Intervensi Asing di Libya Kian Memperburuk Situasi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak semua pihak menghentikan konflik di Libya. Keterlibatan pihak-pihak asing justru membuat konflik di negara itu kian memprihatinkan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
NEW YORK, RABU — Pelaksana tugas Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Libya memberikan peringatan bahwa perang di Libya akan ”semakin intensif”, meluas, dan mendalam karena meningkatnya intervensi asing serta masuknya senjata, peralatan militer, juga tentara bayaran ke kedua belah pihak yang bertikai.
Stephanie Williams, Pelaksana Tugas Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Libya, mengatakan, eskalasi konflik di Libya akan menyebabkan ”konsekuensi yang buruk bagi rakyat Libya”.
Untuk itu, Stephanie mendesak Dewan Keamanan PBB melakukan ”tekanan yang konsisten dan kredibel kepada negara itu dan aktor internasional yang turut berperan dalam konflik”.
Desakan Stephanie terhadap DK PBB itu disampaikan sehari setelah pasukan yang bersekutu dengan pasukan pemerintah dukungan PBB mengambil alih markas militer kunci di pinggiran ibu kota Tripoli dari pasukan Khalifa Haftar yang terus mencoba menguasai Tripoli sejak April 2019. Kehilangan pangkalan udara al-Watiya merupakan kemunduran besar bagi upaya Haftar.
Dalam pernyataannya, Selasa (19/5/2020), komandan militer Haftar mengumumkan bahwa prajuritnya akan mundur 2-3 kilometer dari Tripoli selama hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan.
Penarikan pasukan itu akan memperluas zona penyangga di sekitar Tripoli yang memungkinkan warga untuk mengunjungi keluarganya dengan aman selama hari raya Idul Fitri, 23 Mei 2020. Pasukan Haftar pun mendesak milisi pendukung pemerintah untuk melakukan hal yang sama ”untuk menghindari pertumpahan darah” selama hari raya.
Tidak ada tanggapan langsung dari pemerintah yang berbasis di Tripoli. Namun, Kolonel Mohamed Gnounou, juru bicara pasukan sekutu-Tripoli, tampaknya menolak usulan gencatan senjata itu dengan menulis di Twitter ”tidak ada garis merah” dan ”target apa pun yang menimbulkan ancaman... akan dibom tanpa kecuali”.
Libya telah berada dalam kekacauan sejak 2011 ketika perang saudara menggulingkan diktator lama Moammar Khadafy, yang kemudian terbunuh. Sejak itu, negara kaya minyak itu terpecah menjadi dua pemerintahan, pemerintahan nasional yang menguasai Tripoli dan wilayah barat daya serta pasukan Haftar di Benghazi di wilayah Timur yang masing-masing didukung oleh kelompok bersenjata.
Gejolak di negara kaya minyak itu terus memburuk karena hadirnya kekuatan asing yang mengintervensi meski pada pertemuan tingkat tinggi di Berlin awal tahun ini menyatakan sebaliknya. Stephanie meminta para partisipan di pertemuan Berlin untuk menghentikan dukungan militer dari luar Libya yang melanggar embargo senjata PBB.
Turki telah mengirim drone lapis baja dan pertahanan udara untuk menopang pemerintahan Tripoli, sementara pasukan Hifter didukung oleh Uni Emirat Arab (UEA), Mesir, dan tentara bayaran Rusia. Sementara itu, milisi Suriah yang terkait dengan kelompok teroris berperang di kedua pihak.
Duta Besar Libya untuk PBB Taher Al-Sunni menyampaikan kepada DK PBB bahwa pasukan pemerintah merebut sejumlah sistem pertahanan udara buatan Rusia di pangkalan udara al-Watiya pada Senin (18/5/2020), menghancurkan kendaraan lapis baja UEA, dan menemukan banyak senjata berteknologi canggih. ”Sebelum itu, kami menembak jatuh beberapa drone jarak jauh buatan China,” katanya.
Pasukan pemerintah dan sekutunya, tambah Al-Sunni, juga menewaskan dan menangkap tentara bayaran dari Chad, Sudan, dan Suriah yang direkrut oleh UEA dan tentara bayaran yang dikirim oleh Wagner Group dari Rusia.
Eskalasi konflik di Libya terus memanas sekalipun ada tekanan terhadap pihak yang berseteru untuk kembali ke meja perundingan dan menghentikan kekerasan di tengah kekhawatiran penyebaran Covid-19. Sejauh ini, Libya telah melaporkan 65 kasus Covid-19 dengan tiga kasus meninggal.
Namun, Perdana Menteri Pemerintah yang Disepakati Nasional Fayez Sarraj bersumpah untuk ”membebaskan semua kota dan wilayah” di Libya setelah mengusir pasukan Hofter dari pangkalan udara al-Watiya.
Al-Sunni menyampaikan kepada DK PBB, ”Kami pastikan bahwa usaha untuk mengalahkan pasukan Hifter akan terus berlanjut dengan sekuat tenaga dan segala cara untuk memperluas otoritas negara ke seluruh negeri.”
Al-Sunni menuduh Haftar menolak setiap jalan keluar damai dan menganggap dirinya ”sebagai penguasa tertinggi dari negara ini”. Itu sebabnya pemerintah menyerukan pendukung Hifter untuk meletakkan senjata dan menyerah dan ”berpihak pada bangsa kita sehingga bisa mengakhiri siklus konflik dan duduk untuk berdialog dan rekonsiliasi”.
Pelaksana tugas Duta Besar Inggris untuk PBB Jonathan Allen dan Duta Besar AS untuk PBB Kelly Craft menyerukan penghentian pengiriman peralatan dan personel militer ke Libya. ”Aktivitas Wagner Group terus memperparah konflik,” ujar Jonathan.
Dalam laporannya, para pakar di PBB yang memantau sanksi terhadap Libya menyatakan, 800-1.200 tentara bayaran yang disediakan oleh perusahaan keamanan Rusia untuk mendukung Haftar telah menjadi ”kekuatan efektif”.
Dengan menyinggung Rusia dan embargo senjata PBB terhadap Libya, Jonathan mengatakan, ”Saya mendesak anggota DK untuk mematuhi resolusi yang dibuat dewan ini, yang mereka setujui juga.”
Duta Besar Rusia untuk PBB Vassily Nebenzia menyampaikan, Moskwa prihatin dengan meningkatnya pelanggaran embargo senjata. ”Kami yakin pasokan senjata dan tentara bayaran harus dihentikan,” ujarnya.
Akan tetapi, Vassily menyebutkan, Pemerintah Rusia tidak memiliki undang-undang untuk mengontrol perusahaan militer swasta dan menuduh pakar di PBB telah mendasarkan temuan mereka pada ”sumber yang meragukan” dan sengaja memalsukan laporan dengan tujuan untuk ”mendiskreditkan kebijakan Rusia di Libya”. (AP/REUTERS)