Beberapa blok kekuatan dunia, seperti Eropa dan Amerika Serikat, kini berebut mengamankan kebutuhan vaksin Covid-19-nya. Tentu saja hal itu akan merugikan negara-negara miskin dan berkembang.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
BRUSSELS, JUMAT — Komisi Eropa meminta mandat dari pemerintah negara-negara Uni Eropa untuk membeli hingga enam calon vaksin Covid-19 yang potensial dari perusahaan farmasi. Rencana ini muncul karena Uni Eropa khawatir tidak mendapatkan cukup vaksin jika sudah tersedia.
Sikap Eropa itu menyusul langkah Amerika Serikat yang sudah lebih dahulu mengamankan kebutuhan vaksin Covid-19-nya dengan menyuntikkan dana kepada perusahaan farmasi AstraZeneca.
Menurut dua pejabat di Komisi Eropa, melalui konferensi video, Eksekutif Uni Eropa akan meminta dukungan atas rencana itu dari para menteri kesehatan di Uni Eropa, Jumat (12/6/2020).
”Kami membayar bagian investasi yang besar di muka sebagai imbalan atas komitmen perusahaan farmasi untuk memberikan kami vaksin jika sudah berhasil dan tersedia,” kata seorang pejabat Komisi Eropa dalam jumpa pers.
Sebagai bagian dari rencana itu, Komisi Eropa juga akan mengusulkan pelonggaran syarat aturan pengembangan vaksin yang mengandung organisme hasil rekayasa genetik (GMO).
Sebelumnya, Pemerintah AS juga mengamankan rantai pasokan vaksin bagi negaranya setelah menyuntikkan dana sekitar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 17,7 triliun kepada perusahaan farmasi Inggris, AstraZeneca, yang tengah mengembangkan vaksin Covid-19.
Dengan suntikan dana itu, AS akan mendapat sekitar 300 juta dosis vaksin atau hampir sepertiga dari total 1 miliar dosis yang direncanakan diproduksi perusahaan itu pada tahap awal. Pemerintah AS akan menerima vaksin tersebut paling cepat pada Oktober mendatang.
Suntikan dana tersebut diberikan Departemen Kesehatan dan Layanan Kesehatan Kemanusiaan Pemerintah AS (HHS) setelah Presiden Donald Trump mendesakkan pentingnya ketersediaan vaksin di negara adidaya itu.
”Kontrak dengan AstraZeneca menjadi penting bagi percepatan operasi ini agar vaksin yang diproduksi pada 2021 adalah vaksin yang aman, efektif, dan bisa diakses secara luas,” kata Sekretaris HHS Alex Sazar.
Sejauh ini, ada 10 calon vaksin di seluruh dunia yang sudah memasuki tahap uji klinis. Sebagian dari 10 vaksin itu dikembangkan lembaga riset China, yakni CanSino Bilogical Inc/Beijing Institute of Biotech, Wuhan Institute of Biological Product/Sinopharm, dan Beijing Institute of Biological Product/Sinopharm. Kemudian Institute of Medical Biology/Chinese Academy of Medical Science dan Sinovac.
Di luar itu, ada juga University of Oxford/AstraZeneca, Moderna/NIAID, Novavax, BioNTech/Fosun Pharma/Pfizer, dan Inovio Pharmaceuticals.
Berbeda dengan AS dan Eropa, China justru bersikap sebaliknya. Menteri Sains dan Teknologi China Wang Zhigang dalam jumpa pers, Senin (8/6/2020), mengatakan, China akan memperkuat kerja sama internasional dalam uji klinis pengembangan vaksin Covid-19. Apabila vaksin sudah tersedia, China akan membaginya dengan negara lain.
Bulan lalu, pada forum Pertemuan Tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Assembly/WHA) Presiden China Xi Jinping bertekad bahwa vaksin yang nantinya berhasil China kembangkan akan menjadi ”barang publik global”. Menjadikan vaksin bisa diakses dan harganya terjangkau oleh negar-negara berkembang merupakan kontribusi China pada dunia.
Dalam buku putih yang dibagikan Kantor Informasi Dewan Negara saat jumpa pers, Pemerintah China mendesak kerja sama global dengan menyebutkan bahwa komunitas internasional harus menghindari saling tuduh dan mempolitisasi pandemi. Namun, dokumen ini tidak menyebutkan secara jelas negara mana yang mungkin melakukan ini.
Sebelumnya, Federasi Palang Merah Internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengingatkan negara maju dan industri farmasi agar tidak mengamankan vaksin Covid-19 untuk sekelompok masyarakat tertentu atau beberapa negara tertentu saja. Kesetaraan akses menjadi penentu keberhasilan bersama masyarakat dunia mengakhiri pandemi global Covid-19. (REUTERS)