UU Antiterorisme Melapangkan Penguasa Semakin Otoriter
Aktivis HAM dan oposisi menolak pemberlakuan UU Antiterorisme 2020 yang baru disahkan Presiden Filipina Rodrigo Duterte. UU ini dinilai sebagai karpet merah bagi Duterte untuk bertindak sewenang-wenang.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
MANILA, SENIN — Sejumlah kalangan dari koalisi masyarakat sipil, aktivis pejuang hak asasi manusia, kelompok pengacara, dan anggota Kongres di Filipina hingga Senin (6/7/2020) terus mengkritik Presiden Rodrigo Duterte karena memaksakan pengesahan Undang-Undang Antiterorisme, Jumat (3/7/2020). Substansi UU ini dinilai kontroversial, inkonstitusional, mengekang kebebasan sipil, dan melapangkan Duterte untuk menjadi semakin otoriter.
Tiga petisi diajukan dua kelompok pengacara Filipina dan anggota Kongres, Senin (6/7/2020). Mereka mendesak Mahkamah Agung (MA) menunda pemberlakuan UU Antiterorisme 2020 atau membatalkannya.
Mereka menilai UU itu bisa disalahgunakan pejabat pemerintahan untuk membungkam lawan politiknya. UU dinilai juga dapat menyasar para pegiat hak asasi manusia dan warga biasa yang bersikap kritis kepada pemerintah.
Anggota Parlemen Filipina, Edcel Lagman, dalam petisinya kepada MA mengatakan, bahasa yang digunakan dalam UU tersebut terlalu luas dan bias. Hal itu bisa menciptakan penegakan hukum yang diskriminatif, melanggar privasi warga, mencederai dan menindas kebebasan berpendapat yang disampaikan secara damai.
”Itu (UU Antiterorisme) dibuat dalam bahasa yang tidak tepat dan tidak jelas sehingga tidak ada kepastian tentang tindakan apa yang sebenarnya dilarang hukum,” kata Lagman.
Pengacara dan aktivis HAM di Filipina, sejak rancangan UU ini diusulkan pemerintahan Duterte dan diikuti pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat, telah mengingatkan kemungkinan penggunaan kekuasaan yang masif dan sewenang-wenang pemerintah terhadap warganya.
Duterte, yang menuai kritik atas kebijakan perang terhadap narkoba dan catatan hitam HAM-nya, dinilai berusaha memperoleh justifikasi, pembenaran, untuk menyalahgunakan kekuasaan yang tidak terbatas dengan UU Antiterorisme baru itu. Termasuk kekuasaan tak terbatas dalam proses pengawasan, penangkapan, hingga penahanan.
Pengacara HAM, Jose Manuel Diokno, menilai UU itu bertentangan dengan konstitusi Filipina. ”Dengan definisi terorisme yang lebih luas, para pengkritik pemerintah dapat dianggap sebagai tersangka teroris,” katanya.
Definisi teror
UU Antiterorisme Filipina yang baru ini mendefinisikan teror sebagai niat yang menyebabkan kematian atau cedera, merusak properti pemerintah atau instalasi vital pemerintah, dan atau menciptakan suasana ketakutan, memprovokasi atau yang dipengaruhi intimidasi pemerintah dan organisasi internasional.
Teror juga berarti serius mengacaukan dan menghancurkan struktur politik, ekonomi, dan sosial yang mendasar di Filipina, menciptakan keadaan darurat publik, atau secara serius merusak keselamatan publik.
Diokno, pengacara senior pada kelompok Concerned Lawyers for Civil Liberties (CLCL), dikutip dari laman Philstar menyatakan, merusak fasilitas milik publik bukanlah tindakan teror. ”Itu tindakan berbeda, bukan terorisme,” katanya.
Tidak hanya definisi yang sangat luas, dalam penerapannya, UU ini juga dinilai sarat masalah. UU yang telah mendapat persetujuan Kongres pada Juni lalu itu memberikan Duterte kekuasaan untuk menunjuk sebuah lembaga yang bisa memerintahkan penangkapan orang yang dicurigai sebagai teroris tanpa surat perintah penangkapan.
Orang yang ditangkap dapat ditahan berminggu-minggu tanpa tuduhan, yang menurut pemerintah sebagai tindakan yang diperlukan untuk memerangi pemberontakan oleh kelompok komunis dan minoritas Muslim Filipina yang telah berlangsung lama.
Sementara itu, konstitusi Filipina hanya membolehkan tersangka ditahan selama 3 x 24 jam tanpa tuduhan. Jika otoritas tidak bisa membuktikan tuduhan tersebut, tersangka harus dibebaskan.
Tidak hanya penangkapan tanpa batas waktu, UU baru juga memberikan karpet merah bagi militer dan polisi untuk melakukan pengawasan dan penyadapan tanpa persetujuan pengadilan.
Definisi terorisme dan tindakan teror yang abu-abu itu juga dikritik beberapa lembaga internasional yang mengawasi Filipina. Nicholas Bequelin, Direktur Amnesty International Asia, menilai, kritik terhadap Duterte nantinya akan dianggap sebagai tindakan teror jika definisi terorisme mengacu pada UU Antiterorisme ini.
Hal senada disampaikan Phil Robertson, Wakil Direktur Human Rights Watch Asia. Dia menilai, demokrasi Filipina terjun bebas ke jurang terdalam ketika kekuasaan Presiden Duterte menjadi tidak terbatas. UU ini secara signifikan mengancam dan memperburuk situasi HAM Filipina, yang telah menukik sejak dimulainya perang melawan narkoba pada 2016.
Juru Bicara Kepresidenan Harry Roque menepis berbagai kritik dari kelompok aktivis dan pengacara yang dinilainya berlebihan. Dia mengatakan, substansi UU ini sebenarnya telah digunakan Duterte untuk menangani kelompok ekstremis di Filipina dalam beberapa tahun terakhir. Tindakan itu dinilai efektif dan tidak mengganggu kebebasan warga sipil.
Awal tahun ini, Menteri Pertahanan Nasional Filipina Delfin Lorenzana mengungkapkan dukungan kuatnya untuk UU kontroversial itu. Katanya, seperti dikutip Asia Times, UU itu akan memperkuat respons pemerintah terhadap terorisme.
Mantan Kepala Polisi dan Senator Panfilo Lacson, yang mengetuai Komite Pertahanan Nasional Majelis Tinggi, memuji pengesahan UU Antiterorisme baru sebagai langkah yang diperlukan terhadap ancaman keamanan. (AFP/REUTERS/CAL)