Indeks Negara Hukum Indonesia tahun 2018 turun tipis dibandingkan dengan indeks yang sama tahun sebelumnya. Dari lima prinsip yang diukur, skor ketaatan pemerintah terhadap hukum mengalami penurunan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indeks Negara Hukum Indonesia tahun 2018 turun tipis dibandingkan dengan indeks yang sama tahun sebelumnya. Dari lima prinsip yang diukur, skor ketaatan pemerintah terhadap hukum mengalami penurunan. Ini salah satunya disebabkan karena belum terungkapnya kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan.
Indonesia Legal Roundtable (ILR) dan Tahir Foundation meluncurkan Indeks Negara Hukum Indonesia (INHI) tahun 2018, Kamis (17/10/2019), di Jakarta. Indeks itu diperoleh melalui kajian ILR atas pendapat ahli terhadap lima prinsip yang diukur, yakni ketaatan pemerintah terhadap hukum, legalitas formal, kekuasaan kehakiman yang merdeka, akses terhadap keadilan, dan jaminan perlindungan hak asasi manusia. Sebanyak 108 ahli dengan beragam latar belakang diwawancarai dalam riset yang menyurvei 18 provinsi di Indonesia.
Peluncuran INHI menghadirkan sejumlah narasumber sebagai penanggap, yakni pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar, Direktur Hukum dan Regulasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Prahesti Pandanwangi, dan anggota DPR terpilih dari Partai Nasdem Taufik Basari.
Peneliti ILR Rizki Yudha menyatakan INHI 2018 sebesar 5,79 poin, turun 0,06 poin dari tahun 2017. Ada empat peringkat penilaian, yakni sangat buruk (0,0-2,5), buruk (2,6-5,0), cukup (5,1-7,5), dan baik (7,6-10).
"Besaran skor INHI 2018 menandakan bahwa performa pemerintah cenderung stagnan dalam penyelenggaraan negara hukum," katanya.
Dia melanjutkan, ada dua prinsip yang mengalami penurunan, yaitu akses terhadap keadilan dan ketaatan pemerintah terhadap hukum. Akses terhadap keadilan mendapat skor 0,93 atau turun 0,02 dari tahun sebelumnya. Sementara skor ketaatan pemerintah terhadap hukum mendapat skor 1,38 atau turun 0,11 dari tahun sebelumnya.
Menurutnya, ahli memberikan banyak catatan terkait ketaatan pemerintah terhadap hukum. Pertama, pemerintah belum menjalankan putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/TUN/2017 tentang Keterbukaan Informasi Hak Guna Usaha Perkebunan Sawit.
Selain itu, penanganan kasus Novel Baswedan juga menjadi catatan. Ahli mengkritik performa Presiden dalam mengawasi kinerja kepolisian terkait pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap Novel.
Catatan Kompas, tim pencari fakta (TPF) yang dibentuk Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian selesai bekerja pada Juli lalu. Laporan dari TPF belum bisa mengungkap kasus Novel. Polri kemudian menindaklanjuti laporan TPF dengan membentuk tim teknis yang masih bekerja hingga hari ini.
Ahli mengkritik performa Presiden dalam mengawasi kinerja kepolisian terkait pengungkapan kasus penyiraman air keras terhadap Novel.
Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, prinsip ketaatan pemerintah terhadap hukum berhubungan dengan budaya hukum pemerintah. Sejauh mana pemerintah mematuhi hukum dalam menjalankan pemerintahan.
Menurutnya, pemerintah terkesan mendua dalam konteks ketaatan terhadap hukum. "Pada kegiatan yang tidak menarik perhatian masyarakat dan tidak bersinggungan dengan hak-hak demokrasi nampaknya pemerintah taat pada hukum. Tetapi ketika masuk pada hal yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat, ada pelanggaran terjadi," katanya.
Misalnya saja dalam pengungkapan kasus Novel. Kepolisian, katanya, merupakan bagian dari eksekutif. Oleh sebab itu, terbengkalainya kasus Novel menjadi tanggung jawab pemerintah.
"Masalahnya lebih pada soal kepemimpinan. Regulasinya ada," katanya.
Taufik Basari menambahkan, INHI 2018 ini menjadi masukan penting bagi pemerintah. Publik harus terus mengingatkan pemerintah agar selalu taat terhadap hukum.
Hal ini yang nantinya akan terus ia suarakan di DPR. Sebagai pengawas pemerintah, katanya, DPR tidak boleh hanya berhenti pada pertemuan-pertemuan formal. Fungsi pengawasan DPR bisa diperluas dengan mendatangi langsung institusi bersangkutan serta membangun komunikasi informal.
"Bisa saja dengan mendatangi Kapolri dan Kepala Badan Reserse Kriminal, menanyakan apa-apa saja pandangan mereka terkait penegakan hukum ke depan," katanya.
Prahesti Pandanwangi menjelaskan, indikator INHI 2018 inheren dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2020-2024. Keterkaitan antara INHI dan RPJMN terdapat di bidang penataan regulasi; perbaikan sistem hukum pidana dan perdata; penguatan sistem antikorupsi; dan peningkatan akses terhadap keadilan.
Menurutnya, di masa datang, INHI diharapkan juga dapat mengukur intervensi pemerintah di bidang-bidang yang diukur tersebut. Hal ini akan memberikan evaluasi bagi pemerintah untuk memberikan intervensi yang sesuai dengan keinginan publik. Dia berharap, penelitian ini juga meliputi semua provinsi di Indonesia agar data yang didapat lebih utuh.