Kecukupan Usia Bukan Syarat Tunggal
Syarat sudah atau pernah kawin bagi warga yang belum berusia 17 tahun untuk jadi pemilih di pilkada dinyatakan konstitusional oleh MK. Putusan itu dinilai abaikan fakta banyaknya perkawinan anak dan politisasi anak.
Syarat sudah atau pernah kawin bagi warga yang belum berusia 17 tahun untuk menjadi pemilih dalam pilkada dinyatakan konstitusional oleh MK.
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konstitusi menolak menjadikan kecukupan usia semata- mata sebagai syarat pemilih dalam pilkada. MK tetap pada ketentuan awal yang mengatur persyaratan pemilih disertai syarat alternatif, yakni sudah atau pernah kawin.
Putusan ini dipandang mengabaikan fakta masih banyaknya perkawinan anak serta membuka celah pada terjadinya politisasi anak-anak demi meraih suara.
MK merespons uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) yang menguji Pasal 1 angka 6 Undang–Undang Pilkada. Pasal itu berbunyi, ”Pemilih adalah penduduk yang berusia paling rendah 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin yang terdaftar dalam pemilihan”.
Pemohon meminta mahkamah membatalkan frasa ”atau sudah/pernah kawin” karena dinilai diskriminatif terhadap warga lain yang berusia di bawah 17 tahun, tetapi belum kawin. Pemohon juga meminta agar ukuran kedewasaan dalam memilih tidak didasarkan pada status perkawinan, tetapi pada syarat tunggal berupa usia.
"MK dalam putusan yang dibacakan pada Rabu (29/1/2020), di Jakarta, dalil ketidakadilan atau diskriminasi itu tidak beralasan hukum. Sebab, syarat pemilih di dalam UU Pilkada itu bersifat alternatif"
Namun, menurut MK dalam putusan yang dibacakan pada Rabu (29/1/2020), di Jakarta, dalil ketidakadilan atau diskriminasi itu tidak beralasan hukum. Sebab, syarat pemilih di dalam UU Pilkada itu bersifat alternatif. MK juga merujuk pada Pasal 63 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang berbunyi, ”Penduduk warga negara Indonesia dan orang asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP–el”.
”Dalil tersebut tidak tepat karena bagi warga negara yang berusia di bawah 17 tahun dan belum menikah, secara administratif mereka belum memiliki kartu identitas diri yang merupakan syarat sah seseorang warga negara untuk dapat menggunakan hak memilihnya sebagaimana tercantum dalam Putusan MK Nomor 102/ PUU-VII/2009, bertanggal 6 Juli 2009,” kata hakim konstitusi Suhartoyo.
Baca Juga: Mahkamah Konstitusi dan Keadilan Pemilu
MK menilai, usia minimum 17 tahun untuk menggunakan hak memilih merupakan pilihan kebijakan. Alasannya, pada usia itu warga negara memperoleh identitas resmi dari negara, kecuali jika yang bersangkutan sudah atau pernah menikah sebelum berusia 17 tahun.
Hak pendewasaan
Secara yuridis, MK menilai, warga yang telah menikah sebelum usia 17 tahun telah mendapat predikat atau hak pendewasaan (handlichting) yang melekat dan tidak dapat dihindari oleh yang bersangkutan. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi yuridisnya kepada yang bersangkutan dianggap sudah mampu untuk melakukan perbuatan hukum dan bertanggung jawab atas perbuatan hukum yang dilakukan.
MK juga menjelaskan definisi kedewasaan beragam, termasuk dalam hukum adat. Tidak ditemui keseragaman soal batasan usia dewasa. Sebab, secara universal pemahaman dewasa atau belum dewasa tidak ditentukan oleh usia, tetapi kecakapan untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
”Bahkan, acap kali ukuran dewasa dengan menggunakan ukuran orang telah ’kuat gawe’, yaitu orang yang sudah bekerja, sudah bisa mengurus harta bendanya dan keperluan-keperluannya secara mandiri. Ukuran yang digunakan dalam hukum adat tersebut lazimnya adalah keadaan yang ada atau yang bersifat faktual,” kata Suhartoyo.
Sekretaris Jenderal KPI Dian Kartikasari mengatakan, pihaknya menghargai putusan MK. Namun, sebagai pemohon, ia menyampaikan sejumlah catatan terkait pertimbangan MK. Dian mempertanyakan ukuran kedewasaan yang dilihat dari kawin atau sudah pernah kawin, dan pendekatan kultural yang antara lain digunakan MK, yakni dengan istilah ”kuat gawe”. Perspektif itu dikhawatirkan menimbulkan kesalahpahaman seolah ada dukungan kepada pekerja anak. Sebab, ada persepsi seseorang dianggap dewasa ketika ia telah kuat bekerja.
Baca Juga: Pengabaian Suara Rakyat Rusak Pemilu
”Kami akan berusaha sekuat mungkin untuk juga menyarankan perubahan ketentuan ini kepada pembuat undang-undang,” katanya.
Nomenklatur Bawaslu
Selain mengenai batas usia untuk memilih, kemarin MK juga mengeluarkan putusan yang menyamakan ketentuan kelembagaan pengawas pemilihan di tingkat kabupaten/kota yang diatur dalam UU Pilkada dan UU Pemilu. Putusan itu mengakhiri polemik mengenai legitimasi Bawaslu kabupaten/kota dalam mengawasi Pilkada 2020, karena tidak ada lagi dualisme pengaturan.
"MK juga mengeluarkan putusan yang menyamakan ketentuan kelembagaan pengawas pemilihan di tingkat kabupaten/kota yang diatur dalam UU Pilkada dan UU Pemilu. Putusan itu mengakhiri polemik mengenai legitimasi Bawaslu kabupaten/kota dalam mengawasi Pilkada 2020, karena tidak ada lagi dualisme pengaturan"
Dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, MK menyatakan ketentuan soal pengawas pilkada di dalam UU No 10/2016 tentang Pilkada harus mengikuti ketentuan mengenai kelembagaan yang sama dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu. Dalam UU Pilkada, pengawas pilkada di kabupaten/kota disebut dengan Panwaslu kabupaten/kota. Adapun di UU Pemilu, pengawas di kabupaten/kota dinamai Bawaslu kabupaten/kota.
Perbedaan ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, ada anggapan struktur Bawaslu di daerah menjadi tidak memiliki legitimasi mengawasi pilkada.
Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya ketidakpastian hukum, hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan, nomenklatur lembaga, komposisi, dan fungsi kelembagaan pengawas pilkada mesti disesuaikan dengan UU Pemilu.