Faktor Iran dan Biden di Balik Pertemuan Rahasia Israel-Suriah
Rusia memilih jalan tengah dengan mengizinkan Israel melakukan serangan udara langsung atas berbagai sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah.
Rusia telah menggelar pertemuan rahasia Israel-Suriah. Penting bagi Rusia menjaga keseimbangan relasi Israel dan Iran yang punya kepentingan kontradiktif di Suriah.
Harian terkemuka Asharq Al-Awsat edisi Senin (18/1) menurunkan berita eksklusif tentang pertemuan rahasia Israel-Suriah. Pertemuan dimediasi oleh Rusia pada akhir Desember 2020 di pangkalan udara Khmeimim, yang berada dekat kota pantai Lakatia di Propinsi Lakatia, Suriah.
Jika melihat tempat digelarnya pertremuan rahasia Israel-Suriah tersebut, Rusia dipastikan yang merancang dan sekaligus berperan besar dalam pertemuan rahasia itu.
Khmeimim adalah pangkalan udara yang dikontrol penuh Rusia, sejak negara itu melakukan intervensi militer langsung di Suriah pada tahun September 2015, untuk mencegah jatuhnya rezim Presiden Bashar al-Assad di Damaskus.
Saat itu ada transaksi antara Assad dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, yaitu kesedian Rusia melakukan intervensi militer di Suriah untuk mencegah jatuhnya rezim Assad. Sebagai imbalan, Suriah menyetujui pangkalan udara Khmeimim dan pelabuhan laut Tartus dikendalikan penuh oleh Rusia.
Pasca-transaksi tersebut, mulailah segera pesawat tempur Rusia mendarat dan ditempatkan secara permanen di pangkalan udara Khmeimim. Kapal perang Rusia juga berlabuh dan ditempatkan secara permanen di pelabuhan Tartus.
Melalui pangkalan udara Khmeimim dan pelabuhan laut Tartus, ribuan pasukan Rusia mendarat untuk disebar di berbagai titik di Suriah, khususnya kota Damaskus dan sekitarnya, untuk melindungi rezim Assad.
Baca juga: Eskalasi Konflik Meninggi, Krisis Kemanusiaan di Suriah Kian Buruk
Dengan mengontrol pangkalan udara Khmeimim dan pelabuhan Tartus itu, terwujudlah impian Moskwa untuk memiliki akses langsung ke laut Mediterania dan sekaligus pintu masuk pengembangan pengaruh Rusia di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Suriah pun segera memasuki era Rusia. Masa depan keamanan dan politik Suriah berada sepenuhnya ditangan Rusia. Masa depan rezim Assad juga ditentukan Moskwa.
Turki dan Iran yang memiliki kepentingan di Suriah terpaksa membangun kesepahaman dengan Rusia melalui forum Astana yang dibentuk pada Januari 2017 di Astana, ibu kota Kazakhstan.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, harus pula bolak balik mengunjungi Moskwa untuk mengamankan kepentingan Israel di Suriah. Kepentingan utama Israel di Suriah adalah mendepak Iran dan milisi loyalisnya, terutama Hezbollah, dari Suriah yang dianggap mengancam keamanan Israel.
Seperti diketahui, Iran dan milisi loyalisnya mulai masuk ke Suriah pada awal tahun 2013 dengan dalih menyelamatkan rezim Assad dari kejatuhan. Adapun hubungan strategis Iran-Suriah dimulai sejak meletusnya revolusi Iran tahun 1979.
Di sini Rusia sebagai pemain terkuat di Suriah saat ini, harus membangun keseimbangan hubungan antara Israel dan Iran yang memiliki kepentingan kontradiktif di Suriah.
Rusia harus mengakomodasi kepentingan Israel yang menuntut diusirnya Iran dan milisi loyalisnya dari Suriah. Dalam waktu yang sama, Rusia juga harus memperhatikan kepentingan Iran yang harus berada di Suriah.
Iran selalu berdalih, keberadaannya di Suriah atas undangan resmi pemerintah Assad untuk melindungi pemerintah tersebut. Kepentingan Iran itu memiliki titik temu dengan kepentingan Rusia yang sama-sama diundang resmi oleh pemerintah Assad.
Baca juga: Israel Makin Siap untuk Terlibat dalam Konflik di Suriah
Karena itu, Rusia selalu menolak permintaan Israel untuk bertindak langsung mengusir Iran dan loyalisnya dari Suriah. Sebab hal itu berbenturan dengan kepentingan Damaskus yang menghendaki beradanya Iran itu.
Namun Rusia memilih jalan tengah dengan mengizinkan Israel melakukan serangan udara langsung atas berbagai sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah.
Itulah dibalik aksi Israel melancarkan serangan udara secara intensif atas sasaran Iran dan loyalisnya di berbagai wilayah Suriah tanpa hambatan apapun.
Menurut laporan tahunan organisasi Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia di Suriah (SOHR) yang berbasis di London yang dirilis pada akhir Desember 2020, Israel selama tahun 2020 telah melancarkan 40 kali serangan udara terhadap berbagai sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah.
Serangan udara Israel tersebut telah menewaskan 215 orang anggota pasukan Iran dan loyalisnya di berbagai wilayah di Suriah. Juga menghancurkan 135 gedung atau sasaran yang diduga kuat milik Iran dan loyalisnya di Suriah.
Akibat serangan udara intensif Israel itu, Rusia berhasil mencapai kesepahaman dengan Iran untuk menjauh dari Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah Selatan, kota Damaskus dan sekitarnya.
Iran dan loyalisnya kemudian memilih mundur ke wilayah Suriah timur, khususnya ke Propinsi Deir ez-Zor (Dayr az-Zawr) yang berbatasan dengan Irak. Namun Israel tampak tidak sudi Iran tetap berada di Suriah, meskipun jauh dari perbatasan Israel, yakni propinsi Deir ez-Zor.
Hal itu ditunjukkan dengan aksi Israel kembali melancarkan serangan udara dahsyat pada hari Rabu lalu, 13 Januari 2021, atas 13 sasaran Iran dan loyalisnya di Suriah timur, persisnya propinsi Deir ez-Zor.
Baca juga: Kerja Sama Ekonomi Suriah-Rusia untuk Hindari Sanksi Barat
SOHR melaporkan, sedikitnya 57 anggota milisi Iran dan pasukan Suriah tewas akibat serangan udara dahsyat Israel itu.
Dengan latar belakang pertarungan sengit Iran-Israel di wilayah Suriah dalam beberapa tahun terakhir ini, Rusia akhirnya mampu memaksa Damaskus bersedia bertemu rahasia dengan Israel di pangkalan udara Khmeimim.
Selain itu, Rusia juga tampak berkeinginan membangun hubungan baik dengan Presiden baru AS Joe Biden dengan berupaya mengurangi pengaruh Iran di Suriah.
Bisa jadi pertemuan rahasia di Khameimim akan dijadikan program Israel dan Rusia agar menjadi agenda perundingan AS dan Iran mendatang untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 (JCPOA).
Damaskus yang berada dalam posisi terlemah dalam pertarungan di Suriah saat ini, tampak tidak ada pilihan lain kecuali tunduk pada permintaan Rusia agar bertemu dengan Israel di pangkalan udara Khmeimim.
Dilihat dari agenda dan figur yang hadir dalam pertemuan rahasia itu, jelas isu keamanan murni yang dibahas, bukan isu politik, apalagi soal proses perdamaian Israel-Suriah yang macet sejak tahun 2008.
Terlibat dalam pertemuan rahasia tersebut dari pihak Suriah, adalah Direktur Keamanan Nasional Suriah, Mayjen. Ali Mamluk, dan Penasehat Keamanan Presiden Suriah Bashar Al-Assad, Bassam Hassan.
Adapun dari pihak Israel, hadir mantan Kepala Staf Angkatan Bersanjata Israel Gadi Eizenkot dan pejabat Mossad (dinas intelijen luar negeri Israel) Ari Ben Menashe. Dari pihak Rusia, hadir kepala militer Rusia di Suriah, Alexander Zhuravlyov.
Terkait agenda dalam pertemuan rahasia tersebut, pihak Israel secara resmi meminta Suriah agar segera mengusir Iran dan milisi loyalisnya, terutama Hezbollah, dari wilayah Suriah, termasuk wilayah Suriah timur.
Baca juga: Israel Gagalkan Operasi Mata-mata Iran
Israel juga meminta Suriah agar menghentikan wilayahnya menjadi wilayah transit penyelundupan senjata dari Iran ke milisi Hezbollah di Lebanon.
Tentu tuntutan Israel tersebut, sangat berat bisa dilaksanakan oleh Damaskus sendiri.
Selain tidak memiliki kekuatan militer memadai untuk mengusir Iran dan loyalisnya, Damaskus juga secara politik tidak mudah pecah kongsi dengan Iran saat ini, karena hubungan strategis kedua negara sejak Revolusi Iran tahun 1979. Terlalu besar jasa Iran atas rezim Assad sehingga mampu bertahan sampai saat ini.
Di lapangan, pasukan Damaskus bahu membahu dengan pasukan Iran dan loyalisnya melawan pasukan oposisi bersenjata, sisa kekuatan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan milisi Kurdi.
Maka, harapan satu-satunya pada masyarakat internasional agar bisa menekan Iran mengurangi keberadaannya di Suriah. Masyarakat internasional bisa melalui forum perundingan JCPOA kedua nanti, untuk menekan Iran bersedia meninggalkan Suriah.
Seperti diketahui JCPOA melibatkan lima negara anggota tetap DK PBB, yakni AS, Rusia, China, Inggris, Perancis plus Jerman.
Jika JCPOA jilid II berhasil tercapai pada era Presiden Biden ini, maka diharapkan bisa berandil atas tercapainya solusi politik komprehensif di Suriah yang bisa diterima dan mengakomodasi kepentingan semua pihak yang bertarung, seperti Rusia, Iran, Turki, Israel dan Damaskus.
Bagi Damaskus, bila JCPOA jilid II dan solusi politik komprehensif di Suriah tercapai pada era Biden nanti, diharapkan Presiden Biden membatalkan keputusan Presiden Trump pada Maret 2019 yang mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.*