Negara kaya telah menguasai hampir 75 persen produksi vaksin Covid-19 dunia dan menyisakan vaksin buatan produsen China bagi sebagian terbesar penduduk bumi. Apakah keampuhan vaksin ”Negeri Tirai Bambu” bisa diandalkan?
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Sejak pengembangan vaksin dimulai, negara-negara kaya telah berlomba-lomba menggelontorkan dana miliaran dollar AS untuk membeli vaksin untuk digunakan sendiri. Meskipun Organisasi Kesehatan Dunia dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres telah mengingatkan agar tak ada nasionalisme vaksin, 9 miliar dari total 12 miliar vaksin yang akan diproduksi perusahaan vaksin negara-negara Barat telah dikuasai negara-negara kaya.
Sementara aliansi vaksin Covax, upaya global untuk memastikan akses setara pada vaksin, belum mampu memenuhi kapasitas yang dijanjikan sebesar 2 miliar dosis. China pun menjadi tempat bergantung negara-negara yang belum mendapatkan jatah vaksin dari perusahaan farmasi Barat.
China memiliki enam calon vaksin yang kini tengah dalam tahap uji klinis terakhir, tiga di antaranya vaksin yang diproduksi Sinovac, Sinopharm, dan CanSino. China juga merupakan salah satu dari sedikit negara yang memiliki kapasitas produksi vaksin sangat besar. Pejabat Pemerintah China telah mengumumkan, kapasitas produksi mereka bisa mencapai 1 miliar dosis vaksin tahun depan.
Vaksin Sinovac telah dilakukan uji klinis di beberapa negara, mulai dari Brasil, Indonesia, Uni Emirat Arab, Turki, Bahrain, dan beberapa negara lainnya. Rabu (23/12/2020), para peneliti di Brasil menyebutkan, hasil uji klinis di negara mereka memperlihatkan vaksin Sinovac memiliki efektivitas lebih dari 50 persen atau di atas standar minimal yang ditetapkan oleh WHO.
Namun, hasil uji klinis secara lengkap tidak jadi diumumkan pada hari itu atas permintaan Sinovac. Pejabat Brasil menyebut, Sinovac ingin mengonsolidasikan terlebih dahulu data dari Brasil itu dengan hasil uji klinis global. Sinovac tidak memberikan komentar saat diminta tanggapan oleh kantor berita Reuters, Rabu. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan soal transparansi uji klinis dan datanya.
Bio Farma, produsen vaksin Indonesia, yang bekerja sama dengan Sinovac, pernah mengumumkan efektivitas vaksin Sinovac mencapai angka 96 persen, melebihi angka efektivitas vaksin Pfizer-BioNTech dan Moderna Inc. Namun, angka ini buru-buru diralat, termasuk oleh Sinovac sendiri.
Kementerian Kesehatan Turki, Kamis (24/12/2020), mengumumkan, efektivitas vaksin Sinovac mencapai 91,25 persen, mendekati efektivitas vaksin produksi Barat. Ini merupakan hasil uji klinis terbaru yang melibatkan sekitar 7.000 sukarelawan.
Sejauh ini tak ada komentar apa pun dari Sinovac soal uji klinis di beberapa negara. Hal serupa dilakukan Sinopharm dan CanSino yang tak berkomentar soal hasil uji vaksin di beberapa negara.
Tidak transparannya hasil uji klinis vaksin buatan produsen China mengundang tanda tanya para calon penggunanya meski sejumlah negara sudah mengeluarkan persetujuan penggunaan karena kondisi darurat. Presiden Brasil Jair Bolsonaro berulang kali menyatakan keraguannya tentang efektivitas vaksin Sinovac meski tidak mengutip data ilmiah. Dia hanya menegaskan bahwa rakyat Brasil tidak akan mau menjadikan dirinya sebagai ”kelinci percobaan”.
Dalam kasus Brasil, tak bisa dimungkiri, kebijakan terkait vaksinasi juga memiliki dimensi politik lokal. Gubernur Sao Paulo Joao Doria, yang sangat getol pada penggunaan vaksin Sinovac untuk mengatasi pandemi di wilayah negara bagian yang dipimpinnya, disebut-sebut bakal maju dalam pemilihan umum presiden berikutnya di Brasil.
Catatan skandal
Pandangan penuh kecurigaan Bolsonaro tidak sepenuhnya salah. Berbagai skandal masa lalu telah menurunkan kadar kepercayaan warga China sendiri, selain publik internasional, atas kemampuan ilmuwan negara itu memproduksi vaksin andal. Tidak hanya soal produksi, tetapi juga rantai pasokannya.
”Masih ada tanda tanya tentang bagaimana China dapat memastikan pengiriman vaksin yang andal,” kata Joy Zhang, profesor yang mempelajari etika sains di Universitas Kent di Inggris. Dia mengutip ”nontransparansi China atas data ilmiah dan sejarah bermasalah dengan pengiriman vaksin”.
Institut Produk Biologi Wuhan, misalnya, anak perusahaan Sinopharm, pernah memiliki skandal pada produksi vaksin tahun 2018. Pengawas pemerintah menemukan bahwa laboratorium produksi yang berbasis di kota tempat virus korona pertama kali ditemukan akhir tahun lalu telah membuat ratusan ribu dosis vaksin difteri, tetanus, dan batuk rejan tidak efektif karena kerusakan peralatan produksi.
Pada tahun yang sama juga dilaporkan bahwa Changsheng Biotechnology Co memalsukan data tentang vaksin rabies. Pada 2016, media China mengungkap ada 2 juta dosis vaksin untuk anak-anak disimpan dan dijual secara serampangan ke seluruh negeri selama bertahun-tahun. Dampaknya, kepercayaan pada vaksin dari China turun setelah skandal itu.
”Semua teman warga lokal saya, mereka terpandang, kaya, dan tidak ada dari mereka yang akan membeli obat yang dibuat di China. Begitulah adanya,” kata Ray Yip, mantan Direktur Yayasan Gates di China. Dia menyatakan bahwa dia hanyalah satu dari sedikit orang yang tidak keberatan membeli obat-obatan buatan China.
Meski demikian, tidak sedikit yang memuji kemampuan vaksin produksi China. Jamie Triccas, Kepala Imunologi dan Penyakit Menular Fakultas Kedokteran Universitas Sydney, mengaku tidak khawatir dengan vaksin buatan para produsen China. ”Studi itu tampaknya dilakukan dengan baik. Saya tidak terlalu khawatir tentang itu,” kata Triccas, merujuk hasil uji klinis yang dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.
China berbenah
Pemerintah China sendiri telah membangun program imunisasinya selama lebih dari satu dekade. Selama ini China juga telah menghasilkan vaksin dalam skala besar untuk warganya sendiri, termasuk campak dan hepatitis. ”Tidak ada wabah besar di China untuk penyakit-penyakit ini. Ini artinya vaksin yang mereka produksi aman dan efektif,” kata Jin Dong-yan, seorang profesor medis di Universitas Hong Kong.
Selama beberapa dekade, China bekerja sama dengan banyak pihak, termasuk Yayasan Gates, untuk meningkatkan kualitas manufaktur di dalam negeri. WHO juga telah melakukan prakualifikasi lima vaksin China non-Covid-19, yang memungkinkan badan-badan PBB membelinya untuk negara lain. Selain itu, untuk menjaga kualitas produksi vaksin, Pemerintah China telah merevisi undang-undang tahun 2017 dan 2019 agar memastikan perbaikan manajemen penyimpanan vaksin sekaligus meningkatkan pengawasan produksi.
Pengembang vaksin Covid-19 utama negara itu telah menerbitkan beberapa temuan ilmiah di jurnal ilmiah yang ditinjau oleh rekan sejawat. Namun, para ahli internasional mempertanyakan bagaimana China merekrut sukarelawan dan jenis pelacakan apa yang ada untuk kemungkinan efek samping. Perusahaan China dan pejabat pemerintah belum merilis detailnya.
Bagi sebagian orang di negara yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda pandemi mereda, negara asal vaksin tidak menjadi masalah. ”Saya berniat menggunakan vaksin yang pertama datang jika berjalan dengan benar,” kata Daniel Alves Santos, juru masak di restoran Rio de Janeiro, Brasil. ”Dan, kuharap Tuhan membantu.” (AP/REUTERS/LUK)