Jauh di Mata, Dekat di Toa
Keberadaan peringatan toa dari mushola baginya masih penting. Sebab peringatan itu bisa diterima saat warga tengah sibuk atau tidur sekalipun. Ia berharap informasi yang lebih akurat sehingga bisa lebih bersiap diri.
Bagi Katiman Kumis (70), warga bantaran Kali Ciliwung di Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, peringatan banjir melalui pelantang bukanlah hal baru. Peringatan lewat pengeras suara itu sudah disiarkan di mushala di sekitar tempat tinggalnya sejak puluhan tahun lalu. Kendati belum terlihat, warga sudah bersiap.
Katiman menceritakan banjir yang menghanyutkan rumahnya pada tahun baru 2020. Saat itu, pelantang di mushala di dekat rumahnya sudah memperingatkan Pintu Air Depok sudah memasuki Siaga 1 sejak siang hari 31 Desember 2019. Pengumuman itu meminta warga bantaran Kali Ciliwung diminta untuk bersiap-siap mengungsi.
Namun, informasi pengeras suara itu tak disertai peringatan akan tingginya air. Luapan air yang melanda tempat tinggalnya pada tahun baru itu mencapai 7 meter. Sebagian rumahnya hanyut terbawa air bersama harta bendanya. Burung-burung peliharannya ia lepaskan dari sangkar untuk menyelamatkan diri sendiri. ”Untung kucing-kucing saya bisa selamat semua,” katanya di Jakarta, Sabtu (18/1/2020).
Sejak banjir tahun baru sampai sekarang, Katiman terpaksa mengontrak karena rumahnya yang rusak berat terhantam banjir belum bisa ia perbaiki.
Selama puluhan tahun di setiap musim hujan, pengumuman dari pengeras suara di mushala menjadi penanda warga bantaran Ciliwung di Pejaten Timur untuk mulai merapikan barang berharga untuk bersiap mengungsi saat banjir tiba. Peringatan itu biasanya menginformasikan ketinggian air di Pintu Air Katulampa, Depok dan di Pasar Minggu.
Memasuki era telepon pintar, bagi Katiman, pengeras suara berfungsi sebagai alarm awal. Bedanya, informasi dari pelantang sekarang tak lagi ia telan mentah-mentah. Ia baru yakin kalau banjir betul-betul akan datang setelah memeriksa informasi di telepon pintarnya. Dengan beragam sumber informasi yang tersedia itu, ditambah pengalamannya hidup di pinggir kali selama belasan tahun itu pun, ia merasa masih kecolongan dengan banjir tahun baru.
”Waktu banjir tahun baru itu, ada peringatan dari mushala, lalu saya buka HP, air di Depok masih kosong. Saya lihat Kali Ciliwung juga masih rendah airnya, jadi mikirnya kalaupun banjir tidak akan tinggi. Ternyata lalu di HP ada berita ketinggian Pintu Air Depok sudah 425 sentimeter. Wah, ya udah... sudah pasrah air sampai atap,” kata Katiman yang sudah belasan tahun tinggal di tepi Kali Ciliwung.
Baca juga: Andil Mal dalam Alih Fungsi Lahan Hijau di Jakarta
Keberadaan peringatan toa dari mushala baginya masih penting. Sebab, peringatan itu bisa diterima saat warga tengah sibuk atau tidur sekalipun. Namun, ia berharap informasi yang lebih akurat sehingga bisa lebih bersiap diri.
Pengeras suara canggih
Pelantang ini hanya sebagian kecil dari disaster warning system (DWS) banjir yang diadakan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta. Anggarannya yang berkisar Rp 4 miliar itu memancing pertanyaan.
Apakah anggaran sebesar itu senilai dengan hasil yang diperoleh? Sebagai catatan, Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta menaksir kerugian banjir 1-5 Januari 2020 lalu mencapai Rp 1,045 triliun. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyatakan korban tewas banjir Jabodetabek Januari 2020 ini mencapai 67 orang. Di Jakarta, jumlah korban tewas setidaknya 12 orang, baik langsung maupun tak langsung oleh banjir, yaitu karena tenggelam, tersengat listrik dan keracunan asap genset.
Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi DKI Jakarta M Ridwan mengatakan, DWS menerapkan sistem peringatan dini dari Jepang yang bisa menjangkau seluruh warga, bahkan warga yang tidak terpapar teknologi.
DWS adalah salah satu cara yang dilakukan BPBD Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan informasi siaga bencana kepada warga, selain penyebaran informasi melalui media sosial ataupun SMS broadcast kepada camat dan lurah hingga warga.
”DWS ini akan memberikan informasi berupa suara petugas BPBD, yang dapat menjangkau hingga radius 500 meter. DWS ini akan beroperasi jika tinggi muka air telah berada pada Siaga 3,” katanya.
Penganggaran DWS ini merupakan keberlanjutan dari hibah yang diberikan oleh Jepang melalui Japan Radio.Co (JRC) kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2014. Program ini meliputi 10 Broadcasting Warning Station untuk teknologi IP Radio dan 5 Broadcasting Warning Station untuk teknologi VHF Digital Radio yang diletakkan di sejumlah wilayah, yaitu Jakarta Selatan di Ulujami dan Petogogan; Jakarta Barat di Rawa Buaya; serta Jakarta Timur di Kampung Melayu dan Bidara Cina. JRC juga memberikan hibah Master Station yang dipasang di control center Pusat Pengendalian Operasional BPBD Provinsi DKI Jakarta.
Baca juga: BPBD DKI Jakarta Jawab Kritik Soal Toa Banjir
Selanjutnya, pada 2019, BPBD Provinsi DKI Jakarta telah menganggarkan 9 alat DWS, yang tersebar di 9 titik, yakni Jakarta Barat di Kapuk dan Kembangan Utara; Jakarta Selatan di Cipulir, Pengadegan, Cilandak Timur, dan Pejaten Timur; serta Jakarta Timur di Cawang, Cipinang Melayu, dan Kebon Pala. Totalnya 14 alat DWS yang telah dipasang.
Ridwan mengatakan, untuk tahun 2020, BPBD Provinsi DKI Jakarta menganggarkan 6 alat DWS yang, menurut rencana, akan diletakkan di 6 titik, meliputi Bukit Duri, Kebon Baru, Kedaung Kali Angke, Cengkareng Barat, Rawa Terate, dan Marunda.
Komponen DWS itu tak hanya pengeras suara, tetapi meliputi pelantang (pelantang merek TOA, 4 unit speaker dalam 1 set), Stasiun Ekspansi Peringatan Dini Bencana Transmisi Vhf Radio, tiang buatan lokal, modifikasi piranti lunak (software) untuk Telementary dan Warning Console, Coaxial Arrester, Storager Battery, dan antenna. Teknologi ini mampu memancarkan pengumuman dari jarak jauh tepatnya dari Pusat Pengendalian Operasional BPBD DKI Jakarta.
Baca juga: Perpanjang Masa Darurat, Pemerintah...
Struktur untuk Kultur
Namun, secanggih apa pun sistem yang digunakan, sejatinya esensinya terletak pada informasi yang disampaikan. Sungguh tak efektif apabila informasi yang disampaikan sama dengan pelantang dari mushala yang sudah ada di Jakarta selama puluhan tahun.
”Bagaimana lalu dari toa ini, pemerintah membentuk budaya siaga bencana pada masyarakat. Sehingga toa ini tidak hanya untuk pengumuman akan datang banjir, lalu apa? Tidak digunakan setelah empat bulan berlalu?” kata pengamat dan peneliti Bidang Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna.
Struktur untuk membentuk kultur, kata Yayat, adalah saat pemasangan infrastruktur perkotaan juga digunakan untuk membentuk nilai dalam masyarakat. Sistem DWS dengan nilai anggaran itu akan sangat berharga apabila menjadi bagian untuk menanamkan nilai dan kultur di masyarakat menjadi warga tanggap bencana.
Sistem DWS jangan lalu menjadi simplikasi atau penyederhanaan masalah dari pihak pemerintah bahwa penanganan dan antisipasi bencana sudah dilakukan. Untuk itu, pemasangan DWS juga perlu diikuti dengan organisasi dan program yang jelas, mulai dari program simulasi bencana untuk warga, informasi tentang hal-hal yang perlu dilakukan dan harus dijauhi untuk meminimalisasi jumlah korban dan kerugian hingga persiapan evakuasi.
Jatuhnya jumlah korban yang masih banyak dalam banjir Jakarta 2020 menandakan sebagian masyarakat Jakarta belum tanggap bencana. Mereka baru sekadar bersiap dan mengungsi, tetapi belum paham bahaya yang terkait. Saat optimal digunakan, pencerahan akan bencana ini bisa dilakukan dengan sistem yang jauh di mata, dekat dari toa.
Baca juga: Korban Longsor Inginkan Hunian