Pengungsi Sudan Jadi Korban Kekerasan Aparat Libya
Otoritas keamanan Libya menembak mati tiga migran asal Sudan ketika mereka mencoba melarikan diri. Libya menjadi tempat transit yang tidak aman bagi para migran. Laporan UNHCR menyebutkan hal itu.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
TRIPOLI, RABU — Otoritas keamanan Libya di Kota Khoms menembak mati tiga pengungsi Sudan ketika mereka mencoba melarikan diri dari rombongan. Sebelumnya, patroli penjaga pantai di wilayah pantai timur Libya itu mencegat kapal yang tengah mencoba menyeberang ke Eropa via Laut Mediterania dan memaksa kapal yang ditumpangi puluhan pengungsi itu kembali ke pantai.
Tewasnya tiga pengungsi asal Sudan ini menambah panjang catatan kelam perlakuan yang diterima pengungsi dari aparat keamanan dan pemerintah setempat, khususnya negara transit.
Informasi tewasnya tiga pengungsi Sudan disampaikan Juru Bicara Organisasi Migrasi Internasional (IOM) Safa Msehli, Selasa (28/7/2020). ”Ini bukan pertama kalinya orang mengalami kekerasan yang tidak masuk akal. Sekali lagi, kejadian ini menegaskan bahwa tidak ada satupun orang yang harus kembali ke Libya,” kata Msehli.
Dua pengungsi tewas di tempat dan satu lagi tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit. Dua pengungsi lainnya yang menjadi korban luka tembak kini tengah mendapat perawatan dari tim medis. Sementara puluhan pengungsi lainnya dibawa ke rumah detensi imigrasi.
Ketiga pengungsi Sudan yang tewas itu merupakan bagian dari rombongan 70 pengungsi yang berencana menyeberang ke Eropa melalui Laut Mediterania. Menurut Msehli, ketiganya adalah bagian kelompok pengungsi yang pada sehari sebelum kejadian berkumpul di Kota Khoms, sekitar 120 kilometer sebelah timur ibu kota Libya, Tripoli.
Direktur Komite Penyelamatan Internasional di Libya Tom Garofalo, yang membantu menerima para migran ketika mereka tiba di pantai, menyebut penembakan itu ”tercela” dan tidak dapat diterima. Menurut dia, kekerasan yang dialami para pengungsi di Libya mengonfirmasi bahaya yang akan dihadapi para migran, pengungsi, dan pencari suaka di negeri itu.
”Banyak hal yang harus dilakukan untuk memastikan keselamatan mereka dan penahanan sewenang-wenang seperti ini harus diakhiri,” kata Garofalo.
Utusan Khusus Badan Pengungsi PBB untuk Mediterania Tengah Vincent Cochetel mengatakan, insiden ini membuktikan bahwa Libya bukan tempat yang aman untuk menurunkan para pengungsi, migran, atau pencari suaka. Dia meminta organisasi dan lembaga yang mengurusi hal ini untuk mencari lokasi lain yang lebih aman agar bisa digunakan sebagai tempat pendaratan pengungsian. UNHCR juga meminta agar otoritas Libya melakukan penyelidikan atas insiden ini.
Tewasnya tiga pengungsi asal Sudan menggarisbawahi bahaya yang dihadapi para migran, pengungsi, dan pencari suaka dari Afrika dan Arab di Libya, yang tengah berupaya menyeberang ke Eropa. Apabila waktunya tepat, para migran, dengan menggunakan perahu karet dengan perlengkapan keamanan dan keselamatan yang minim, mencoba menyeberangi Laut Mediterania untuk mencapai kota pantai Eropa terdekat. Kerja sama pemerintah setempat dan organisasi nonpemerintah, termasuk Uni Eropa, untuk mencegah mereka, tidak berdampak signifikan.
Awal tahun 2020, IOM menyebut, puluhan ribu pencari suaka, migran, dan pengungsi tidak selamat dalam perjalanan mereka mengarungi lautan. Diperkirakan lebih dari 20.000 orang tewas dalam perjalanan mereka mencari kehidupan yang lebih baik di Eropa, melebihi angka kematian yang pernah tercatat pada 2014.
Tidak ada komentar segera dari Pemerintahan Kesepakatan Nasional, pemerintahan yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa, atas insiden ini.
Berbahaya dan tidak memadai
Berdasarkan temuan UNHCR dan Dewan Pengungsi Denmark, yang ditulis dalam sebuah laporan tentang kondisi pengungsi, migran, dan pencari suaka di Libya, fakta bahwa otoritas, mulai dari staf, pejabat pemerintah, penjaga perbatasan, polisi, hingga tentara di negara-negara yang dilintasi, bertanggung jawab atas hampir setengah dari semua tindakan kekerasan terhadap pengungsi, migran, dan pencari suaka. Laporan itu juga mengingatkan, pandemi Covid-19, yang telah membuat banyak negara menutup perbatasan mereka, menjadikan perjalanan para migran jauh lebih berbahaya.
Di dalam laporan yang berjudul ”Di dalam Perjalanan Ini, Tidak Ada yang Peduli Anda Hidup atau Mati” menyebutkan, penutupan perbatasan membuat perjalanan para migran menjadi lebih berbahaya karena para penyelundup manusia mencoba teknik yang berisiko tinggi untuk menghindari deteksi atau penyergapan oleh otoritas keamanan.
Laporan itu dibuat berdasarkan hampir 16.000 wawancara dan data yang dikumpulkan Dewan Mixed Migration Center. Laporan itu juga menemukan setidaknya 1.750 orang migran tewas dalam perjalanan melintasi wilayah Afrika timur dan barat pada 2018-2019. Rute tersebut menjadi rute lintasan yang paling mematikan bagi para migran dan pengungsi di dunia.
Namun, Badan Pengungsi PBB meyakini angka kematian yang sebenarnya lebih besar daripada data yang tercantum dalam laporan tersebut. UNHCR juga telah mengantongi data rinci tentang pelanggaran hingga tindak kekerasan terhadap migran di sepanjang rute yang dilewati, termasuk pelakunya. Aparat keamanan mendominasi persentase pelaku kekerasan dibandingkan dengan penyelundup manusia.
”Jadi, tidak ada yang bisa mengatakan kami tidak tahu,” kata Cochetel.
Para migran tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik aparat, tetapi juga kekerasan seksual dan kekerasan berbasis jender yang dilakukan pasukan keamanan hingga petugas imigrasi. Cochetel mendesak agar menemukan pihak yang bertanggung jawab untuk semua kejahatan yang terjadi.
Selain tingkat bahaya yang tinggi di dalam perjalanan, di lokasi pengungsian, para migran dan pencari suaka pun harus berhadapan dengan situasi yang mengenaskan. Pekan lalu, pencari suaka dari Eritrea meninggal, diduga karena kekurangan gizi, ketika baru saja tiba di Tripoli setelah dipindah dari pusat perdagangan orang di Bani Walid. Seorang lainnya meninggal sebelum sempat dibawa ke rumah sakit.
Sejak Juni, lebih dari 100 orang telah tiba di Tripoli dari pusat-pusat perdagangan orang di Bani Walid dalam kondisi mengenaskan karena kekurangan gizi. Pada Mei, kerabat seorang penyelundup manusia menembaki warga migran dan pencari suaka di Mizdah, mengakibatkan sedikitnya 26 migran Bangladesh dan 4 migran Afrika tewas. (AP/AFP/REUTERS)