Pertumbuhan positif ekonomi China pada kuartal kedua di tengah pandemi global belum cukup untuk menggerakkan pemulihan secara luas akibat lemahnya konsumsi dan investasi.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, KAMIS — Ekonomi China mencatat pertumbuhan positif pada triwulan II-2020 sebesar 3,2 persen secara tahunan. Sektor manufaktur mendorong pemulihan ekonomi di negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu. Pertumbuhan ini dicapai setelah status penutupan sejumlah wilayah di negara itu dicabut, diiringi pembukaan pabrik-pabrik dan toko-toko.
Pertumbuhan positif ekonomi China tersebut dilaporkan Biro Statistik Nasional China, Kamis (16/7/2020). Capaian ini merupakan pembalikan arah secara positif dari tekanan ekonomi yang terjadi di negara itu. Pada periode tiga bulan pertama tahun ini, ekonomi China mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif sebesar 6,8 persen. Capaian pada triwulan I-2020 itu merupakan yang terburuk bagi China setidaknya sejak pertengahan era 1960-an.
Patut dicatat, meski positif pada periode April-Juni tahun ini, tingkat pertumbuhan tersebut masih merupakan yang terlemah sejak China mulai melaporkan pertumbuhan secara triwulanan pada awal 1990-an. ”Kami memproyeksikan terjadinya peningkatan berkelanjutan (ekonomi China) pada triwulan mendatang,” kata Marcella Chow dari JP Morgan Asset Management dalam sebuah laporan pada klien.
Hasil industri China tercatat naik 4,8 persen pada Juni secara tahunan. Ini menunjukkan perkembangan positif selama tiga bulan berturut. Hal itu menjadi penopang dan isyarat baik bagi China sebagai pijakan pertumbuhan di tengah pandemi Covid-19. Setelah mampu mengendalikan penularan virus korona, China segera membuka wilayah dan menghidupkan kembali aktivitas produksi di pabrik-pabrik, serta membuka dan toko-toko di negara itu.
Meskipun demikian, penjualan ritel di China turun 1,8 persen pada Juni dibandingkan periode sama pada tahun sebelumnya. Capaian ini lebih buruk dari proyeksi, yakni mencatat hasil positif tumbuh 0,3 persen. Penjualan ritel di China pada Mei lalu turun 2,8 persen. Penjualan turun selama lima bulan berturut-turut karena toko, restoran, dan tempat keramaian lainnya tutup selama pandemi.
Setelah China melonggarkan karantina dan pembatasan sosial, permintaan konsumen di negara itu belum serta-merta naik. Investasi juga turun 3,1 persen di paruh pertama tahun ini secara tahunan. Ini menjadi kelanjutan penurunan selama lima bulan terakhir sebesar 6,3 persen. Hal-hal itu menjadi penanda dampak jangka panjang akibat pandemi Covid-19.
Para ekonom mengatakan, China kemungkinan akan pulih lebih cepat daripada beberapa negara kekuatan ekonomi besar lainnya setelah Beijing memberlakukan karantina total di beberapa wilayah guna mempercepat pengendalian wabah. Mereka memutus sebagian besar akses ke kota-kota, yang dihuni total 60 juta orang, serta menangguhkan perdagangan dan perjalanan.
Manufaktur dan beberapa industri lainnya di China dilaporkan hampir kembali normal. Namun, belanja konsumen lemah karena masyarakat masih menahan pengeluaran di tengah kekhawatiran mereka dapat kehilangan pekerjaan. Bioskop dan beberapa bisnis lainnya masih ditutup, pembatasan perjalanan juga tetap berlaku.
Analis sektor swasta mengatakan, 30 persen dari tenaga kerja perkotaan atau sebanyak 130 juta orang mungkin telah kehilangan pekerjaan, setidaknya untuk sementara waktu. Sebanyak 25 juta pekerjaan mungkin benar-benar hilang tahun ini. ”Pandemi menciptakan pemenang dan pecundang,” kata Bill Adams dari PNC Financial Services Group dalam sebuah laporan. ”Manufaktur memimpin pemulihan China."
Indeks saham turun
Namun, data positif atas perekonomian China terbaru ternyata tidak mampu mengangkat pasar saham di Asia. Selain karena indeks-indeks saham sudah menggambarkan harapan sebelumya atas proyeksi data China, para investor dan pelaku pasar memilih mengambil untung di bursa saham. Mayoritas indeks saham di Asia dan indeks saham berjangka AS turun, terbebani oleh kekhawatiran tentang memburuknya hubungan AS-China dan biaya ekonomi dari kemungkinan terjadinya gelombang kedua Covid-19.
Indeks MSCI dari saham-saham Asia Pasifik di luar Jepang turun 1,18 persen, searah dengan Indeks Nikkei225 di Tokyo yang turun 0,74 persen. Indeks saham utama di China turun 1,59 persen, sedang indeks saham Australia turun 0,9 persen setelah tingkat pengangguran negara itu melonjak ke level tertinggi sejak akhir 1990-an. Indeks berjangka S&P 500, saat berita ini dibuat, juga turun 0,43 persen. Indeks-indeks saham berjangka Eropa juga melemah cukup dalam.
Kalangan analis melihat adanya kekhawatiran tentang meluasnya perselisihan AS-China terkait persaingan teknologi dan isu Hong Kong. Kekhawatiran adanya gelombang kedua pandemi Covid-19 memicu pemberlakuan kembali kebijakan pembatasan pada bisnis dan aktivitas pribadi, yang menghambat pemulihan ekonomi.
”Kenaikan di pasar keuangan dibatasi peningkatan nyata kasus Covid-19 dan ketegangan antara dua raksasa ekonomi dunia itu,” kata Masayuki Kichikawa, kepala ahli strategi makro di Sumitomo Mitsui Asset Management Co. ”Namun, tekanan penurunan relatif terbatas karena suku bunga yang sangat rendah dan prospek ekonomi China yang lebih cerah.”
Rob Subbaraman, Kepala Riset Makro Global Nomura, lembaga keuangan global, dalam riset terbarunya mengatakan bahwa pihaknya tidak terlalu optimistis dengan kondisi tatanan global baru, pasca-pandemi. Diproyeksikan bahwa Covid-19 akan semakin merusak kapasitas AS untuk memimpin kebijakan ekonomi internasional. Ditambah, sampai saat ini tampaknya tidak mungkin ada negara atau kelompok negara yang akan mampu menggantikan peran yang telah dimainkan AS sejak akhir Perang Dunia II.
”Terlepas dari siapa yang memenangi pemilihan presiden AS, hubungan AS-China cenderung tetap tegang,” kata Subbaranan.
Pihak Nomura juga menilai proses deglobalisasi akan terus berlanjut melalui diversifikasi produksi China, imobilitas orang, dan langkah negara-negara memprioritaskan kemandirian dan keamanan nasional sendiri. Jalur pertumbuhan jangka menengah bagi negara-negara berkembang diperkirakan akan lebih menantang ke depan. (AP/AFP/REUTERS)