Hujan ringan mengguyur Tokyo, Jepang, di awal Januari. Begitu pula di bagian barat Kota Tokyo, tepatnya di kawasan Hachioji, tempat Soka University berada. Mendung menggelayut sedari pagi.
Oleh
Rini Kustiasih
·4 menit baca
Hujan ringan mengguyur Tokyo, Jepang, di awal Januari. Begitu pula di bagian barat Kota Tokyo, tepatnya di kawasan Hachioji, tempat Soka University berada. Mendung menggelayut sedari pagi.
”Kalau Anda datang pada musim semi, sekitar April atau Mei, Anda akan melihat bunga-bunga sakura yang jumlah pohonnya sekitar 3.000 batang di kampus ini bermekaran. Indah sekali. Sayang sekali, sekarang musim dingin,” ucap Yoshihisa Baba, Rektor Soka University kepada Megawati Soekarnoputri, Presiden ke-5 RI, Rabu (8/1/2020).
Pagi itu, Megawati dianugerahi gelar doktor honoris causa bidang kemanusiaan dari Soka University. Ia menjadi tokoh Indonesia kelima yang menerima anugerah tersebut setelah Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid, Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, dan mantan Duta Besar RI untuk Jepang Jusuf Anwar.
Megawati sama sekali tak menduga akan menerima anugerah itu. ”Mungkin karena mereka (Soka University) mendengar pidato saya atau hal-hal yang pernah saya lakukan. Salah satunya ialah dengan membentuk BMKG di Indonesia, yang sedikit banyak berupaya membantu rakyat kita dari bencana,” ujarnya.
Ketua Umum PDI-P itu pun menyatakan kekagumannya dengan lembaga seperti Soka University, yang memiliki filosofi kuat. Saat bertemu pimpinan Soka University, Megawati menanyakan berbagai hal yang sifatnya sederhana hingga prinsipiil, termasuk soal kedisiplinan masyarakat Jepang, nilai dan etika yang diajarkan di perguruan tinggi dan sekolah, kerja sama antarperguruan tinggi Jepang dan Indonesia, serta soal tidak adanya tempat sampah di sudut-sudut kota di Jepang.
”Tak banyak tempat sampah di Jepang, tetapi lingkungannya bersih. Bagaimana bisa itu terjadi. Apakah karena program pemerintah, atau itu bagian dari budaya, sehingga kebersihan lingkungan itu sangat terjaga”
”Tak banyak tempat sampah di Jepang, tetapi lingkungannya bersih. Bagaimana bisa itu terjadi. Apakah karena program pemerintah, atau itu bagian dari budaya, sehingga kebersihan lingkungan itu sangat terjaga,” tutur Megawati.
Pertanyaan itu tidak mudah dijawab. Pimpinan Soka University pun tidak bisa memastikan apa sebenarnya yang membuat hal itu terjadi. Pada 1970-an memang ada program Pemerintah Jepang terkait hal itu. Namun, jauh sebelum itu, kesadaran itu pada dasarnya sudah ada.
Penciptaan nilai
Menurut Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Bambang Wibawarta, pengaruh konfusianisme dan agama Buddha membentuk nilai-nilai hidup tersebut di Jepang. Nilai-nilai itu begitu menyatu dalam praktik keseharian sehingga ketika ditanyakan, orang Jepang kesulitan menerangkannya.
"\'Soka\' dalam bahasa Indonesia artinya penciptaan nilai (virtue). Penciptaan nilai itu bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan; memperjuangkan kebaikan menuju perdamaian dan kebahagiaan manusia; serta mempertahankan diri dari tantangan untuk meningkatkan dan menjaga martabat kemanusiaan"
Soka University, sebagai bagian dari Soka Gakkai International, yang merupakan institusi pendidikan dengan cabang di lebih dari 190 negara, filosofinya secara umum bersumber dari ajaran Buddha. Pada 1930, Tsunesaburo Makiguchi, seorang pendidik Jepang, menerbitkan buku filosofi pendidikan Soka, Soka Kyoikugaku Taikei (sistem pendidikan berbasis penciptaan nilai-nilai).
”Soka” dalam bahasa Indonesia artinya penciptaan nilai (virtue). Penciptaan nilai itu bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan; memperjuangkan kebaikan menuju perdamaian dan kebahagiaan manusia; serta mempertahankan diri dari tantangan untuk meningkatkan dan menjaga martabat kemanusiaan.
Sistem nilai yang dibukukan oleh Tsunesaburo itu diwarisi oleh penerusnya, Josei Toda, lalu diaktualisasikan oleh Daisaku Ikeda, yang mendirikan Soka University pada tahun 1971. Ikeda memimpin Soka hingga kini, dan telah menerima lebih dari 350 penghargaan doktor honoris causa dari sejumlah kampus di dunia, termasuk dari UI.
Ikatan antara nilai kemanusiaan dan perdamaian yang diusung Soka rupanya tidak jauh dari ide pendiri bangsa Indonesia, Soekarno. ”Saya baru tahu, ternyata Pak Ikeda itu pengagum Bung Karno. Nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan yang mereka usung pun sama. Di konstitusi kita, hal itu pun telah diatur,” kata Megawati.
Di Jepang, aktualisasi nilai-nilai itu mudah ditemui, dari hal-hal kecil. Misalnya, etika menghormati orang lain, orang yang lebih tua, tidak mencuri atau korupsi, menjalankan tugas dengan baik, menjaga kehormatan institusi, sampai hal-hal praktis, seperti membawa sampah ke rumah, atau membersihkan sisa makanan sendiri setelah makan di restoran.
Menariknya, menurut Bambang, filosofi ”perdamaian” itu utamanya dipegang erat oleh kalangan samurai, yakni mereka yang menjaga klan atau kelas bangsawan dan daimyo (majikan), dan merupakan prajurit yang ahli perang.
”Tanpa nilai-nilai, seorang prajurit atau manusia yang dibekali kemampuan tinggi bisa sangat merusak dengan potensi yang dimilikinya. Di situlah peran penting nilai atau filosofi”
”Tanpa nilai-nilai, seorang prajurit atau manusia yang dibekali kemampuan tinggi bisa sangat merusak dengan potensi yang dimilikinya. Di situlah peran penting nilai atau filosofi,” katanya.
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, nilai-nilai jualah yang mestinya menjadi landasan. Megawati dalam pidato penerimaan doktor honoris causa menegaskan, politiknya ialah politik kemanusiaan yang bersumber dari Pancasila.
Dalam konteks saat ini, yang jadi pertanyaan, apakah nilai-nilai Pancasila itu telah menyatu dalam praktik keseharian kita, termasuk dalam politik?