Miliaran Rupiah Dana Desa Bermasalah Ditampung di Kas Daerah Konawe
›
Miliaran Rupiah Dana Desa...
Iklan
Miliaran Rupiah Dana Desa Bermasalah Ditampung di Kas Daerah Konawe
Miliaran rupiah dana desa untuk tiga desa bermasalah di Konawe, Sulawesi Tenggara, masuk ke kas daerah selama empat tahun terakhir. Penyelidikan terkait anggaran dan status puluhan desa lainnya sedang berlangsung.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Miliaran rupiah dana desa untuk tiga desa bermasalah di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, masuk ke kas daerah selama empat tahun terakhir. Dana tersebut mengendap dan menjadi sisa lebih pembiayaan anggaran atau silpa daerah. Penyelidikan terkait anggaran dan status puluhan desa lainnya sedang berlangsung oleh berbagai pihak.
Tiga desa di Kabupaten Konawe yang bermasalah itu adalah Desa Ulu Meraka di Lambuya, Desa Uepai dan Desa Moorehe di Uepai. Ketiganya mendapat dana ratusan juta rupiah selama bertahun-tahun lamanya.
Informasi yang dikumpulkan Kompas, Desa Ulu Meraka adalah desa yang terdaftar pertama kali sebagai penerima dana desa. Desa mendapatkan dana sebesar Rp 249,820 juta pada 2015. Angka ini meningkat menjadi Rp 576,945 juta pada 2016, Rp 748,149 juta pada 2017, dan Rp 680,607 juta pada 2018. Padahal, diketahui desa itu tidak ada di Kecamatan Lambuya.
Sementara itu, Desa Uepai, yang juga tidak ada wilayah, warga, dan strukturnya, terdaftar sebagai penerima dana desa sebesar Rp 794,149 juta pada 2017 dan sebesar Rp 668,840 juta pada 2018. Terakhir, Desa Moorehe yang berada di dalam hutan lindung dan warganya telah berpindah mendapat dana desa Rp 744,804 juta pada 2017 dan Rp 665,680 juta pada 2018. Total semua dana desa untuk tiga desa ini mencapai lebih dari Rp 5 miliar.
Ketua KPK Agus Rahardjo menuturkan, pihaknya turut memantau penyelidikan terkait kasus dana desa yang diduga fiktif dan bermasalah ini. Sejauh ini, monitoring dan penyelidikan mendalam sedang dilakukan, bersama dengan sejumlah instansi lain yang sedang menyelidiki hal ini.
Ini termasuk modus baru. (Agus Rahardjo)
”Kami pasti akan meneliti dan menyelidiki siapa yang bersalah dalam hal ini. Berapa dana yang ditransfer setiap tahun, dana yang tersisa tahun lalu berapa? Dana yang tersisa dikembalikan enggak? Nanti akan dicari informasi yang akurat siapa yang menikmati dana desa, yang mempunyai ide siapa, dan lainnya. Ini termasuk modus baru,” kata Agus, selepas menghadiri sosialisasi di DPRD Sultra, Kamis (7/11/2019).
Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kabupaten Konawe Keny Yuga Permana menyampaikan, pihaknya menjamin anggaran dana desa yang telah disalurkan pusat ke daerah tidak tersalurkan ke ketiga desa yang disebutkan. Sebab, ketiga desa itu tidak memiliki keabsahan untuk menjadi penerima dana desa. Dua buah desa tidak memiliki warga, struktur dan wilayah, sementara satu desa tidak lagi ada warga dan wilayahnya.
Keny melanjutkan, jumlah total penerima dana desa di Konawe pada 2015 adalah 241 desa. Pada 2017, jumlah penerima dana desa bertambah menjadi 297 desa pada 2017. Sejak 2018, Pemerintah Kabupaten Konawe mengusulkan agar tiga desa yang telah diketahui memang tidak layak menerima dana desa itu tidak menerima dana desa kembali.
Silpa untuk dana desa pada 2018 adalah senilai Rp 5,371 miliar. Dana tersebut dipakai untuk membayar pencairan ke-3 dana desa di tujuh desa sebesar Rp 1,3 miliar.
”Silpa pada 2019 ini adalah Rp 4 miliar. Dan itu sudah diketahui oleh pusat. Jadi di tahap dua ini, kami hanya mendapatkan transfer dana Rp 84 miliar dari total pagu Rp 88 miliar. Sekarang dana yang tinggal untuk tahap dua ini juga sudah hampir habis untuk pencairan program desa,” kata Keny.
Ia menambahkan, perlu dipahami bahwa jumlah penerima dana desa itu bertambah pada 2017 dan besarannya tidak selalu sama. ”Oleh karenanya, kami tidak mendiamkan permasalahan ini, dan sedari awal telah mengusulkan agar ketiga desa tersebut tidak lagi menerima dana desa,” kata Keny, yang baru menjabat lima bulan ini.
Tiga desa di Konawe ini diduga kuat menjadi bagian dari desa bermasalah yang terus menerima dana desa. Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, ada sejumlah desa yang menyerap dana desa meski desanya tidak aktif. Tiga desa ini menjadi bagian penyelidikan Polda Sultra terkait adanya dugaan penyalahgunaan anggaran. Total ada 56 desa yang dicurigai bermasalah di Konawe.
Saat disambangi pada Rabu siang, Desa Ulu Meraka di Lambuya memang tidak pernah ada. Di kecamatan ini hanya ada Desa Meraka, sementara Desa Ulu Meraka ada di Kecamatan Onimbute yang merupakan bagian pemekaran Lambuya. Desa Uepai juga tidak pernah ada dan hanya ada Kelurahan Uepai.
Arifuddin, Inspektur Pembantu I Inspektorat Provinsi Sulawesi Tenggara, menuturkan, pada 2018 lalu pihaknya pernah melakukan monitoring ke Kabupaten Konawe. Saat itu terdapat informasi akan adanya desa yang tetap menerima dana desa meskipun diduga kuat bermasalah.
”Kami konfirmasi ke BPMD dan BPKAD (Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah) itu dibenarkan. Dan mereka juga menyampaikan bahwa ada dana desa yang memiliki silpa sebesar Rp 5 miliar. Kami saat itu dalam (kegiatan) monitoring, bukan untuk pemeriksaan karena pemeriksaan itu kewenangannya di inspektorat kabupaten,” tambahnya.
Dihubungi terpisah, Camat Uepai Jasman menuturkan, dua desa yang berada di wilayahnya itu pada dasarnya sudah tidak ada. Sebab, Desa Uepai telah berubah menjadi kelurahan sehingga secara otomatis tidak boleh mendapatkan dana desa. Jasman mengaku tidak mengetahui apakah dana untuk Desa Uepai yang telah ditransfer ke kas daerah sempat dicairkan atau tidak.
”Saya tidak tahu itu. Saya juga tidak pernah berikan rekomendasi untuk pencairan dana,” ujarnya dengan pelan. Pencairan dana desa dalam aturannya memerlukan rekomendasi dari camat terkait program yang telah berjalan.
Untuk Desa Moorehe, Jasman menambahkan, sejak tahun 2015 semua warga Desa Moorehe telah pindah ke desa tetangga karena wilayah desa berada di hutan lindung dan berada di Kabupaten Kolaka Timur. Jumlah warga desa sebanyak 214 keluarga tidak lagi menempati desa tersebut.
”Data kami, desa itu ada 214 keluarga, dengan wajib pilih 200 orang. Mereka sudah pindah sejak 2015 lalu ke desa sebelah. Tapi, desanya masih tercatat karena kemarin waktu pemilihan ada satu TPS di sana. Sejak dulu selalu ada TPS di sana,” tambahnya.