Akhir Kisah Kapal Induk Terkait Konflik Irian Barat dan Perang Malvinas
Ada sebuah kapal induk yang pernah terlibat dalam dua konflik besar, yakni perebutan Irian Barat pada awal 1960-an dan Perang Malvinas tahun 1982. Kapal itu semula milik Belanda yang kemudian dijual ke Argentina.
Oleh
Iwan Santosa
·5 menit baca
Kapal induk ibarat benteng dan kota terapung dalam dunia militer modern abad ke-20. Keberadaan kapal induk menentukan kemenangan berbagai pertempuran dalam Perang Dunia II, seperti Pearl Harbour, Battle of Midway, Battle of Coral Sea, dan Battle of Java Sea.
Dalam sejarah dunia, ada sebuah kapal induk yang berganti kepemilikan dari Kerajaan Belanda ke Argentina serta pernah terlibat dalam dua konflik besar, yakni perebutan Irian Barat pada awal 1960-an dan Perang Malvinas tahun 1982.
Kapal induk tersebut adalah Hr Ms Karel Doorman yang menjadi pangkalan terapung Angkatan Laut Belanda di dekat Hollandia (kini Jayapura).
Berkat solidaritas Asia-Afrika, Bung Karno berhasil meyakinkan Presiden Gamal Abdul Nasser untuk mencegah Karel Doorman berlayar melalui Terusan Suez, dari Belanda menuju Irian Barat pada April 1960.
Akibatnya, Karel Doorman yang berangkat dengan pengawalan dua kapal perang, yakni Groningen dan Limburg serta kapal tanker Mijhdrecht, harus mengitari Afrika Selatan, sebelum akhirnya tiba bulan Agustus 1960 di Pelabuhan Hollandia.
”Saat itu Belanda mengoperasikan beberapa pesawat, baik di Karel Doorman maupun di pangkalan Biak dan Hollandia, seperti pesawat intai Grumman S-2 Trackers ASW, helikopter Sikorsky S-58, jet tempur Sea Hawks, dan jet tempur Hawker Hunter, hingga pesawat tempur baling-baling Fairey Firefly,” kata sejarawan Boogie Wibogo yang menulis buku sejarah Kisah Sverdlov dan KRI Irian.
Boogie, yang juga alumnus Universitas Diponegoro, Semarang, mengatakan, kedatangan kapal Karel Doorman di Hollandia membuat Soekarno marah dan mengutus AH Nasution mencari dukungan persenjataan ke Uni Soviet dan negara Blok Barat.
Indonesia akhirnya berhasil mengakuisisi senjata-senjata canggih seperti bomber Tupolev Tu-16 dan peluru kendali AS-Kennel (yang dijuluki pembunuh kapal induk) serta beragam jenis jet tempur MiG-15, MiG-17, hingga MiG-21. Namun, perang antara Hawker Hunter Belanda dan MiG-21 Indonesia tidak sempat terjadi di Irian karena gencatan senjata.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto saat mengunjungi Museum Purna Dirgantara di Yogyakarta dalam satu kesempatan menunjukkan kepada penulis tiga pesawat veteran, yakni Hawker Hunter dengan marking Belanda, bomber Tu-16, dan MiG-21 dengan marking AURI.
”Dulu mereka tidak jadi bertempur di Irian. Sekarang saya tempatkan di museum ini sebagai pengingat bagi generasi sekarang dan yang akan datang,” kata Hadi yang meminta agar MiG-21 ditempatkan tidak jauh dari Hawker Hunter yang dibawa dari Lanud Biak.
Ikut Perang Malvinas
Karel Doorman semula adalah kapal induk Inggris HMS Venerable yang dibangun di galangan kapal Camell Laird di Birkenhead pada tahun 1942. Kapal dioperasikan oleh Angkatan Laut Inggris, Royal Navy, di armada Pasifik pada tahun 1945 sebelum dijual kepada Belanda tahun 1948 dan kemudian diberi nama Hr Ms Karel Doorman.
Nama itu diambilkan dari sosok Laksamana Muda Belanda (Schout bij Nacht) Karel Doorman yang memimpin Armada ABDA (American, British, Dutch, and Australian) Command. Ia gugur dalam pertempuran Laut Jawa 27 Februari-1 Maret 1942 saat melawan armada Jepang.
Tahun 1969, kapal ini dijual Belanda kepada Argentina lalu diberi nama ARA 25 Veinticinco de Mayo. Tanggal 25 Mei merupakan Hari Revolusi Argentina yang dipicu peristiwa Revolusi Mei 1810.
Kapal ini kemudian menjadi pangkalan pesawat intai dan tempur Angkatan Laut Argentina dengan kekuatan pemukul jet tempur A4Q Sky Hawk, pesawat intai antikapal selam Grumman S-2 Trakker, dan helikopter Sea King.
Dalam Perang Malvinas yang berlangsung April-Juni 1982, kapal induk veteran tersebut berhadapan dengan dua kapal induk Inggris, HMS Hermes dan HMS Invicible, seperti diceritakan sejarawan Mark Felton. Untuk memburu De Mayo, Royal Navy (Angkatan Laut Inggris) mengerahkan Satgas 324 yang berintikan tiga kapal selam bertenaga nuklir.
Sementara Argentina mengerahkan dua satgas, yakni di utara Malvinas yang dipimpin Vienticinco de Mayo dan di selatan yang dipimpin ARA General Belgrano, sebuah kapal penjelajah ringan eks USS Phoenix yang berada di Pearl Harbour ketika Jepang menyerang tanggal 8 Desember 1941.
Pada tanggal 1 Mei 1982 pesawat intai dari De Mayo, yakni S-2 Grumman Trakker, berhasil menemukan posisi armada Inggris. Namun malang, mereka tidak berhasil meluncurkan jet-jet tempur Sky Hawk A4Q karena tidak cukup angin untuk membuat pesawat mampu terbang setelah diluncurkan dari ketapel (catapult).
Kondisi semakin sulit karena sehari setelahnya, armada ARA General Belgrano yang berada di selatan ditenggelamkan oleh kapal selam Inggris dan mengakibatkan 323 pelaut Argentina gugur. Kapal perusak yang menjadi pengiring Belgrano menyingkir.
Argentina kemudian membalas dengan menghancurkan kapal perusak HMS Sheffield tanggal 4 Mei 1982 dengan tembakan peluru kendali exocet dari pesawat tempur Super Etendard yang dioperasikan pihak Argentina.
Namun malang, mereka tidak berhasil meluncurkan jet-jet tempur Sky Hawk A4Q karena tidak cukup angin untuk membuat pesawat mampu terbang setelah diluncurkan dari ketapel (catapult).
Ketika armada di selatan dikalahkan Inggris, De Mayo dan kapal pengiringnya menyingkir ke arah Argentina. Gugus Tugas 324 Inggris memburunya, tetapi kapal induk Argentina tersebut berhasil menghindar.
Akhirnya, armada Inggris berhasil merebut kembali Port Stanley. Pada tanggal 14 Juni 1982 Perang Falkland yang di Indonesia lebih dikenal sebagai Perang Malvinas pun berakhir.
Sikap politik Indonesia ketika itu berseberangan dengan Inggris. Indonesia memilih menggunakan terminologi Malvinas dan bukannya Falkland dalam menyebut konflik Argentina-Inggris tersebut. Ketika perang pecah, nama Malvinas menjadi populer. Dari kedai bakso hingga lokalisasi di dekat Cijantung, Jakarta Timur, ikut diberi nama Malvinas.
Bahkan disebutkan ada upaya lobi dari Argentina kepada Indonesia agar meminjamkan atau menjual rudal Exocet buatan Prancis yang ketika itu merupakan salah satu persenjataan termodern yang digunakan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Pada tahun 1997, ARA 25 Vienticinco de Mayo yang pernah mengawal Perang Malvinas, mulai dipreteli untuk kebutuhan perbaikan kapal induk Brasil NaeL Minas Gerais. Riwayat kapal induk Karel Doorman yang menjadi Vienticinco de Mayo berakhir sebagai besi tua pada tahun 2000 di sebuah tempat pemotongan kapal di India.