Pelajaran Layang-layang
Di pergantian musim, langit menjelma layar dan arena pertarungan bagi layang-layang. Hanya dua kemungkinan yang lahir di musim layang-layang, kalah atau menang.
Di pergantian musim, langit menjelma layar dan arena pertarungan bagi layang-layang. Hanya dua kemungkinan yang lahir di musim layang-layang, kalah atau menang. Kalah berarti kecewa, menang berarti bahagia. Kecewa, benang kalah perkasa atau kurang pandai cara memainkan, layang-layang kelimpungan. Bahagia, senyum merekah, telah membuat layang-layang lain kelimpungan di udara, dan mendarat entah di mana.
Begitulah musim layang-layang, tak terkecuali di tempatku tinggal. Sebuah kecamatan yang terletak di perbatasan antara kota dengan kabupaten. Bapak seringkali membantuku menerbangkan permainan yang tidak mengenal umur itu, sepulang dari kerja di sebuah penerbit, entah atas kemauannya sendiri ataupun aku yang meminta. Bapak tidak pernah mengeluh lelah saat ia ikut memainkan layang-layang bukan atas kemauannya sendiri. Terkadang beberapa temanku menyaksikan kami, saat layang-layangku dimainkan Bapak dan sedang bertarung melawan layang-layang lain.
Ada alasan, kenapa Bapak selalu ikut bermain denganku. Aku baru menginjak kelas tiga sekolah dasar, dan aku belum begitu mahir menerbangkan layang-layang. Saat siang hari aku bermain layang-layang, tidak ada Bapak dan aku tidak tidur siang, teman-temanku sering membantuku menerbangkan layang-layangku. Jika beradu, nyaris aku selalu kalah, aku juga belum begitu mahir untuk hal itu. Selalu saja berakhir dengan kesedihan.
Aku sering curhat masalah kekalahanku kepada Bapak di malam hari, atau waktu senggang lainnya. Bapak tidak pernah merespons dengan menunjukkan raut muka yang sedih, dan memberitahuku cara supaya menang. Ia justru terlihat bahagia, dan seperti menganggap kekalahanku adalah sesuatu yang harus dilanjutkan.
”Permainan layang-layang itu mengajarkan kita kehilangan, Nak,” ucap Bapak di suatu malam. Kami berdua duduk di bawah pohon mangga tepat di depan teras rumah. Malam itu, kami bermandikan cahaya bulan purnama.
”Kehilangan?” tanyaku tak paham.
”Kehilangan sejatinya akan membuat jiwa seseorang menjadi semakin kuat jika kita menyikapinya dengan baik. Bukan semakin melemah. Permainan layang-layang termasuk pelajaran tentang kehilangan yang kecil. Kita dilatih ikhlas, saat layang-layang kita putus. Memang sebagai manusia, kita harus berlatih menghadapi kehilangan dari mulai yang kecil. Karena di masa mendatang, kita akan menghadapi kehilangan yang jauh lebih besar, yang datangnya tidak pernah kita ketahui dengan pasti. Dan mau tidak mau kita harus menghadapinya. Kehilangan sudah pasti tentu ada. Maka itu masa kecil adalah masa emas untuk berlatih segalanya, salah satunya kehilangan itu tadi,” terang Bapak. ”Di balik kekalahan selalu ada hikmah.”
”Tapi aku ingin menang, Pak. Aku tidak mau diejek terus oleh teman-teman. Bagaimana caranya?”
”Waktu yang akan menjawabnya. Permainan layang-layang hanyalah soal pengalaman. Saat ini kamu baru waktunya harus menikmati kekalahan,” ucap Bapak. Di akhir kata-katanya bapak tersenyum.
”Tapi Bapak sendiri tidak pernah berusaha untuk mengalah saat ikut bermain denganku,” ucapku. Aku selalu saja begitu setiap Bapak membahas soal kekalahanku. Aku benar-benar selalu dibuat tidak habis pikir dengan cara berpikir Bapak.
”Bapak sudah pernah melewati masa ketika seumuranmu. Dan yang namanya kekalahan tidak pantas disebut berusaha. Berusaha kok mengalah, lucu sekali. Kecuali ada sebab-sebab lain yang harus ditempuh, sehingga kekalahan itu harus ada. Kamu sendiri tidak pernah mau untuk mengalah bukan? Meski sejatinya kamu akhirnya kalah.”
”Jadi saat sudah dewasa, tidak lagi dapat pelajaran kekalahan? Harus terus menang?”
”Bukan berarti seperti itu. Manusia akan terus menghadapi kekalahan-kekalahan. Lagian Bapak tidak mungkin mengalah saat ikut bermain denganmu. Sebab apa? Adakah seorang ayah tega melihat anaknya bersedih? Tidak ada, Nak. Tidak ada satu pun di dunia ini seorang ayah yang tega melihat anaknya bersedih, meskipun Bapak juga tidak selalu menang dalam memainkan layang-layangmu.”
”Bapak?!”
”Sudahlah. Kamu akan mengerti pada saatnya. Sejujurnya, saat ini Bapak lebih senang atas kekalahan-kekalahanmu.”
***
Mas Satoto—tetangga seorang remaja seumuran anak-anak SMA—yang rumahnya berjarak empat rumah di selatan rumahku, berjalan menuju halaman, tempatku bermain layang-layang. Ia mengajakku agar berpindah ke kuburan. Ia juga membawa layang-layang. Mas Satoto orangnya cukup baik denganku. Saat musim tamiya tiba, ia selalu membantuku merangkaikan tamiya—aku tidak pernah membeli yang sudah jadi. Saat ia menang bermain kelereng, kadangkala ia membagi denganku. Pernah pula, kala aku sibuk bermain gobak sodor di halaman rumah, Mas Satoto tiba-tiba saja datang membawa seplastik es teh dan memberikannya padaku. Aku tidak tahu, latar belakang semacam apa yang ada pada diri Mas Satoto sehingga ia melakukan semua itu padaku.
Mas Satoto sering bermain layang-layang di kuburan. Ia terbilang jago memainkan layang-layang. Dari halaman rumah sambil menikmati layang-layang milik sendiri, aku sering mengamati layang-layang milik Mas Satoto berjibaku dengan layang-layang lain—jarak rumah dan kuburan hanya terpaut kira-kira lima puluh meter. Mas Satoto sering kali berkorban ngleweri* layang-layang lain hingga ke kampung di utara kampungku (angin bergerak dari selatan ke utara).
Tidak seperti di desa—acuanku adalah rumah nenek yang letaknya di desa—bilamana, sebuah layang-layang menyangkut layang-layang lain dan membuat putus, pemilik yang kehilangan langsung mendatangi siapa yang menang dan dengan nada marah bertanya alasan membuat layang-layang miliknya putus, meski tidak semuanya seperti itu. Di kota, tidak pernah terjadi seperti itu. Tidak peduli, mau kenal apa tidak dengan si pemilik layang-layang yang lagi terbang. Pertarungan selalu terjadi begitu saja, tanpa izin, tanpa janji sebelumnya. Anak-anak kota mungkin dilahirkan untuk menjadi seorang petarung.
Aku sebenarnya agak takut juga memasuki kuburan. Tetapi entah kenapa, ajakan tadi membuatku menurut begitu saja. Aku melangkah di sela-sela batu nisan. Pada suatu detik, langkahku berhenti. Mas Satoto mulai memainkan layang-layangnya. Hanya butuh waktu sebentar saja baginya membuat layang-layangnya terbang. Ia menyuruhku untuk memegang benang layang-layangnya. Aku pun menerima uluran benangnya dengan perasaan sir-siran, menyaksikan batu nisan di sekitarku. Ia pun menerbangkan layang-layang milikku. Layang-layang kami terbang bersama, namun tidak bermusuhan tentu saja.
Begitulah Mas Satoto. Ia lebih suka bermain layang-layang di kuburan ketimbang di tanah lapang atau tempat lengang lainnya. Di kuburan sunyi dan membuatnya bisa lebih berkonsentrasi, katanya. Paling-paling hanya ada satu-dua temannya yang kemudian datang menyusulnya ke kuburan. Mungkin hal itu yang membuat Mas Satoto sering menang.
***
Sore berikutnya telah kuputuskan bahwa aku akan ikut Mas Satoto ke kuburan. Bermain di kuburan ternyata asyik juga. Selain sepi, kuburan juga tempat yang lumayan luas dan nyaris tanpa halangan pepohonan yang membuat kadang layang-layang tersangkut di sana. Kekurangannya, aku tidak bisa membawa lari layang-layang. Dan aku belum bisa bermain dengan cara berdiri di tempat sebagaimana Mas Satoto.
Mas Satoto di hari sebelumnya telah berjanji padaku, bahwa ia akan membantuku. Singkatnya, kami sudah berada di dalam kuburan dan layang-layang sudah terbang. Aku menguasai layang-layang milik Mas Satoto, sementara layang-layangku dalam penguasaannya, karena mainan milikku itu sedang beradu dengan layang-layang lain. Tetapi tiba-tiba saja aku berteriak. Panik seketika. Sebuah layang-layang ngleweri milik Mas Satoto. Kami bertukar benang. Masing-masing posisi layang-layang kami sedang bertarung. Jantungku berdegup kencang, layang-layangku diancam. Saat layang-layangku telah ditindih, Mas Satoto berteriak, agar aku ulur*. Hingga ukuran layang-layangku mengecil, belum juga ada yang menang. Akhirnya....
”Mas, aku menang,” teriakku girang. ”Aku menang, Mas. Lihat, musuhku kelimpungan. Yeayyy!”
Sore itu benar-benar sore yang menjadi milikku. Meski hanya satu kali menang, namun aku begitu bangga. Sungguh aku tidak menyangka. Di angan-anganku tercipta sebuah rencana: akan menceritakan kemenanganku pada Bapak. Menjelang magrib aku baru pulang, membawa dua buah layang-layang—layang-layang yang satunya ialah sebuah layang-layang yang jatuh di kuburan kiriman dari sebuah kampung di selatan kampungku karena menderita kekalahan. Sungguh bahagia yang tak terkira.
Sesampainya di rumah, Bapak ternyata belum pulang. Kata ibu, Bapak pulang telat. Aku menjadi tidak sabar bercerita kepada Bapak.
Hingga malam tiba, Bapak belum juga pulang. Ibu mulai khawatir, kekhawatirannya ia tunjukkan dengan mondar-mandir dan wajah pucat. Angan-anganku akan bercerita kepada Bapak tentang kemenanganku sirna begitu saja, berganti memikirkan Bapak yang tidak pulang-pulang. Tengah malam ibu membangunkanku. Ia baru saja mendapat kabar—ibu tidak memaparkan siapa yang telah mengabarinya—Bapak akan pulang. Tetapi bukannya ibu senang, ia malah terlihat sedih, bahkan pipinya seperti menandakan, ia baru saja menangis.
Ya, Bapak memang benar pulang. Tetapi tidak dengan senyuman. Bapak telah tiada. Aku kehilangan Bapak. Saat jenazah bapak dimandikan dan aku berkutat dalam tangisan, aku ingat kata-kata Bapak, ”Di masa mendatang, kita akan menghadapi kehilangan yang jauh lebih besar.”
Keterangan
Ngleweri: menambah ketinggian untuk bertarung dengan layang-layang yang terbang lumayan jauh di depan kita
Ulur: teknik menguluri/menambah ketinggian dengan perlahan, sebagai teknik menggesek benang lawan
______________________
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta.