rumah,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres.
Jauhkan korban
Salah seorang korban KDRT, Luciana (25), yang dipukuli mantan suaminya sampai luka parah, mengaku selalu hidup dalam ketakutan. ”Setelah melihat luka-luka saya, baru sadar kalau dia bisa membunuh saya,” ujarnya.
Ada Rico dari organisasi nonpemerintah La Casa del Encuentro menegaskan bahwa setiap hari pasti ada perempuan yang mengalami kekerasan, diperkosa, atau dipukuli di rumah oleh pasangannya atau mantan pasangannya. ”Dalam situasi normal, kami bisa membantunya mengajukan tuntutan. Tetapi, dalam situasi seperti sekarang, yang penting adalah segera membawa korban keluar dari rumah,” ujarnya.
Situasi yang sama juga terjadi di Meksiko, Brasil, Chile, dan negara-negara lain. Di Meksiko, kata Kepala Institut Perempuan Nasional di Mexico City, Nadine Gasman, jumlah aduan lewat telepon juga naik sejak kebijakan karantina berlaku 24 Maret lalu.
Maria Salguero, yang meneliti tentang kekerasan terhadap perempuan dan membuat ”peta kekerasan terhadap perempuan” di Amerika Latin, memperkirakan terdapat 200 perempuan yang dibunuh sejak awal kebijakan karantina diberlakukan.
Salah satu kasus pembunuhan terhadap Ana Paola (13) yang diperkosa dan dipukuli sampai tewas oleh perampok di Sonora, awal April, memicu kemarahan masyarakat Meksiko. Panggilan darurat ke LSM untuk penanganan korban kekerasan, Jaringan Pengungsi Nasional, meningkat 60 persen sejak awal karantina dan jumlah korban yang dirawat naik 5 persen.
Perlindungan
Aparat keamanan dan otoritas pemerintah didesak untuk bersikap lebih tegas. Apalagi dengan banyaknya kasus, hingga 1.000 kasus kekerasan, pada 2019. Aktivis feminis Meksiko mendesak Presiden Meksiko Andres Manuel Lopez segera menindak tegas pelaku kekerasan dan mengeluarkan kebijakan yang melindungi perempuan.
Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di hampir seluruh wilayah. Di Peru, jumlah kekerasan terhadap perempuan paling tinggi tahun 2019 dalam 10 tahun terakhir. Di Sao Paulo, Brasil, kasus KDRT naik 30 persen sejak pemerintah meminta warga untuk tinggal di rumah.
Kelompok beranggotakan 700 sukarelawan gencar mengampanyekan perlindungan terhadap perempuan dan menyediakan bantuan medis, hukum, dan psikologis kepada korban kekerasan.
Kasus KDRT tak pandang kaya-miskin, tua-muda karena untuk kasus di Chile, kasus KDRT naik hingga 500 persen di Providencia, kawasan permukiman kelas atas di ibu kota Santiago. ”Bukan hanya kasus KDRT yang melonjak, melainkan juga konsumsi alkohol, kesehatan mental yang terganggu, gelisah, dan depresi,” kata seorang pejabat kesehatan di Chile Paula Daza. (AFP)