Tetap Larang Bekas Terpidana Bandar Narkotika dan Kejahatan Seksual pada Anak di Pilkada
›
Tetap Larang Bekas Terpidana...
Iklan
Tetap Larang Bekas Terpidana Bandar Narkotika dan Kejahatan Seksual pada Anak di Pilkada
Putusan Mahkamah Konstitusi pada Rabu (11/12/2019) dinilai tak mencabut larangan bekas terpidana bandar narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak untuk maju di pilkada.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum diminta tetap menolak bekas terpidana bandar narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak untuk mencalonkan diri dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019 dinilai tidak mencabut larangan mantan terpidana kedua kasus itu untuk maju di pilkada.
Pada Rabu (11/12/2019), Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 56/PUU-XVII/2019 mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menguji konstitusionalitas Pasal 7 Ayat (2) Huruf (g) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam amar putusannya, MK di antaranya menyatakan bekas terpidana harus terlebih dulu melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana. Kemudian, bekas terpidana harus secara jujur atau terbuka mengumumkan latar belakang atau jati dirinya sebagai mantan terpidana. Terakhir, bekas terpidana bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (13/12/2019), menilai, bekas terpidana dalam putusan MK itu, tidak termasuk bekas terpidana bandar narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak. Bekas terpidana kedua kasus tersebut, tetap tidak bisa maju dalam pilkada.
Norma yang melarang bekas terpidana bandar narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak, diatur di bagian penjelasan pasal yang diuji materi ke MK.
Norma di penjelasan itu, menurut Feri, tidak bertabrakan dengan isi putusan MK. Oleh karena itu, larangan tetap berlaku. ”Putusan MK bisa mengubah bagian penjelasan dari pasal yang diuji konstitusionalitasnya, tetapi belum tentu membatalkannya, asalkan tidak berseberangan dengan isi putusan,” tambahnya.
Menurut dia, jika MK melihat ada pasal atau penjelasan di UU yang bakal bertentangan dengan putusan MK, MK akan memperjelasnya dalam amar putusan MK. ”Artinya, Mahkamah tidak menganggap penjelasan itu berseberangan dengan substansi putusan,” katanya.
Konsisten
Berdasarkan pada pandangannya tersebut, Feri meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) tetap melarang bekas terpidana bandar narkotika dan penjahat seksual terhadap anak untuk maju dalam pilkada.
Larangan di UU No 10/2016 itu telah diturunkan KPU di Peraturan KPU (PKPU) Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pencalonan dalam Pilkada, yang ditetapkan awal Desember lalu. Ini persisnya pada Pasal 4 Ayat (1) Huruf h PKPU No 18/2019.
Bunyi pasal tersebut, warga negara Indonesia dapat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau wali kota dan wakil wali kota dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut: bukan mantan terpidana bandar narkoba dan bukan mantan terpidana kejahatan seksual terhadap anak.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini, sebagai pemohon uji materi, menjelaskan, permohonan yang diajukan Perludem dan ICW memang tidak ditujukan untuk mengoreksi pemaknaan mantan terpidana.
Oleh karena itu, KPU diharapkan untuk tetap mencantumkan larangan terhadap bekas terpidana bandar narkotika dan kejahatan seksual terhadap anak. Terlebih, pengaturan serupa sudah berlaku pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2019.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti pun mendorong pelarangan tetap berlaku.
”Seseorang yang pernah melakukan kekerasan terhadap anak tidak layak menjabat sebagai kepala daerah atau wakil rakyat,” ujarnya.
Sebab, kejahatan itu merusak anak. Anak yang menjadi korban umumnya mengalami trauma dan sulit melupakan peristiwa kejahatan seksual seumur hidupnya.
”Selain itu, tentunya kita semua meragukan komitmen calon berstatus bekas terpidana kejahatan seksual terhadap anak, pada perlindungan anak, ketika orang itu memegang jabatan publik,” ujarnya.
Komisioner KPU Evi Novida Ginting sebelumnya mengatakan, KPU akan merevisi PKPU Pencalonan pasca-putusan MK. Revisi terbatas untuk pasal-pasal yang berkaitan dengan putusan MK. Namun dia belum menyebutkan pasal-pasal yang akan direvisi karena perlu dibahas lebih lanjut. ”Revisi hanya dilakukan untuk pasal yang berkaitan dengan putusan MK,” kata Evi.