Pemerintah Kabupaten Banjarnegara melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah memetakan sedikitnya ada 199 desa yang rawan bencana longsor serta pergerakan tanah.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
BANJARNEGARA, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Banjarnegara, melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah memetakan sedikitnya ada 199 desa yang rawan bencana longsor serta pergerakan tanah. Pembentukan desa tangguh bencana dan sosialisasi bahaya bencana menjadi langkah mitigasi untuk meminimalkan risiko.
”Ada 199 desa rawan longsor dan pergerakan tanah. Kami melakukan mitigasi berupa sosialisasi, pembentukan desa tangguh, serta penanaman pohon penguat lereng,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara Arif Rahman, Kamis (12/12/2019), saat dihubungi dari Banyumas, Jawa Tengah.
Jumlah desa di Banjarnegara ada 266 desa. Dari 199 desa rawan bencana longsor dan pergerakan tanah itu, sebanyak 32 desa masuk dalam kategori kerawanan tinggi. Desa tersebut, antara lain, Desa Bantar dan Suwidak (Kecamatan Wanayasa), Desa Tlaga dan Mlaya (Pungelan), Desa Sijeruk dan Prendengan (Banjarmangu), Desa Slatri dan Sampang (Karangkobar), Desa Sirongge dan Lawen (Pandanarum), Desa Gumelem Wetan dan Gumelem Kulon (Susukan), Desa Duren dan Kebutuh Jurang (Pagedongan).
Desa Sawal dan Pringamba (Sigaluh), Desa Clapar dan Kaliurip (Madukara), Desa Sidengok dan Ratamba (Pejawaran), Desa Gumingsir dan Kalitlaga (Pagentan), Desa Batur dan Karangtengah (Batur), Desa Kalibombong dan Asinan (Kalibening), Desa Wanadri (Bawang), Desa Tlagawera dan Argosoka (Banjarnegara), Desa Lemahjaya (Wanadadi), Desa Glempang (Mandiraja), serta Desa Kaliajir (Purwanegara). ”Hingga saat ini jumlah desa tangguh bencana yang sudah dibentuk di Banjarnegara mencapai 54 desa,” kata Arif.
Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Banjarnegara Andri Sulistyo menambahkan, kesiapsiagaan antarinstansi dan juga perangkat desa dilakukan dengan memperkuat koordinasi hingga tingkat RT/RW. ”Pengecekan alat EWS dan sosialisasi di daerah rawan. Dari 13 unit EWS, ada 8 unit yang aktif, dan sisanya mati,” katanya.
Selain itu, lanjut Andri, pihak BPBD juga mengimbau perangkat desa untuk menyiapkan posko yang bisa dipakai sewaktu-waktu, juga mengajak warga di desa untuk gotong royong membersihkan lingkungan sembari memantau munculnya retakan tanah serta mendorong adanya simulasi mandiri menghadapi bencana. ”Tingkatkan kewaspadaan jika hujan mulai turun,” ujarnya.
Purwanto (50), warga Desa Sampang Karangkobar, yang dulu menjabat kepala desa saat terjadi bencana alam longsor di Dusun Jemblung pada Desember 2014 menyampaikan, kini masyarakat hidup lebih waspada sekaligus masih dihinggapi trauma karena di desa itu ada 94 orang yang meninggal, 74 orang ditemukan, dan 20 orang lainnya hilang terkubur. ”Warga selalu waspada dan trauma terutama jika hujan turun berhari-hari dengan intensitas tinggi,” kata Purwanto.
Purwanto mengatakan, sejak peristiwa Jemblung, sedikitnya ada 30 warga yang sudah mendapat pelatihan mitigasi bencana dalam program Sampang Tangguh Bencana. ”Kami mendapat pelatihan dari BPBD kabupaten untuk mengamati tanda-tanda longsor dan melakukan simulasi evakuasi ke titik kumpul,” tuturnya.
Menurut Purwanto, dari 39 keluarga yang rumahnya hancur akibat longsor di Dusun Jemblung, sebanyak 24 keluarga sudah direlokasi ke hunian tetap di Dusun Suren, Desa Ambal, Karangkobar. ”Masih ada sekitar 20 keluarga yang tinggal di Dusun Jemblung, tetapi jaraknya sekitar 5 kilometer di atas lokasi longsor,” katanya.
Kami mendapat pelatihan dari BPBD kabupaten untuk mengamati tanda-tanda longsor dan melakukan simulasi evakuasi ke titik kumpul.
Kewaspadaan terhadap bencana, lanjut Purwanto, dilakukan dengan penanaman lebih dari 20.000 pohon seperti alba, suren, dan jati. Selain itu, warga kembali menggunakan kentongan untuk berkomunikasi satu dengan lainnya jika terjadi bencana. Pasalnya, EWS yang ada di sana tidak digunakan karena terlalu sensistif dan sering berbunyi jika tersenggol orang atau binatang.
”EWS sering bunyi dan membuat warga takut, jadi EWS tidak dipakai. Saat ini ada retakan tanah di jalan sekitar 10 meter yang diwaspadai. Patroli dari TNI/Polri dan warga juga dilakukan, terutama setelah hujan untuk mendeteksi tanda-tanda longsoran,” ujarnya.