Pemerintah Mengklaim Penyaluran Dana Desa dari Hulu ke Hilir Berjalan Ketat
›
Pemerintah Mengklaim...
Iklan
Pemerintah Mengklaim Penyaluran Dana Desa dari Hulu ke Hilir Berjalan Ketat
Di tengah polemik penggunaan dana desa, pemerintah mengklaim prosespenggunaan dana desa dari hulu ke hilir berjalan ketat dan transparan.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengklaim verifikasi laporan penyerapan dana desa dilakukan dengan ketat dan transparan. Karena itu, tidak ada kemungkinan dana desa tersalurkan ke desa-desa fiktif.
Penyaluran dan penggunaan dana desa terekam dalam sistem informasi berbasis digital. Sistem itu memuat informasi setiap desa secara detail sejak dana desa pertama kali dialokasikan tahun 2015. Klaim ini disampaikan Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Anwar Sanusi kepada Kompas, Jumat (8/11/2019).
Menurut Anwar, proses dana desa dari hulu ke hilir cukup ketat. Pengalokasian dana desa memiliki formula khusus berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, tingkat kemiskinan, dan kondisi geografis. Basis penghitungan alokasi dana desa turut mempertimbangkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Di hilir, penyaluran dana desa dilakukan secara bertahap melalui tiga termin, 20 persen pada Januari, 40 persen pada Maret, 40 persen pada Juli. Pencairan dana desa hanya bisa dilakukan apabila perangkat desa sudah melaporkan realisasi penyerapan anggaran termin sebelumnya. Laporan penyerapan anggaran bukan hanya realisasi angka, tetapi output kegiatan. “Jadi kalau ada dugaan desa fiktif, desa yang kosong secara administratif, asumsi saya dana desa tidak tersalurkan ke desa itu,” ujar Anwar kepada Kompas, Jumat.
Namun, dalam kenyataannya, rata-rata realisasi dana desa periode 2015-2018 mencapai 99,69 persen dari pagu APBN. Berdasarkan daya yang dihimpun Kompas, realisasi dana desa pada 2015 sebesar Rp 20,8 triliun atau 100 persen dari pagu, tahun 2016 sebesar Rp 46,7 triliun (99,4 persen), tahun 2017 sebesar Rp 59,8 triliun (99,6 persen), tahun 2018 sebesar Rp 59.9 triliun (99,77 persen).
Menanggapi hal itu, Anwar mengatakan, dugaan penyaluran dana desa ke sejumlah desa fiktif tetap akan didalami. Saat ini tengah dilakukan pengecekan data antara lokasi desa dan laporan realisasi serapan anggaran. Jika terbukti ada pelanggaran, pemerintah menyerahkan penanganan kasus ke para penegak hukum. “Kalau memang terbukti ada prosedur yang dilanggar, aparat hukum dapat bertindak merespons kasus itu,” kata Anwar.
Sebelumnya, KPK mengungkap dugaan pengalokasian dana desa ke desa-desa yang diduga fiktif. Dugaan adanya desa-desa fiktif penerimaan dana desa itu sudah diketahui Kemendagri dan Kementerian Keuangan. KPK menyampaikan ada 56 desa fiktif.
Di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara terungkap ada 34 desa yang bermasalah, tiga desa di antaranya fiktif, sementara 31 desa lainnya, meskipun keberadaannya nyata, surat keputusan pembentukan desanya dibuat dengan tanggal mundur sebelum kebijakan moratorium dari Kemendagri.
Desa-desa tersebut diidentifikasi tidak sesuai prosedur karena menggunakan dokumen yang tidak sah sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah atas dana desa (DD) dan alokasi dana desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe tahun anggaran 2016 sampai dengan tahun anggaran 2018. (Kompas.id, 7/11/2019)
Puncak gunung es
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Na Endi Jaweng, berpendapat, terungkapnya pengalokasian dana desa ke desa fiktif di Kabupaten Konawe dikhawatirkan puncak gunung es. Ada kemungkinan jumlah desa fiktif lebih banyak karena pengawasan lemah. “Evaluasi laporan penyerapan dana desa dari setiap daerah tidak berjalan. Verifikasi tidak jelas karena kasus sudah berjalan dua tahun anggaran,” ujar Robert.
Pengelolaan dana desa dan alokasi dana desa ini sempat mendapat sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dalam ikhtisar hasil pemeriksaan semester II-2018, BPK menemukan pembagian dan penyaluran dana desa oleh pemerintah kota/kabupaten yang tidak Berdasarkan basis data terbaru.
Selain itu, pemerintah kota/kabupaten tidak melakukan perhitungan indeks kesulitan geografis sebagai salah satu variabel untuk menghitung pengalokasian dana desa. Akibatnya, alokasi anggaran per desa menjadi lebih besar atau lebih kecil dari yang seharusnya diterima oleh desa. Hal itu karena pemerintah tidak melakukan pemutakhiran data.
Robert menambahkan, pengawasan dan pendataan desa menjadi kunci untuk mengatasi persoalan penyelewengan dana desa. Aparat di tingkat daerah harus berperan aktif karena kapasitas pemerintah pusat terbatas. Apalagi, penerima dana desa cukup banyak sekitar 74.900 desa di Indonesia.