Infrastruktur Mitigasi Daerah Rawan di Aceh Belum Memadai
›
Infrastruktur Mitigasi Daerah ...
Iklan
Infrastruktur Mitigasi Daerah Rawan di Aceh Belum Memadai
Lima belas tahun pascabencana gempa dan tsunami di Aceh, infrastruktur mitigasi bencana di wilayah tersebut dinilai belum memadai. Kondisi ini justru didapati di sejumlah daerah rentan bencana.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS – Lima belas tahun pascabencana gempa dan tsunami di Aceh, infrastruktur mitigasi bencana di wilayah tersebut dinilai belum memadai. Pada sejumlah daerah rawan tsunami justru terdapat kondisi yang rentan, mulai dari tak ada tempat evakuasi, jalur evakuasi tidak memadai, dan pengetahuan kebencanaan warga minim.
Kawasan rentan bencana tersebut di antaranya Desa Alue Naga di Banda Aceh, serta Desa Lhoknga, Kaju, dan Lhoong di Aceh Besar. Pada tsunami 2004, banyak penduduk di kawasan itu menjadi korban, sedangkan banyak bangunan rusak parah dihantam gelombang.
Kepala Desa Lhok, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, Sakdun, Selasa (10/12/2019) menuturkan, desanya berada di tepi pantai sehingga sangat rentan terhadap tsunami. Namun, hingga kini, belum ada jalur penyelamatan yang memadai. Di kawasan tersebut terdapat perbukitan alami, tetapi tidak ada jalur pendakian yang memudahkan warga mencapai puncaknya.
“Kami minta dibuat tangga untuk naik ke bukit, sehingga kalau terjadi tsunami warga bisa evakuasi ke bukit,” kata Sakdun.
Berkaca pada tsunami 2004, lanjut Sakdum, banyak warga di desa itu meninggal lantaran tidak tahu cara menyelamatkan diri. Dari 150 warga, kala itu hanya 13 orang yang selamat. Permukiman warga yang berada di tepi pantai lenyap ditelan ombak. Kini, warga membuka pemukiman baru tidak jauh dari lokasi lama.
Desa Alue Naga, Banda Aceh juga menjadi kawasan paling rawan tsunami. Berada di tepi pantai, separuh warganya menjadi korban saat tsunami 2004. Namun, daerah ini tidak memiliki gedung penyelamatan.
Di desa itu terdapat Sekolah Dasar Negeri 72 Banda Aceh dengan jumah murid 86 orang. Para siswa berada dalam ancaman bencana lantaran tidak ada gedung penyelamatan. Satu-satunya gedung penyelamatan yang bisa digunakan yakni gedung kampus STIKIP Getsempena berjarak 3 kilometer.
Kepala SDN 72 Kasiyem menuturkan, jika terjadi gempa dan tsunami, mereka tidak tahu ke mana mesti mengevakuasi para murid. Ia telah mengusulkan kepada Wali Kota Banda Aceh untuk dibangun sebuah gedung evakuasi bencana di sekitar sekolah. Kasiyem juga berharap kepada komunitas dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk memfasilitasi pendidikan mitigasi bencana di sekolahnya.
Bupati Aceh Besar Mawardi Ali mengakui infrastruktur mitigasi bencana di Aceh Besar masih minim. Pada 2020, sebuah bukit penyelamatan akan dibangun di kawasan Lhoknga. “Sedangkan untuk kawasan Kaju, kami bahas apakah mungkin dibangun dengan APBD kabupaten,” kata Mawardi.
Selain infrastruktur, kata Mawardi, kesiapsiagaan warga terhadap bencana sebenarnya lebih penting. Program keluarga tangguh bencana atau Katana yang diluncurkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) diharapkan melahirkan keluarga sadar bencana.
Dosen Ilmu Kebencanaan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Nazli Ismail mengatakan mitigasi bencana masih sangat minim. Pendidikan kebencanaan kepada warga tidak berjalan sepenuhnya dan infrastruktur mitigasi masih minim.
“Simulasi dibuat hanya seremonial, bukan untuk mendidik. Setelah simulasi, tidak ada evaluasi dan melahirkan standar operasi prosedur mitigasi,” ujar Nazli.
Ia mengatakan, di Banda Aceh, masih ada bangunan yang tidak standar atau tahan gempa. Bangunan tersebut berada pada kawasan yang berpotensi terjadi pergerakan tanah atau likuifaksi.