Nama Korban Unjuk Rasa Mahasiswa Tolak Revisi UU KPK Diabadikan di KPK
›
Nama Korban Unjuk Rasa...
Iklan
Nama Korban Unjuk Rasa Mahasiswa Tolak Revisi UU KPK Diabadikan di KPK
Hingga kini, polisi belum berhasil mengungkap pelaku yang mengakibatkan meninggalnya Yusuf Kardawi, salah seorang mahasiswa Kendari yang tewas saat unjuk rasa menolak revisi UU KPK, akhir September lalu.
Oleh
SHARON PATRICIA/INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dua mahasiswa Kendari, Sulawesi Tenggara, yang meregang nyawa saat berunjuk rasa menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah rancangan undang-undang bermasalah lain, Randi (22) dan Muhammad Yusuf Kardawi (19), September lalu, bakal diabadikan namanya menjadi nama ruangan di Komisi Pemberantasan Korupsi.
Tak sebatas itu, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berjanji akan mengawal perkembangan penanganan kasus itu oleh kepolisian. Hingga kini, kepolisian belum bisa mengungkap pelaku yang menewaskan Yusuf. Salah satu alasannya, keluarga korban menolak Yusuf diotopsi.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang seusai menerima keluarga Randi dan Yusuf di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (12/12/2019).
Keluarga yang datang adalah orangtua Randi, La Sali dan Nasrifa, bersama ibu serta adik Yusuf, Endang Yulidah dan Ahmad Fauzi. Keluarga didampingi perwakilan mahasiswa Universitas Halu Oleo (tempat kedua korban kuliah) serta perwakilan Muhammadiyah, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Amnesty International. Selain Saut, mereka diterima oleh Ketua KPK Agus Rahardjo.
”Dua nama ini (Randi dan Yusuf) akan diabadikan karena mereka berjuang untuk membersihkan Indonesia dari orang-orang jahat. Mudah-mudahan menginspirasi anak-anak muda bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia,” ucap Saut.
Nama kedua mahasiswa Universitas Halu Oleo, Kendari, itu menurut rencana akan diabadikan menjadi nama ruangan di Pusat Edukasi Antikorupsi KPK yang berada di Gedung KPK, Jakarta.
Saut menyampaikan, memang bukan kewenangan KPK untuk mengusut kasus ini. Namun, ada beban moral besar yang harus dijaga KPK. Oleh karena itu, KPK akan tetap berusaha mengawal perkembangan kasus meninggalnya Randi dan Yusuf hingga para pelakunya terungkap.
”Kami dari pimpinan sudah menyimpulkan akan mengikuti perkembangan kasus ini agar segera seperti yang dituntut oleh Bapak dan Ibu tadi bahwa keadilan, kebenaran, dan kejujuran harus ditegakkan,” katanya.
Bahkan, dia mengusulkan agar dibentuk tim gabungan pencari fakta. Tim dapat membantu kepolisian untuk mengungkap tuntas kasus tersebut.
Pihak kepolisian menyebut, Randi meninggal karena luka tembak di dada kanan, sedangkan Yusuf meninggal karena luka parah di kepala akibat pukulan benda tumpul. Untuk kasus Randi, sudah ada satu tersangka dari aparat kepolisian, yaitu Brigadir AM. Sementara dalam kasus Yusuf, pelakunya belum terungkap hingga saat ini.
”Harapan saya, semoga pelaku penembak anak saya dipecat dan dihukum seberat-beratnya. Itu juga belum sebanding dengan nyawa anak saya,” ujar La Sali.
Sudah dua bulan kasus berjalan, saya berharap pihak yang berwajib menuntaskan kasus ini. Bekerjalah dengan hati, kedepankanlah kemanusiaan.
”Sudah dua bulan kasus berjalan, saya berharap pihak yang berwajib menuntaskan kasus ini. Bekerjalah dengan hati, kedepankanlah kemanusiaan,” kata Endang.
Pelanggaran HAM
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid menilai, kasus Randi dan Yusuf adalah contoh kegagalan negara, khususnya aparat kepolisian, melindungi peserta demonstrasi. Ini sekaligus menjadi bukti pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga terjadi di masa pemerintahan yang sekarang.
Usman menegaskan, pencopotan pejabat di kepolisian setelah meninggalnya Randi dan Yusuf tidak cukup. Seperti diketahui, setelah meninggalnya Randi dan Yusuf, Kapolri saat itu, Jenderal Tito Karnavian, memutasi Kapolda Sulawesi Tenggara Brigadir Jenderal (Pol) Irianto menjadi Inspektur Wilayah III Inspektorat Pengawasan Umum Polri.
”Pelaku tetap harus diproses secara hukum agar kepolisian benar-benar bersih dari orang yang membenarkan praktik kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk dalam penanggulangan unjuk rasa,” kata Usman.
Perppu KPK
Tak hanya itu, Koordinator Kontras Yati Andriyani berharap kematian Randi dan Yusuf tidak sia-sia. Mereka telah berkorban demi tetap tegaknya pemberantasan korupsi karena revisi UU KPK yang disahkan pemerintah dan DPR bakal melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi.
Pengorbanan itu hendaknya dilihat oleh Presiden Joko Widodo dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk membatalkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Kami sebagai masyarakat sipil menyatakan bahwa negara ini dalam bahaya isu korupsi. Tidak hanya KPK yang dikebiri, tetapi mereka yang juga memperjuangkan gerakan antikorupsi menjadi target kekerasan di negara ini,” ujar Yati.
Saat unjuk rasa penolakan revisi UU KPK terjadi di banyak daerah, Presiden Jokowi sempat menyatakan akan mempertimbangkan perppu untuk mencabut UU No 19/2019. Namun, kemudian dia memilih menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) karena pasal-pasal yang dinilai bakal melemahkan KPK di dalam UU itu diajukan untuk diuji materi di MK.
Kendala kepolisian
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Argo Yuwono saat ditanya Kompas terkait perkembangan kasus Yusuf mengatakan, hingga kini kepolisian memang belum berhasil menemukan pelaku yang menewaskan Yusuf.
”Kendala utama adalah tidak dilakukannya otopsi terhadap korban karena keluarga korban menolak sehingga sebab kematian secara scientific tidak diketahui,” ujarnya.
Polisi, lanjutnya, sudah memeriksa lebih dari 14 saksi, baik yang berasal dari mahasiswa maupun pihak Polri. Namun, dari hasil pemeriksaan, penyidik belum menemukan hubungan antara enam anggota Polres Kendari yang sudah dijatuhi hukuman disiplin dan dugaan sebagai pelaku yang mengakibatkan kematian Yusuf.
Seperti diketahui, setelah tewasnya Randi dan Yusuf, Polri menjatuhkan hukuman disiplin kepada enam anggota Polres Kendari, yaitu DK, GM, MI, MA, H, dan E. Hukuman mulai dari teguran lisan, penundaan kenaikan pangkat, hingga kurungan selama 21 hari. Hukuman diberikan karena mereka membawa senjata api saat mengamankan unjuk rasa.