Pegiat hak asasi manusia mengharap tidak ada lagi sosok bermasalah di jajaran kabinet. Kehadiran pelaku HAM diyakini akan menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
Oleh
I GUSTI AGUNG BAGUS ANGGA PUTRA/INSAN AL FAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia dan Amnesty International Indonesia berharap kabinet Presiden Joko Widodo mendatang tak lagi diisi pelaku pelanggaran hak asasi manusia. Kehadiran pelanggar HAM diyakini bakal menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Salah satu kasus pelanggaran HAM yang belum tuntas hingga saat ini adalah penghilangan paksa aktivis 1997/1998. Kasus itu terjadi pada masa Pemilihan Presiden Republik Indonesia periode 1998-2003. Kala itu terdapat dua agenda politik besar di Tanah Air. Pertama, Pemilihan Umum 1997. Kedua, Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Maret 1998 untuk memilih presiden dan wakil presiden RI.
Pada saat kasus ini terjadi, presiden RI masih dijabat Soeharto. Kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa menimpa 13 aktivis yang ingin menegakkan keadilan dan demokrasi pada masa pemerintahan Orde Baru. Ketiga belas aktivis itu antara lain Wiji Thukul, Yani Afri, Petrus Bima Anugrah, dan Herman Hendrawan.
Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Amnesty International Indonesia, Jumat (18/10/2019), menyayangkan belum jelasnya sikap dan kebijakan Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan kasus itu hingga menjelang berakhirnya pemerintahan periode pertama.
Sebaliknya, IKOHI dan Amnesty International Indonesia melihat gelagat pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi masih akan merangkul para pelanggar HAM untuk bergabung di kabinet. Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto diduga kuat terlibat dalam penghilangan paksa 13 aktivis.
”Kami harap Presiden bisa segera menyadari untuk tak melibatkan pelanggar HAM dalam periode kedua pemerintahan,” ujar Sekretaris Jenderal IKOHI Zaenal Mutaqin di Jakarta.
Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, Zaenal menilai kabinet juga masih diisi orang-orang yang diduga kuat adalah pelaku penghilangan paksa aktivis 1997/1998. Keberadaan para pelanggar HAM di pemerintahan, bagi Zaenal, bakal kembali menghambat proses penyelesaian kasus tersebut.
Bagi Zaenal, jika pelanggar HAM tak disertakan lagi dalam pemerintahan, Presiden Jokowi tidak akan mempunyai beban. Karena itu, besar kemungkinan penyelesaian kasus akan tuntas pada periode kedua pemerintahan Jokowi.
”Jokowi harus meninggalkan warisan sebagai Presiden yang teguh dan berprinsip. Apalagi, Indonesia kembali terpilih sebagai anggota Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),” kata Zaenal.
Manajer Kampanye Amnesti International Indonesia Puri Kencana Putri mengatakan, kasus penghilangan paksa merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang memiliki ”modal dasar” untuk diselesaikan.
Hal itu disebabkan telah ada penyelidikan pro justisia oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 2006. Selain itu, telah ada penyelidikan khusus melalui Panitia Khusus DPR pada 2009. Kedua proses formal kelembagaan negara tersebut menghasilkan empat rekomendasi.
Pertama, merekomendasikan Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera mencari 13 aktivis yang masih hilang. Ketiga, merekomendasikan pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Terakhir, merekomendasikan pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa.
Mandek
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, kasus penghilangan paksa masuk dalam salah satu dokumen penyelidikan Komnas HAM. Hasil penyelidikan pro justisia itu telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, hingga kini masih belum ada tindak lanjut dari Kejagung alias mandek.
”Maka, kita berharap kali ini Presiden bisa memilih jaksa agung yang punya keseriusan untuk menindaklanjuti,” katanya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Mukri belum dapat dikonfirmasi perihal keberlanjutan penyidikan laporan pro justisia Komnas HAM. Panggilan telepon dan pesan singkat belum mendapat respons.
Zaenal menjelaskan, Jaksa Agung semestinya menindaklanjuti penyelidikan dari Komnas HAM. Jaksa Agung bisa menindaklanjuti dengan memanggil pihak-pihak yang mengetahui peristiwa penghilangan paksa dan melakukan penuntutan. Tindak lanjut dinilai akan memperkuat laporan pro justisia Komnas HAM.
Terlebih, kasus penghilangan paksa merupakan salah satu kasus yang mendapat rekomendasi DPR. Dukungan politik dari DPR itu jadi modal berharga jika Presiden memandang perlu segera membentuk Pengadilan HAM.